25 Agustus, 2011

Aceh dan Jalur Independen

Oleh Jufrizal

Pria 72 tahun itu sudah digerogotin uban. Kulit keriput di bawah sepasang matanya mulai mengatung. Namun ingatannya masih tajam. Bicaranya tegas, terkadang berapi-api .

Sesekali tangannya menggempal ketika berbicara. Muhammad Yusuf nama pria tua itu.Perbincangan seru terjadi. Mulai dari pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia atau populernya DI/TII Aceh pimpinan Tgk Daud Beureueh, Pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), kesepakatan Helsinki, sampai permasalahan pro-kontra jalur independen pada pemilu kepala daerah Aceh mendatang.

“Nyoe tentang DI/TII Aceh bek ka tuleh dare nyang ata lon ceurita saknyoe beuh (Tentang DI/TII yang saya ceritakan tadi jangan ditulis ya,” pinta Yusuf.

‘Kenapa?” tanya saya.

“Bek ka tuleh, seeb kateupeu lee droe keuh mantong (jangan di tulis, cukup kamu saja yang mengetahuinya),” jawab Yusuf.

Yusuf kembali bercerita sambil menghisap rokok cerutunya. Asap mengepul ke udara. Bau asap rokoknya menusuk hidung saya. Hari itu dia mengenakan baju kemeja batik yang mulai lusuh. Celana kain dan memakai peci hitam.

“Lon nyoe masalah jalur independen wate peumilihan gubernur kali nyoe teutap seuteju, jinoe tanyoe ka dame dan keuputusan pusat haroh geutanyoe ikot (Saya kalau masalah jalur independen waktu pemilihan gubernur kali ini tetap setuju, kini kita telah berdamai dan keputusan pusat harus kita ikuti,” kata yusuf, diplomatis.

“Kupeu daree karu-karu bak masalah jalur independen nyan. Wate jameun Tgk Daud Beureueh peujuangan gob nyan untuk kesejahteraan rakyat Aceh (kenapa mesti ribut-ribut pada masalah jalur independen itu. Waktu jaman Tgk Daud beureueh perjuangan beliau untuk kesejahteraan rakyat Aceh),” ujar Yusuf.

Dia menganggap penolakan jalur independen yang telah diputuskan Makamah Konstitusi (MK) akan menciptakan konflik kembali nantinya di Aceh. Masih banyak kebijakan-kebijakan yang mesti dipikirkan oleh elit politik Aceh yang pengaruhmya lebih bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat Aceh.

Yusanto terus-menerus memutar mesin jahit tuanya. Saya dan Yusuf duduk membelakanginya. Sesekali suara nyaring mesin jahit itu mengusik perbincangan kami. Tak berapa lama saya menghampiri Yusanto. Dia sedari tadi juga mendengar pembahasan tentang jalur independen.

Dia pria Aceh asli. Namanya saja menyerupai nama Jawa. Kancing baju kemejanya sengaja dibuka setengah dada. Dia berbicara blak-blakan dan cepat.

“Lon nyoe masalah jalur independen hana lon teu’oh peugah peu (saya kalau masalah jalur independen tidak tahu mesti bicara apa)?” kata Yusanto.

“Tapih droe neuh seutuju atau han teuntang jalur independen nyan (tapi anda setuju atau tidak tentang jalur independen itu?” tanya saya.

Nyoe lon duwa-duwa jih seutuju. Asai soe nyan lheeu di joek peng, nyan lon dukoeng keu gubernur, tapi nyoe dijoek peng dari calon gubernur laen, tetap lon coek shit (Kalau saya dua-duanya setuju, asalkan siapa yang banyak kasih uang, itu saya dukung jadi gubernur, tapi kalau dikasih uang dari calon kandidat gubernur yang lain, tetap saya ambil juga),” jawab Yusanto.

Dia menilai selama pemilihan gubernur, para kandidat gubernur cuma menjanjikan programnya semata untuk mendulang suara. Lepas terpilih jadi gubernur baik dari partai maupun independen, mereka hanya memperkaya diri atau kelompoknya. makanya dia mengambil sikap suaranya harus dibeli oleh tiap calon gubernur.

Di sudut desa Rukoh, Banda Aceh ada kedai kopi Dek Mie yang ramai. Banyak orang berbincang-bincang sambil makan minum di situ. Suasana gaduh dan gelak tawa sesekali terdengar.

Hari itu, saya tampa sengaja berjumpa dengan Budi Azhari. Dia dengan beberapa temannya sedang berdiskusi berkenaan tentang jalur independen. Sayapun ikut bergabung satu meja dengan mereka.

Semenjak bergulirnya putusan Mahkamah Konstitusi di Jakarta mengabulkan permohonan para pendukung jalur independen untuk Pilkada mendatang. Masalah jalur independen tetap menjadi diskusi menarik di warung-warung kopi.

Budi Azhari berpendapat secara pribadi dia mendukung jalur independen, namun dalam kontek ke-Aceh-an dia menolak jalur independen. Aceh masih bagian dari Indonesia, tapi setelah perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia pada 15 Agustus 2005 silam, serta melahirkan Undang Undang Pemerintahan Aceh atau populernya UUPA, Aceh mempunyai kewenangan yang berbeda dengan propinsi lainnya di Indonesia.

“Seharusnya pemerintah pusat meruju kepada MoU Helsinki dalam mengambil keputusan menyangkut dengan jalur independen, jangan serta merta memberikan keputusan hukum tampa berkonsultasi terlebih dahulu dengan pemerintah Aceh dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA),” ujarnya.

“Ini berbicara marwah Aceh,” tegas Budi.

Dia merasa khawatir jika tiap pasal dalam UUPA nantinya bisa dibatalkan oleh pusat tampa berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPRA akan menimbulkan wacana pembatalan serupa secara sepihak terhadap pasal-pasal lainnya dalam UUPA. Akibatnya akan melemahkan posisi Aceh.

Di lain hari, Saya chatting dengan menggunakan Facebook dengan Muhadzdzier Muhammad Salda . saya juga bertanya dengannya tentang jalur indepeden. Cukup lama saya menunggu balasan chatting darinya.

Muhadzdzier setuju saja dengan jalur independen.

Dia bercerita terakhir mengikuti pemilu pada pemilihan presiden 2004 silam. Setelah itu, dia lebih memilih tidur di rumah dari pada pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).

“Saya pikir, tidur saya lebih penting daripada harus ke TPS,” tulis Muhadzdzier, lewat facebook

Dia menganggap ikut memilih nantinya sama saja membantu orang-orang munafik, zhalim, dan calon penguasa yang korupsi juga nantinya.

“Sebenarnya tidak ada jaminan calon dari independen dan partai akan bisa bersih, kecuali kalau pakai Rinso,” ungkap Muhadzdzier.

Rinso adalah merek pembersih pakaian.

Pada 18 April 2011 seratusan massa yang menamakan dirinya Barisan Muda Mahasiswa Aceh (BM2A) berunjuk rasa di DPRA. Mereka mengultimatum DPRA agar segera mengesahkan Raqan Pemilukada Aceh dan meminta DPRA untuk menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan adanya calon independen dalam Pemilukada Aceh.

Sementara itu, di hari yang sama di Lhok Seumawe juga ada aksi unjuk rasa dari Gerakan Sipil Pendukung UUPA. Massa ini menentang adanya jalur independen pada Pemilukada Aceh.

Apakah menurut kamu aksi unjuk rasa berkaitan dengan pro-kontra itu di bayar?” tanya saya pada Muhadzdzier.

“Saya masyarakat biasa, tidak berani mengatakan itu demo bayaran.Tapi pasti ada permainan dibalik demo itu,” kata Muhadzdzier.

“Saya kira ada penyokong anggaran juga walaupun segelas minuman mineral,” tambahnya.

Acara dialog di stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI) Aceh sedang berlangsung. Dialog itu membahas tentang pro kontra jalur independen dengan menghadirkan tiga orang narasumber yakni Abdullah Saleh dari fraksi Partai Aceh (PA), Juanda Jamal dari kalangan aktivis, dan Muhammad Jafar dari praktisi hukum.

Dialog berlangsung alot. Ketika dibuka sesi tanya jawab lewat layanan telepon, banyak penelepon menyayangkan pendapat politisi Partai Aceh, Abdullah Saleh yang menolak keberadaan jalur independen pada Pemilukada Aceh mendatang walaupun sudah ada pengesahan dari Mahkamah Konstitusi.

Pada pemilu legeslatif 2009 silam, Partai Aceh merupakan partai paling dominan meraih kursi di DPRA. Berdasarkan keputusan sidang pleno KIP Aceh, dari 69 jatah kursi di propinsi, Partai Aceh mendapatkan 33 kursi di DPRA.

Sementara itu Muhammad Jafar berpendapat bahwa secara yuridis keputusan Mahkamah Konstitusi adalah keputusan hukum yang tegas dan mengikat. Putusan ini tidak bisa dilarikan ke ranah politik dengan berpendapat adanya suara mayoritas atau minoritas masyarakat yang pro-kontra dengan jalur independen.

“Bukankah hukum juga produk politik?”

“Ya benar, tapi jika DPRA ingin membatalkan atau mengubah putusan jalur independen yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi itu tidak mungkin. Produk politik dapat diubah dengan sesama lembaga yang setingkat antara keduanya, tidak mungkin peraturan atau undang undang yang diputuskan oleh DPR pusat dibatalkan oleh DPRA,” jawab Muhammad Jafar.

Maraknya pemberitaan di media cetak dan elektronik tentang pro kontra jalur independen, ada pula masyarakat Aceh yang tidak tahu sama sekali dengan jalur independen. Nur Fadillah dan Safrina, termasuk orang yang tidak mengetahuinya.
“lon hana toeng dengoe jalur independen nyan, Peu lee jalur independen nyan, (Saya tidak pernah mendengar jalur independen itu, Apa itu jalur independen)?” tanya Safrina.

*) Jufrizal adalah salah seorang penulis buku antologi Acehfeature; Setelah Damai Di Helsinki. Dia penerima beasiswa pemerintahan China program Master Jurnalism di Nanchang University.


0 komentar: