08 November, 2008

Nek Kiah Memaknai Kemerdekaan

Oleh Arif S

Otot lengan Ramlan membengkak, tangannya kuat merangkul pohon pinang yang telah dilemuri oli. Di atas bahu pria 25 tahun itu, bertumpu empat orang lain yang membentuk tangga manusia. Bendera merah putih di puncak pohon pinang melambai dihembus angin, karton-karton bertuliskan aneka hadiah juga ikut bergoyang pada lingkaran yang tebuat dari bambu.

Azan ashar baru saja usai berkumandang dari menara Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Sore itu, Senin 18 Agustus 2008, perhelatan perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke 63 digelar dengan ragam permainan di tepi Krueng Aceh.

Panjat pinang menjadi permainan pembuka dalam perayaan kemerdekaan hari itu. Delapan orang asal Lamteh, Ulee Kareng Banda Aceh menjadi kelompok pertama yang akan memanjat pohon pinang yang telah berwarna hitam dilumuri gemuk. Kelompok ini berhasil menggapai puncak dan membawa turun bendera. Keberhasilan itu dihargai Rp750 ribu dari sponsor.

Selanjutnya panjat pinang menjadi tontonan yang sangat meriah, sorak dan tepuk tangan riuh keluar dari ratusan orang yang mengerumuni tepi Krueng Aceh. “Ayo, ayo… Tahan!” Teriak penonton memberi semangat kepada kelompok panjat pinang dari pedagang pasar Aceh.
Pondasi manusia yang dibangun para pedagang itu goyang dan ambruk. Penonton tertawa saat kelompok tersebut meutumpok (bertindihan) di bawah pohon pinang yang mereka panjat.

Ramlan hanya menyengir dan mengajak kawannya membuat kembali pondasi, dia berada di bagian paling bawah untuk dipanjat kawan yang lain. Dalam panjat pinang, orang-orang harus mengorbankan tubuh mereka untuk diinjak kawan se tim, kemenangan adalah pencapaian puncak dan memungut hadiah yang disediakan panitia.

Selain masyarakat kota yang ikut menyaksiakan perhelatan kemerdekaan, puluhan pedagang juga menjajakan dagangan di lokasi itu. Ibu Kiah, penjual jomblang pada sore itu tidak begitu memperhatikan antusias penonton.

Ibu setengah baya itu duduk lesu, keranjang di depannya masih terisi biji-biji hitam yang tidak banyak berkurang. Sesekali, suara seraknya menawarkan pembeli untuk mendekat. “Hana muphom ulon kemerdekaan nyan/ Tidak mengerti saya arti kemerdekaan itu,” jawab ibu Kiah pendek. Tangan keriputnya kembali memasukkan biji jomblang dalam kaleng susu bekas yang dijadikan sebagai pengukur.

Juliamin, penjual boneka masih bisa memaknai kemerdekaan, “Kita tidak terjajah lagi oleh Belanda,” kata lelaki itu. Dia mengaku tidak bisa membayangkan jika hingga saat sekarang Belanda masih menjajah Indonesia.
Lelaki itu punya mimpi untuk bisa berjualan di toko. “Pemerintah agar meningkatkan perekonomian rakyat,” harap Juli. Sementara ibu Kiah tidak mengharap banyak, “Yang penteng jeut tamita raseki haleu ngon teunang/Yang penting bisa mencari rezeki halal dengan tenang.”

Harapan ibu Kiah sangat sederhana, kemerdekaan bagi ibu tua itu adalah kebebasan berbuat dalam menjalani hidup. Dengan menjadi penjual biji jamblang musiman, dia bisa membantu meringankan suami yang bekerja sebagai pelaut.

Senja menutup perhelatan itu, sayup-sayup terdengar suara orang membacakan ayat suci Al-Quran. Orang-orang bubar, panitia mengucapkan sampai jumpa tahun depan, pada hari kemerdekaan selanjutnya.

0 komentar: