08 November, 2008

Peri Bertanduk Merah

Oleh Arif S

“apa di tanganmu?” Tanya Jamila pada satu hari yang berkesan, ketika aku berhasil mengajaknya ke pantai menyaksikan pemancing ikan yang berjejer di sepanjang tanggul Kuala Radja.

“Apa kabar cinta?” tanya dia melalui pesan singkat yang ku buka di handphone. Waktu itu pagi-pagi sekali, ketika ayam jantanku berkokok untuk pertama kalinya di pagi yang berembun itu. Namun tidak seperti biasa. Aku tidak bisa membalas sapa perempuan yang kerap membangunkan mimpiku. Membuat aku harus meninggalkan tidurku setiap malam untuk merangkai wajahnya di awan.


Namun selalu, setiap aku dapat menyatukan titik-titik bintang itu menyerupai wajahnya. Aku merasa begitu takut, matahari esok akan menghapus raut bintang yang melukis rupa Jamila. Dan bila begitu, aku juga benci pada si Jhon, ayam jantanku. Setiap kokoknya selalu menandakan pagi datang. Bagiku Jamila seperti peri bertanduk merah, yang pertama sekali menanyakan kabar cinta pada ku di pagi ini.

“Baik, seperti kabar yang diterbangkan burung-burung itu”. Akhirnya aku membalas. Seketika ku rasa pagiku begitu hangat, seperti jari-jari besar yang merangkulku dalam pelukan sinar mentari pagi. Aku merasakan Jamila ada, Sebagai peri bertanduk merah yang menyihir logika ku kembali ke sepuluh tahun yang lalu. Saat perasaan ganjil datang untuk pertama kali dalam hidupku di tujuh belas tahun yang manis. Aku tak mengerti, aku merasa tertarik dan selalu berkhayal berada di dekat teman sekelas ku selalu, Rossa. Gadis dengan pipi kemerah-merahan, pandai membuat puisi, memiliki mata dan dada yang indah. Tapi aku tidak pernah menyatakan rasa yang ku miliki ke dia, gadis yang terlahir di perbukitan Gayo yang sejuk itu terlalu lembut dan menggairahkan. Sampai sekarang aku tidak tahu dimana dia berada. Mungkin dia sekarang adalah seorang ibu yang baik untuk anak-anaknya yang manis.

Usia ku kini di purnama penuh, Jamila kembali membuatku merasakan khawatir, cemburu, rindu dan bermacam gundah lain bila sekali pagi saja dia lewatkan untuk menyapaku, seperti rasa yang pernah Rossa cipta. Aku merasa tak tenang. Aku selalu begitu, benci mengakui rasa yang kumiliki. Rasa tak nyaman seperti ini yang membuat aku benci jatuh cinta. Menurut Fauzan, guru menulisku di sekolah yang unik, saat aku iseng mengikuti satu kontes menulis tentang negeri ku, tentang carut marut bandit-bandit pembantai.

“Jatuh cinta membuat kita setengah gila” katanya dalam satu pertemuan. Aku mengerti, ini sebuah pengakuan. Dan aku merasakan setiap kali separuh kewarasanku terbang ketika mengingat Jamila.

***

“apa di tanganmu?” Tanya Jamila pada satu hari yang berkesan, ketika aku berhasil mengajaknya ke pantai menyaksikan pemancing ikan yang berjejer di sepanjang tanggul Kuala Radja. Aku suka melihat bayangan mereka memanjang hingga menyentuh jempol kakiku saat matahari mulai membenamkan diri di balik gunung.

“ganja, warisan moyang kita”. Aku menatap matanya, dia tidak sedang memandang laut, juga tidak menatapku dengan lintingan yang telah kuselip di bibir. Dia menengadah ke atas, saat burung-burung camar memekik mengelilingi kami.

“kau sering gunakan itu?”

“sesering aku mengingatmu”

“kita pulang” Jamila berkata tanpa gerak, kedua tangannya disilangkan di dada.

“tunggu, kita belum melihat matahari terbenam” aku coba mencegahnya.

“kita pulang”

“kau tidak ingin aku mengucapkan sesuatu pada mu saat matahari itu pergi?”

“tak penting, kau tidak akan sadar saat katakan itu” kini Jamila menatap mataku, ku lihat kilau kuning senja itu juga memantul di mata indahnya. Sungguh, aku mengagumi mata coklat Jamila yang dipayungi alis lebat. Aku selalu gugup jika mata itu menatap mataku. Aku suka wanita beralis tebal. kata nenek ku, wanita yang punya alis tebal itu setia. Alis nenek ku juga tebal, dia meninggalkan kakek ku seorang diri di tempat yang jauh. Nenek tak mau memaafkan kesalah kakek dan memilih hidup bersama anak-anaknya. Masa tua yang retak. Dan aku tidak mau punya nasib yang sama dengan kakek nantinya. Dan kedekatan ku dengan Jamila, aku sendiri tak sepenuhnya mengerti. Alis tebal, mata indah, dada yang indah juga, dan pinggul yang membentuk biola. Dan…

“Tapi aku sadar mencintai mu Jamila”

Kulihat Jamila seperti melotot ke mukaku. Kemudian dia berjalan ke arah tanggul.

“berikan itu padaku” Jamila mengulurkan tangan saat aku telah berada di sisinya. Aku ragu memenuhi, takut Jamila akan melempar lintingan itu ke laut. Tapi tidak, setelah kuberikan, Jamila mengisap lintingan itu dengan mata terpejam.

“bagaimana rasanya” aku bertanya ketika gumpalan asap berebutan keluar dari belahan bibirnya yang seksi.

“Pahit”

Aku diam, tidak ingin mengomentari. Matahari di sebelah Barat perlahan mulai merendah menyentuh puncak bukit. Laut berubah warna dan khatulistiwa menjauh. Aku merasa terayun ombak, sesekali hempasan ombak besar itu memercikkan air asin ke arah kami. Nelayan-nelayan mulai memarkirkan perahu motornya di dermaga. seorang pemancing sedang membereskan perlengkapan miliknya. Aku menatap Jamila.

“kata mu, kau tak percaya pada cinta. Tapi mengapa tadi kau ucapkan itu pada ku?” Jamila berbicara pada ku saat mata kami bertemu.

“itu dulu, waktu yang lama sebelum sebentar mengenalmu”

“kau mabuk, aku tidak mau mendengar ucapan cinta seorang pemabuk” Jamila kembali menghisap lintingan itu. Laut mulai tenang, riak-riak kecil dan kicau camar. Matahari terbenam di balik bukit membiaskan warna jingga yang romantis. Jamila kemudian duduk di sisi kiri ku.

“kau tahu. suamiku dulu seorang yang baik, dia tidak pernah merokok dan berganja sepertimu. Setiap hari dia menghabiskan waktunya di meunasah sebagai tukang sapu dan tukang azan. Dia juga sering mengikuti pengajian, benci pada perbuatan-perbuatan seperti yang kita lakukan selama ini. Menurut dia, perbuatan yang seperti ini akan mendatangkan azab Tuhan.”

Kulihat mata Jamila mulai berkaca, kilau kuning senja kini bertambah beberapa titik sebelum air mata itu membelah pipinya dan berakhir di lenganku.

Entah untuk apa dia memberi tahu ku tentang suaminya. Aku tidak pernah mau mendengar cerita tentang lelaki itu, aku tidak mengenal dia, apa peduli ku terhadap suaminya. Bagiku Jamila lebih baik untuk mengisi hari-hari yang tidak menentu seperti sekarang. Dia peri yang menolongku dari kejaran polisi. Bagi polisi mungkin dia bertanduk merah, karena menolong seorang pengedar narkoba antar provinsi. Ah, aku tidak tahu apa polisi mengetahui itu. Sekarang aku tidak punya pekerjaan setelah kurir ku ditangkap di Medan. Dari mereka polisi tahu keberadaan ku, dan Jamila yang meloloskan ku dari kejaran mereka di malam naas itu. Tiga bulan aku tinggal di huntara korban aloen buluek. Di sisi barak Jamila, Janda yang kehilangan segalanya, rumah tangga yang baru dibangun selama enam bulan lenyap disapu gelombang laut. Sekarang seluruh waktu ku hanya was-was, mengisi hari dengan menunggu bantuan dari orang-orang asing yang singgah. Pekerjaan yang telah ku rintis selama empat tahun itu musnah sudah. Bukan karena aloen buleuk, tapi polisi. Aku benci polisi dan pemerintah. Selama ini tanaman ganja yang menghidupi ku, adik ku bisa sekolah dengan daun itu, ibu dan ayah bisa ku bantu. Aku tidak tahu nasib mereka sekarang, Dek Gam, Dek Noeng. Sekolahkah mereka, makankah mereka hari ini? Aku terpaksa membiarkan rasa iba ku berlalu, perasaan yang menyebalkan karena ketidak berdayaan ku yang naif.

Jamila menyentuh pundak ku, untuk kesekian kali mata ku bertemu matanya. Aku menunduk, tak kuasa menahan geram dan sedih. Jamila pasti menyangka aku ikut sedih dengan kematian suaminya di Desember basah lalu. Biarlah, ini bisa membuat dia sedikit terhibur. Entah kenapa aku tidak tega menyakiti dia. Cintakah ini? Kubiarkan Jamila menumpahkan kesalnya.

“suamiku tidak berbuat buruk, tapi azab itu menimpanya. Laut tidak adil, aku benci laut” Jamila melemparkan sebongkah batu ke laut. Aku mengerti, dia trauma dengan amuk laut enam bulan yang lalu. Laut yang biru, tempat awal mula kehidupan dimulai. Pantai Ulee Lheu, Pantai Lhok Nga, Pulau Weh dan pulau-pulau lain di dunia ini memulai kehidupannya dari asin air itu. Dari laut kehidupan dimulai, laut pula yang membuat semua berakhir, seperti jiwa-jiwa yang mati di akhir tahun sedih itu.

“Mau tambah lagi?” ku sodorkan satu lintingan ganja lain ke Jamila. Dia tersenyum menyambut pemberian ku. Senyum khas yang selalu terekam, terputar kembali ketika sunyi ku dalam kesendirian. Ombak menyanyikan ritme yang sama dengan tempo yang berulang-ulang. Petang akan berakhir. Bulan sabit menggantung di atas hamparan laut.

“kau masih benci laut?”

Jamila membakar lintingan ganja itu, tersenyum dengan manis.

“aku benci suamiku!”

0 komentar: