22 Juli, 2009

Parpol, Pilkada 2009 dan Pemuda

Oleh: Pelita Hayati

PEMILIHAN umum atau pemilihan kepala daerah hampir-hampir tidak mungkin dapat dilaksanakan tanpa kehadiran partai-partai politik di tengah masyarakat.

Keberadaan partai juga merupakan salah satu wujud nyata pelaksanaan asas kedaulatan rakyat. Sebab dengan partai-partai politik itulah segala aspirasi rakyat tempat kedaulatan berada, maka kekuasaan harus dibangun dari bawah.

Konsekuensinya, kepada rakyat harus diberikan kebebasan untuk mendirikan partai-partai politik.
Apa yang berlaku selama hampir 3 (tiga) dasawarsa terakhir ini menunjukkan sebuah gejala lemahnya posisi partai dalam memainkan peranan politiknya sebagai wahana pencerminan asas kedaulatan rakyat serta wahana pencerdasan rakyat akan sebuah pendidikan politik yang ada di negeri ini. Kinerja parpol bisa diukur berdasarkan UU 31 Tahun 2002 tentang Parpol dalam poin d. Di situ disebutkan bahwa partai politik merupakan salah satu wujud partisipasi masyarakat yang penting dalam mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan, kesetaraan, kebersamaan, dan kejujuran.

Titik tekannya pada kalimat 'mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan, kesetaraan, kebersamaan, dan kejujuran'. Selanjutnya dalam pasal 1 disebutkan bahwa parpol adalah organisasi politik yang dibentuk oleh sekelompok warga negara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar persamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara melalui pemilihan umum. Sehingga dalam praktiknya, ukuran kinerja parpol yang realisasinya dilakukan lewat pemilu adalah untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara

Jika diukur dengan indikator tersebut, kinerja parpol masih jauh panggang dari api (Faisal Baasir, Republika, 27 Januari 2006). Pernyataan itu bisa didasarkan atas beberapa pertimbangan. Pertama, kinerja parpol dalam mengembangkan kehidupan demokrasi yang menjunjung tinggi kebebasan, kesetaraan, kebersamaan dan kejujuran hanya menjangkau kebersamaan. Sesuai instruksi elite, parpol yang mendapat tekanan dari luar akhirnya mendukung masalah yang sebetulnya jauh dari idealitas kepentingan anggota,masyarakat, bangsa dan negara. Sehingga kinerja parpol di parlemen yang diwakili anggotanya dalam fraksi kurang/tidak menjalankan fungsi mengembangkan kehidupan berdemokrasi yang menjunjung kebebasan, kesetaraan, dan kejujuran.

Kedua, atas parpol yang seharusnya konsisten untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara menjadi terkooptasi kekuasaan. Akibat sebagian anggotanya di eksekutif, wakil parpol di parlemen posisinya menjadi serba tanggung. Anggota parpol di parlemen mau tidak mau menjadi alat justifikasi kekuasaan (eksekutif). Atas yang demikian itu keberadaan parpol saat ini tidak jauh lebih baik dari era orde lama maupun orde baru. Sebaliknya, yang demikian itu masih jauh dari cita-cita reformasi 1998.

Ketiga, mekanisme keberadaan fraksi yang pengaturannya tidak ada dalam UU 22 Tahun 2003 tentang Susduk namun keberadaannya hanya diatur dalam Tatib DPR Pasal 3 Ayat 2 huruf a dan Bab V Pasal 14-18, seharusnya menjadi alat pendorong bagi kinerja anggota parpol di parlemen. Namun dalam praktiknya keberadaan fraksi tidak lebih menjadi 'alat kontrol' segelintir elite parpol di parlemen.

Adanya penguatan kewenangan parpol yang diatur dalam Pasal 8 Huruf f dan g dan Pasal 12 UU 31 Tahun 2002, maka keberadaan fraksi-fraksi di DPR kemudian menjadi alat pengontrol yang efektif bagi anggota parpol di parlemen. Hampir setiap keputusan penting diambil tanpa kemudian dibicarakan secara bebas, setara, bersama, dan jujur di antara anggota, dan pernyataan segelintir pimpinan fraksi seolah-olah sudah menjadi keputusan anggotanya.
Keempat, atas beberapa masalah mendasar tersebut, kinerja parpol di DPR sampai saat ini masih jauh dari kriteria politik kemaslahatan dalam memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara.

Akibat pragmatisme politik di kalangan elite parpol, keberadaannya yang seharusnya menjadi alat bagi pendidikan politik rakyat ternyata belum mampu mengapresiasikan pendidikan politik yang sebenarnya. Bahkan yang lebih cerdas dan dewasa dalam berpolitik adalah rakyat sendiri.
Kelima, tidak ada lagi sekat/batasan politik aliran yang jelas dalam kinerja parpol pada konteks politik Indonesia kekinian. Ini adalah keberhasilan penetrasi pemerintah orde baru yang dirasakan dengan tidak ada lagi sekat-sekat politik di kalangan rakyat. Penetrasi itu berupa penerapan UU 3 Tahun 1985 tentang Parpol dan Golongan Karya serta UU tentang Organisasi Kemasyarakatan.

Saat ini, sulit untuk membedakan antara partai Islam dan partai nasionalis kerakyatan karena idealitas mereka sama-sama memperjuangkan kepentingan rakyat atas dasar ideologi Pancasila. Sehingga ukuran pembedaan parpol-parpol itu lebih tercermin dari jumlah pilihan rakyat yang relatif tidak lagi mempersoalkan ideologi sebagaimana hasil Pemilu 2004. Rakyat semakin independen untuk tidak mau lagi didikte parpol dengan jargon-jargon politiknya yang diumbar dalam berbagai kampanye di Pemilu lalu. Karena itu parpol perlu belajar banyak dari rakyat yang diwakilinya itu.

Keenam, atas kinerja parpol yang demikian, nilai rapor mereka sebenarnya berada dalam genggaman rakyat yang semakin hari semakin dewasa dalam berpolitik. Untuk itu sikap politik rakyat dalam memilih parpol pada pemilu yang akan datang (2009) menjadi catatan kinerja rapor parpol yang rambu-rambunya dimuat UU 31 Tahun 2002 tentang Parpol. Jangan salahkan rakyat jika nilai rapor parpol di bawah standar dalam pemilu yang akan datang. Rakyat tidak memilih parpol yang kinerjanya di bawah standar itu.

Otokritik eksponen pemuda
Keberadaan parpol tidak lain merupakan alat untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Untuk itu terjadinya kesenjangan antara kepentingan rakyat dan kepentingan parpol --termasuk kepentingan elite politiknya tidak boleh terjadi.
Karena hanya dengan yang demikian itu rakyat benar-benar memiliki kedaulatan yang sempurna.

Parpol akan ditinggalkan oleh rakyat jika mereka tidak cerdas dalam membaca tanda-tanda zaman. Jika kinerja parpol tidak paralel dengan aspirasi rakyat, maka mereka akan ditinggalkan oleh para pemilihnya. Keberadaan parpol harus diselamatkan. Salah satunya dengan jalan meningkatkan kinerja aktivisnya yang berada di berbagai lembaga politik untuk memenuhi harapan rakyat akan perubahan.

Selain itu akseptabilitas elite politiknya sudah seharusnya bekerja untuk melakukan pendidikan politik terhadap rakyat. Dengan demikian terjadinya kesenjangan antara harapan rakyat dan kebijakan partai harus ditekan dan jika mungkin ditiadakan.

Atas yang demikian itu, keberadaan parpol dapat menjadi barometer dalam memperjuangkan aspirasi rakyat, dan nilai-nilai demokrasi. Mengingat politik bukanlah sekadar proses prosedural. Penekanan politik sudah seharusnya menjangkau aspek substansialitas politik yang lebih menekankan aspek politik kemaslahatan.

Sehingga kinerja parpol sudah seharusnya disemangati dengan etika politik kemaslahatan untuk memperjuangkan kepentingan anggota, masyarakat, bangsa dan negara. Selanjutnya, rakyat bisa menakar parpol mana saja yang lebih sesuai dengan frame etika politik kemaslahatan. Pilihan rakyat tidak dapat dilepaskan atas dasar suara hati dan realitas sosial, dan bukan karena rekayasa yang lahir dari manifestasi dan kehendak elite politik parpol.

Etika politik kemaslahatan merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan setiap eksponen parpol yang ditebarkan ke seluruh relung kehidupan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara.

Dalam hal Pilkada 2009 pemuda yaitu orang yang masih muda; orang muda, demikian diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (hal.668) sangat diharapkan peran aktifnya sebagai aktivis yang mau memelekkan mata masyarakat untuk meningkatkan kemampuan mereka sekitar membaca tanda-tanda zaman, sehingga dalam penggunaan hak mereka sebagai warga negara tidak seperti membeli kucing dalam karung nantinya.

Salah memilih dalam ajang dan pesta demokrasi ini, maka akan berakibat fatal bagi kemashlahatan daerah, negara dan bangsa ini. Perlu diingat 5 menit salah memilih, maka 5 tahun ke depan akan membawa sengasara. Boleh juga sengsara membawa nikmat; dalam artian sengsara masyarakat nikmat bagi segelintir elit, kalau profil terpilih kemaruk dengan materialistik tanpa peduli dengan kepentingan masyarakat. Naudzubillahi min dzalik !


Selengkapnya...