08 November, 2008

Luka Belum Selesai

Oleh Andi Firdaus

Bang Mus pernah menjadi satpam di hotel Renggali, Takengen, Aceh Tengah tahun 1990. Badannya masih kekar. Kumisnya tebal dan lebat. Rambut cepak. Selembar foto masih terpampang di dinding berkayu lapuk. Saya mengamati foto dalam bingkai itu penuh tanya. Masih atletis, janggung dan gagah.

LANCOK adalah desa seperti kebanyakan dusun di Aceh. Ada rumah sekolah, meunasah, kedai kopi, dan hilir mudik para penggarap sawah yang lalu lalang. Kehidupan masyarakat berjalan seiring berjalannya waktu. Lancok masih berada Kecamatan Bandar Baru, Pidie.

Selebihnya empat desa tetangga, Lancok Mesjid, Sawang, Lancok Baroh dan desa Manyang. Jaraknya dengan kota Kecamatan Bandar Baru, sekitar 3 kilometer.

Jika menuju desa itu, kita dihadapkan pada bentangan sawah dan pemandangan petani sedang menggarap sawah. Ada lembu sedang membajak, perempuan menanam padi, burung-burung berkicau, juga anak-anak lari tanpa baju. Benar-benar suasana desa.

Dari kelima desa, Lancok terbilang beda. Di desa ini Mustafa menghabiskan hari-hari bersama warga lain. Pembawaannya santai, bersahaja dan ramah.

Tak ada pertengkaran dengan tetangga meski hidupnya sudah puluhan tahun. Siang itu penampilannya sederhana. Memakai baju putih abu-abu layaknya lelaki seusianya. Meski penampilan sederhana, tapi tak jarang senyumnya yang istimewa.

Jika senyum, gigi berkarat. Pecandu rokok. Matanya sebelah kanan kecil, hidungnya bergores bagai disayat pisau. Kulit hitam, matanya lembam. Orang-orang Lancok memanggilnya Bang Mus.

Lebih akrab. ”Nama lengkap Mustafa Usman,” Katanya sambil mengeluarkan senyum.
Mustafa dilahirkan pada 12 Januari 1970. Usianya kini memasuki 38 tahun. Pertemuan saya dengannya berlangsung sederhana. Di atas tikar ukuran 3x3 kami duduk. Kaki terlipat dan saling berhadapan.

Di samping kanan terletak satu kursi papan warna dasar kayu. Tak ada cat warna-warni layakya rumah warga lain. Ada meja kecil di sebelah kanan tak beraturan. Di atas kepala kami ada tali, penuh dengan sangkutan kain.

Celana dalam, baju putih pendek dan kebayak warna biru. Semua kotor kena lumpur. “Ini lah rumah kami apa-adanya,” sambil tangannya memegang sebatang rokok siap dihisap. Kami duduk dengan obrolan santai. Bersila tikar pandan, di atas serambi rumah.

Mustafa menghabiskan separuh usianya di rumah yang masih berarsitektur ke-Aceh-an. Atapnya rumbia. Di depan rumah terlihat kandang lembu, dan sebatang pohon jambu. Benar-benar bukan tata ruang yang bagus, apik. Apa adanya. Bukan pemandangan indah memang. Dari sudut kesehatan lingkungan juga tak elok.

Jika di depan rumah ada kandang lembu dan taiknya berserakan. “Kesehatan lingkungan perlu diperhatikan agar penyakit tak mudah menyerang,” kata perawat kesehatan, Anita yang baru dua tahun menikah dengan pemuda setempat.

Senin siang, 3 Februari 2008 saya bertemu dengan laki-laki biasa, bukan artis yang beritanya sering menghiasi halaman media, meski berita tak berbobot, penuh gosip dan bahkan soal foya-foya selebriti di hotel mewah. Untung saja Mustafa tak nonton acara TV semacam cek dan ricek, kasak-kusuk dan bibir. Mustafa seumur hidupnya belum pernah masuk surat kabar, apalagi televisi.

Tak ada wartawan yang datang ke pelosok desa tempat ia tinggal, meski hanya sekadar wawancara singkat, bukan eklusif. Tak ada media elektronik bertemu dengan Mustafa, meski hanya merekam sekilas gambar wajahnya yang tua, bersahaja.

Sama sekali belum ada. ”Wartawan jino le beurita peujabat dum, asai haba pejabat di tameng koran (wartawan sekarang banyak berita pejabat, kalau kata-kata pejabat masuk koran),’ Bang Mus coba menyentil. Keinginan saya berjumpa dengan Bang Mus seharusnya sudah kulakukan lima tahun silam. Meski profesi saya sebagai wartawan freelance.

Namun, ketika itu Aceh dalam situasi konflik. Perang. Ini berawal ketika pada Senin pukul 00.00 Wib, 19 Mei 2003 pemerintah Indonesia mengumumkan status darurat militer. Bahaya bagi keselamatan saya jika lalu lalang di pelosok-pelosok desa ketika itu. Pengumuman itu tak terkecuali berimbas ke desa Lancok. Desa di mana Mustafa tinggal dalam kondisi tubuhnya yang lusuh.

Di sebuah rumah Aceh yang tak tertata dengan rapi, apik dan semak. Lorong menuju rumah Mustafa juga tak mudah masuk bagi setiap orang. Pandangan mata orang was-was. Tamu yang datang tak sedikit yang di plototin. Curiga.

Sejak Lancok berada di bawah status darurat militer seperti desa-desa lainya di Aceh, sepertinya warga sudah memahami ilmu kecurigaan. Bak ada pelatihan curiga yang diberikan sebelumnya. Setiap tamu yang masuk akan dicurigai dengan spontanitas. Apalagi tamu yang baru pertama sekali mengunjungi ke desa tersebut.

Di samping Bang Mus duduk seorang pria, rambut gondrong, tingginya sekitar 170 cm, kulit putih, badannya tegap. “Susah bila konflik, untung ada damai,” kata Muzakir pemuda desa setempat setengah berharap agar damai terus membumi di Aceh. Kecurigaan warga pada tamu bukan tak beralasan.

Banyak kejadian di depan mata, terus lengket di kepala pemuda dan warga hingga kini. “Kami masih ingat,” kata pemuda berusia 29 tahun singkat. Tahun 1990 ketika Aceh berada di bawah payung Daerah Operasi Militer (DOM) misalnya, sesosok mayat ditemukan warga persis di atas badan jalan menuju arah kota Kecamatan Bandar Baru. Tepatnya di depan pabrik pengolah padi milik Muhammad (50). Tak ada yang melihat di malam buta itu.

Paginya, seorang pria tergeletak tanpa identitas. “Semua warga tau, dulu ditemukan mayat di sana,” jelas Zakir sambil tangannya menunjuk ke arah pabrik yang dulunya sempat menghebohkan warga sekitar. Mayat tersebut ditemukan warga tanpa identitas. “Yang jelas bukan orang dari kampung ini,” Zakir meyakinkan saya ketika kami minum kopi bersama di desa itu.

Bagi anak muda, tinggal di kampung tanpa pekerjaan merupakan ketakutan tersendiri. ”Saya pergi ke Malaysia, cari kerja,” kata bang Mus seraya menjelaskan bahwa kepergiaanya ke negeri jiran untuk menghindari konflik.

Lima tahun Bang Mus melalang buana di negeri mantan perdana menteri Muhazir Muhammad. ”Bang Mus merantau ke negeri orang gak pulang-pulang,” kata Zakir. ”Nanggroe teh Kir (negeri mana Kir)?” Jawab Bang Mus sambil wajahnya menoreh Zakir.

”Kalau jadi anak muda jangan mau tahan sepatu pa’i (Sebutan untuk tentara pemeritah Indonesia) di kampung,” sindirnya lagi.

Sebelum ke malaysia, Bang Mus pernah menjadi satpan di hotel renggali, Takengen, Aceh Tengah tahun 1990. Badannya masih kekar. Kumisnya tebal dan lebat. Rambut cepak. Selembar foto masih terpampang di dinding berkayu lapuk.

Saya mengamati foto dalam bingkai itu penuh tanya. Foto Bang Mus atletis, jangkung. ”Itu foto tahun 90-an saat saya masih menjadi pengaman hotel,” jari tangan menunjuk tepat ke arah wajahnya.

”Foto ini di depan hotel Renggali,” tuturnya semangat.

MUSTAFA kini sendiri. Bukan seperti dulu gagah dan tegar. Tak banyak yang tahu Mustafa anggota Gerakan Aceh Merdeka. Pada tahun 90-an, sebutannya masih AM (Aceh merdeka), ia bergabung di Malaysia.

”Kami dulu mendengar saja Mus anggota Aceh Merdeka, tapi tak pernah jumpa,” sebut Rusyidah Ahmad (35) tetangga Mus di lain waktu kepada saya.

Perjuangan Mus di negeri jiran bukan tak ada tantangan. Mus harus lari bersembunyi dari kejaran polisi Malaysia, karena dianggap sebagai pendatang haram. Tapi tak jarang juga tertangkap akhirnya menjalani hukuman di penjara Malaysia.

”Kena tangkap sangat banyak, paling tiga bulan kemudian lepas,” dengan bangga Bang Mus bercerita. Hampir jutaan orang Aceh punya mimpi ketika itu. ”Bangsa Aceh ingin merdeka dari pemerintah Indon,” ketus Bang Mus sambil kedua tangannya sibuk memperbaiki sandal jepit.

Zakir tersenyum. ”Aceh merdeka tinggal mimpi Bang Mus,” jawab Zakir spontan. ”Perjuangan masih panjang,” timpalnya lagi. Pembicaraan berhenti. Zakir menadahkan wajahnya ke langit. ”Tarek rukok-rokok dile (Hisap rokok dulu),” gudang garam merah dia sodorkan.

Ekonomi Bang Mus payah, tak ada pekerjaan tetap. ”Rukok nyoe ata gob bie (rokok ini pemberian orang),” logat Acehnya kental. Sulit merubah ideologi merdeka yang sudah tertanam di kepada Bang Mus sejak puluhan tahun. Ia juga korban penyiksaan.

Masih ingat dalam kepala hampir jutaan rakyat Aceh, ketika pemukulan orang-orang Aceh di negeri jiran. Bang Mus salah satu dari sekian ribu orang yang hampir mati disiksa. Camp tahanan Semenyih, Port Klang, Kuala Lumpur pagi sekitar pukul 05.00. Bang Mus masih lelap tidur. Berbantal lengan, berkasur lantai dari semen.

“Doorr…dorrr,” suara tembakan membangunkannya. “Tahanan lari tak menentu arah,” sambungnya. Dalam sekejab Bang Mus disiksa, dipukul, ditendang hingga badannya seperti mayat.

Tragedi yang merengut nyawa ratusan orang Aceh mati tak beralasan. Selebihnya 45 ribu lebih warga Aceh dan pencari suaka panik. Begitu data sementara yang dikeluarkan konsul RI di Malaysia. Peristiwa Semenyih, 26 Maret 1998 adalah tragedy

menghentakkan dunia Internasional. Tak tanggung-tanggung, organisasi Solidaritas Perempuan (SP) menghimbau kepada lembaga seperti ILO, UNHCR, ICRC, Komisi HAM PBB untuk menyelenggarakan aksi bantuan kemanusiaan. Menurut Bang Mus, para tahanan saat itu diperlakukan tidak manusiawi.

Diperlakukan seperti binatang, dihina dan disiksa. “Kami dikasih racun oleh penjaga penjara,” katanya. Alasan tersebut membuat tahanan tak tahan diperlakukan layaknya binatang.

“Kami masih punya harga diri, kami manusia,” lanjut Bang Mus sambil wajahnya menoleh ke Zakir.

“Kami lawan,” suaranya sedikit tinggi. “Phet that Kir (Pahit sekali Kir),” dengan nada serak Bang Mus mengeluarkan kata.

“Popor senjata mengena ke wajah dan mata saya. Kami diserang pada malam gelap saat kami sedang lelap tidur.

Suara tembakan terdengar di mana-mana, kami kocar-kacir,” pelan-pelan Bang Mus memegang wajahnya. “Aneuk mata teuset u lua (Biji mata keluar),”

“Ini contoh penyiksaan,” jari telunjuknya mengarah ke mata sebelah kiri.

“Saya pingsan tak sadarkan diri,” kepalanya menggeleng-geleng.

Tak hanya camp Semenyih ratusan orang mati dan ribuan lainnya cedera. Machap, Umbo dan camp Langgeng juga terjadi insiden yang sama. Para tahanan tak berdaya. Bukan hanya pendatang haram (ilegal) merasakan penyiksaan, pencari suaka politik semacam Bang Mus juga ikut menjadi sasaran kekerasan.

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Suara Rakyat Malaysia (SUARAM) menggugah prihatin. Mereka mendesak kerajaan menghentikan pendekatan kekerasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap imigran Indonesia dan pencari suaka di Malaysia.

Selain itu, LSM juga meminta agar segera mengumumkan nama-nama korban yang tewas dalam kejadian di Semenyih, Machap, Umboo dan Lenggeng.

Demikian siaran pers yang dikirim kepada pemerintah Malaysia dan Indonesia melalui seruan solidaritas Internasional untuk perlindungan Hak Asasi Imigran Indonesia di Malaysia, 22 April 1998.

“Muka saya berdarah, kaki patah, mata tak bisa melihat apapun,”

“Terus….terus,” saya mencoba bertanya.

“Supot supeut hana kuthe droe kuh (gelap tanpa sadar diri),” sebutnya sambil menarik asap rokok dalam-dalam. Menggunakan kapal TNI angkatan laut, bang Mus dipulangkan dalam kondisi tak berdaya.

Tubuhnya tak bergerak. Warga menanti kedatangan bang Mus. Isak tangis tak tertahankan. “Bang Mus seperti mayat,” kata Rusyidah. “Dia hidup tapi tidak bisa berbuat apapun, hanya terbaring di ranjang ,” sambungnya lagi.

15 AGUSTUS 2005, secercah harapan datang. Tsunami 26 Desember 2004 menggugah pihak bertikai bicara damai. Bermil-mil dari Lancok, Kota dingin Helsinki menjadi pembicaraan mewujudkan perdamaian. Ada pertimbangan kemanusiaan di balik perlawanan yang digencarkan lebih 30 tahun.

Rekonstruksi, rehabilitasi, reintegrasi, rekonsiliasi adalah agenda diantara segudang agenda lainnya. Korban konflik menjadi bagian terpenting mewujudkan damai permanen. Jika Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh berperan mengurus korban tsunami, maka Badan Reintegrasi Aceh (BRA) ditujukan untuk korban konflik.

Bang Mus korban nyata yang bisa dilihat dengan mata kepala. Tak perlu riset, penyelidikan, atau pembuktian jenis apapun. Jalannya pincang, matanya buta. Tak memiliki pekerjaan karena fisiknya tak tahan.

“Hek that bantuan lawet njoo (susah dapat bantuan),” dia sambil bergurau.
“Datang saja ke BRA,” saran saya.

“Ke BRA?” wajahnya memperlihatkan ketidakpercayaan.

“Saya tak bisa buat proposal, kalau dikasih saya ambil,” ungkapnya.

Cerita bang Mus, dirinya pernah ke Dinas Sosial Kabupaten Pidie tak terhitung jumlahnya, apalagi ke BRA. Jika ada informasi pengobatan gratis, baik dari LSM lokal maupun internasional, tak pernah ia sia-siakan. Siapa tahu nasib mujur berpihak padanya.

Tak banyak kepentingan, hanya sekadar biaya pengobatan sebelah matanya yang rabun, dan fisiknya yang cacat. Itu pun harus menunggu tanpa kepastian. “Begitulah,” nada pasrah dia keluarkan.

Hari-harinya berharap belas kasihan. Berharap dibayar secangkir kopi dan sebatang rokok sudah lumayan. Berharap banyak dari pemerintah bukan pekerjaan mudah. “Usaha sep that ka (Usaha sudah melebihi),” sebutnya.

Saya sempat berpikir lama. Berpikir apa yang diperbincangkan di Helsinki untuk korban seperti bang Mus. Bila bang Mus bagian yang terlupakan, bagaimana dengan ribuan korban yang lain? “Reintegrasi bukan untuknya?” batinku.

Juni 2008 Bang Mus tak bisa berbagi cerita lagi. Dari balik kaca mobile phone sore itu, sebuah Sort Service Message (SMS) memberi tanda; Andi, bang Mus meninggal.

Saya bergegas melayat ke rumah duka. Tepat pukul 12.00 WIB bang Mus disemayamkan dengan dihadiri warga desa setempat. Saya berada di belakang iringan jenazah menuju pemakaman terakhir. Menyiratkan saya pada cerita-cerita tentang kematian reintegrasi yang tak berpihak.

"Bang Mus meninggalkan luka yang belum selesai," bisik teman seperjuangannya.

0 komentar: