02 Oktober, 2011

Pelaku Intimidasi Pilkada Akan Ditindak

Oleh Halim Mubary

Kepala Kepolisian Daerah Aceh Inspektur Jenderal Iskandar Hasan berjanji akan menindak siapa pun yang melakukan intimidasi pada pemilihan kepala daerah (pilkada) di Aceh yang sekarang proses tahapannya sedang berlangsung.

“Tulis nama pelakunya dan sampaikan kepada kepolisian, pasti akan kami tindak sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku,” tegas Kapolda saat melakukan pertemuan dengan masyarakat dan unsur Pemerintah Kabupaten Bireuen, Sabtu (1/10) malam.

Namun, Iskandar Hasan juga wanti-wanti agar laporan yang disampaikan ke polisi benar-benar valid dan bukan berupa fitnah.

“Harus ada buktinya, untuk dilakukan tindak lanjut proses hukumnya. Bahkan saya juga tidak ragu-ragu menindak anggota saya jika terbukti ada yang melakukan intimidasi di lapangan,” lanjut Kapolda, menjawab seorang penanya dari unsur perempuan.

Bahkan Kapolda turut memberikan nomor telepon selularnya untuk bisa dihubungi selama 24 jam. Namun, Kapolda menyarankan agar nomor yang diberikannya di itu hanya untuk berkirim pesan pendek (SMS) saja.

“Jangan ditelepon, karena kalau banyak yang telepon nanti, saya tidak sanggup mengangkatnya,” tambah mantan Kapolres Aceh Utara itu yang disambut tawa para undangan.

Pada kesempatan itu, Kapolda juga menyinggung pemecatan 35 orang anggota polisi selama dirinya bertugas di Aceh. Termasuk yang di Bireuen sebanyak sembilan orang selama 2011 ini.

Menurutnya, polisi sekarang sedang memperbaiki citra dan mengubah mindset dan moralitas polisi yang mengayomi masyarakat.

“Sekarang kita sedang mengubah itu secara perlahan-lahan. Jadi ke depan, jangan ada lagi petugas yang berseragam polisi, tapi berperilaku penjahat, seperti menjadi pengedar narkoba, pembeking judi, dan perbuatan melawan hukum lainnya,” ingat Kapolda.

Acara yang yang dikemas dalam rangka Polisi Saweue Keude Kupi tersebut diikuti berbagai kalangan masyarakat dan pemerintahan di Bireuen.[sumber:acehkita.com]


Selengkapnya...

01 Oktober, 2011

Swadesisasi Aceh Ala Ghandi

Oleh Azmi Abubakar

Azmi Abubakar
Sebagai seorang nasionalis, Mahatma Gandhi pernah menyerukan kepada bangsanya untuk kembali pada budaya asal India dengan memakai bahan-bahan buatan negeri sendiri. Ajaran Mahatma Gandhi ini dikenal dengan istilah swadesi.

Seruan Gandhi dalam ajarannya ini bukan tanpa alasan, mengingat masa itu India sedang lenanya bergumul dengan produk budaya luar. Lebih-lebih setelah kedatangan Inggris yang merengut segala budaya murni India.

Literatur sejarah menulis bahwa pada tahun 1600, Inggris mendirikan EIC (East India Company) untuk mematahkan perdagangan monopoli rempah-rempah yang dilakukan oleh Belanda. Hegemoni Inggris ke India ini menyebabkan India semakin kehilangan segala kekayaan budaya, dimana orisinalitas budaya masa itu semakin terkikis.

Mayarakat tak mampu membendung segala jenis budaya baru Inggris yang masuk menggairahkan. Apalagi politik adu domba sesama raja-raja India yang berhasil dirancang oleh Inggris telah menjadikan India lupa untuk memelihara budayanya. Pasca perang India 1857 terhadap Inggris, secara perlahan gerakan-gerakan berbau nasionalisme India telah menunjukkan taringnya. Gerakan ini dikomandoi oleh orang-orang India berpendidikan seperti Mahatma Gandhi sebagaimana penulis sebutkan.

Swadesi dalam Aceh Post Modern
Hari ini Aceh sebagai sebuah bangsa justru semakin berlari jauh dari warisan budaya indatu. Ureung Aceh secara terus menerus dan tanpa disadarinya mengambil identitas budaya luar yang sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan Aceh, sebagaimana yang disebut oleh Hasanuddin Yusuf Adan dalam bukunya Aceh dan Inisiatif NKRI, 2011.

Contoh nyata yang bisa kita lihat hari ini adalah pengikisan dan penghilangan indentitas keacehan lewat media, baik itu media televisi maupun media cetak. Bisa kita katakan media pertelevisian Indonesia belum mampu merangkul semangat keindonesiaan yang terdiri dari beragam budaya bangsa seperti budaya Kalimantan, Papua, Maluku dan lain sebagainya.

Sebaliknya budaya Jawalah secara terus menerus kental bermain disini melalui setiap gaya berbahasa dan busana. Sehingga Aceh yang mempunyai budaya sendiri akhirnya harus menelan mentah-mentah setiap penjajahan budaya yang dilakukan. Dimana semua gaya hidup mulai dari anak kecil sampai muda sudah berkiblat dengan apa yang berbau barat ala ibu kota.

Sebagian media cetak di Aceh hari ini juga tak bisa melawan budaya-budaya luar nan liar yang sama sekali sangat bertolak belakang dengan budaya luhur Aceh. Semangat keislaman di Aceh yang telah menjadi warisan budaya indatu sama sekali tak kita temukan. Sebagian Media cetak di Aceh hari ini asyik saja menjual postur-postur tubuh wanita untuk dinikmati oleh generasi muda Aceh. Bukan tak mungkin hal ini akan berdampak kepada semakin berkurangnya semangat keislaman yang dimiliki ureung Aceh.

Padahal kalau merujuk kembali kepada Mahatma Gandhi dengan ajaran swadesinya, kita akan diperlihatkan bagaimana gigihnya sang nasionalis legendaris itu mengajak bangsa India untuk kembali kepada budaya asal. Menariknya hal itu terjadi dalam masa-masa perlawanan India kepada Inggris. kekhawatiran Gandhi akan nasib India dengan hegemoni budaya barat itu patut kita apresiasi. Terbukti Swadesi Gandhi berjalan baik di India. Kita mendapati India hari ini tetap saja berkutat mempertahankan budaya aslinya walaupun disana-sini masih ada pengaruh barat yang tak bisa kita tampikkan.

Semangat mulia Gandhi dengan ajaran swadesinya adalah laku yang baik untuk dicontoh. Gandhi sendiri telah membuktikan keteguhannya untuk mempertahankan budaya bangsanya dalam busana berpakaian tradsional India hatta ke luar negeri sekalipun. Semangatnya yang lain ditunjukkan manakala Gandhi dipenjara, ia menenun sendiri pakaian tradisional India.

Akhirnya swadesisasi perlu kita wujudkan di Aceh dengan maksud untuk memulihkan kembali budaya-budaya Aceh yang telah mengakar kuat sejak masa indatu. Indentitas keacehan dengan islamnya perlu kita kuatkan kembali. Dimana upaya kejalan itu tak cukup dengan seremonial beberapa jam saja atau kegiatan sosialisasi beberapa hari saja. Namun perlu kerja keras dan dukungan, serta kesadaran lebih mendalam dari seluruh ureung Aceh. Pencanangan beut Magrib dari pemerintah Aceh satu dari sekian banyak upaya untuk menuju swadesisasi Aceh ala Gandhi. Semoga ini menjadi modal awal untuk terus membangkitkan kembali budaya keacehan warisan indatu.

Penulis adalah peminat masalah budaya dan sejarah Aceh, Mahasiswa Al-Azhar Cairo dan Aktivis World Achehnese Association (WAA)



Selengkapnya...

Aktifis Jang-Ko Divonis Bebas

Oleh Idrus Saputra | Takengon

Idrus Saputra
Setelah sekian lama menjalani persidangan, akhirnya kedua aktivis Jaringan Anti Korupsi Gayo (Jang-Ko), Idrus Saputra dan Hamdani divonis bebas oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Takengon, Kamis (29/9).  Keduanya tidak terbukti mencemarkan nama baik seperti yang dilaporkan Bupati Aceh Tengah, Ir H Nasaruddin MM.


Kuasa hukum LSM Jang-Ko, Zulfa Zainuddin SHi dari LBH Banda Aceh Pos Takengon mengatakan, apa yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap terdakwa Hamdani dan Idrus Saputra dengan pasal 316 Jo.311 Jo.315 tidak terbukti, sehingga majelis hakim dalam putusannya yang dibacakan, Kamis (29/9) mengatakan para terdakwa tidak terbukti bersalah atas dakwaan JPU dan memutuskan para terdakwa bebas dari segala dakwaan.

Sidang yang diketuai oleh Majelis Hakim, Firza Ardiansyah SH. MH, yang juga Ketua Pengadilan Negeri Takengon tersebut berlangsung sejak pukul 14.00 WIB dengan Jaksa Penuntut Budi Sarumpaet, SH. M.Hum.

“Kami memberikan apresiasi kepada Majelis Hakim, yang telah menyidangkan perkara ini dengan objektif. Dengan adanya putusan ini kebebasan berpendapat dan demokrasi di Aceh Tengah telah terselamatkan dari kepentingan penguasa” kata Idrus Saputra.

Sebelumnya para terdakwa Idrus Saputra dan Hamdani dituntut 4 (empat) bulan penjara dengan 8 (delapan) bulan masa percobaan karena dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana secara bersama-sama melakukan pencemaran secara tertulis terhadap pegawai negeri pada waktu menjalankan tugasnya.

Kasus ini bermula pada 28 Februari 2009, saat Idrus Saputra dan Hamdani membuat pernyataan di salah satu media cetak di Aceh terkait jumlah penduduk Aceh Tengah yang diduga direkayasa pada Pemilu 2009 lalu untuk mengelembungkan jumlah kursi DPRK setempat. Pemberitaan itu ditujukan kepada Pemkab dan KIP Aceh Tengah. Merasa tidak senang ternyata Bupati Aceh Tengah melalui Kabag Hukum, Mursidi SH, melaporkan Hamdani dan Idrus Saputra ke Polres Aceh Tengah pada 3 Maret 2009 dengan tuduhan melakukan pencemaran nama baik Bupati Aceh Tengah.

Sidang terkait pencemaran nama baik ini sendiri telah berlangsung sejak 29 Desember 2010 hingga 29 September 2011, dengan 29 persidangan ”Kebetulan sekali vonis itu di bacakan bertepatan dengan hari ulang tahun satu-satunya anak saya pada 29 September 2011 yang usianya satu tahun genap. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan moril kepada kedua Aktifis Anti Korupsi Gayo ini yang telah diperkarakan oleh bupati Aceh Tengah, Ir Nasarudin MM itu” ujar Idrus Saputra.



Selengkapnya...