25 Agustus, 2011

Sebuah Bangsa Datang Dan Berlalu

Oleh Musmarwan Abdullah

Goa Tujuh Laweng, Pidie
Aku terjaga dari tidurku yang nyenyak. Kuusap mata. Kutebarkan pandangan ke sekeliling goa. Tetapi kenapa suasana di dalam goa gelap begini?

Masya-Allah. Bagaimana ini bisa terjadi, mulut goa sudah tertutup ilalang yang meninggi. Padahal sebelumnya di sini hanya ada rumput tanah belaka.

Dengan susah payah aku menguak ilalang yang menebal di mulut goa. Tiba di luar, kulihat pohon-pohon kerdil yang tumbuh di sekeliling goa kini sudah menjadi pohon-pohon raksasa yang meninggi bagai menantang angkasa.

Tak mungkin aku berpanjang-panjang mengherani semua ini karena tiba-tiba rasa lapar datang menyerang bagai mengoyak-ngoyak semesta dinding perutku.

Aku berjalan ke kota hendak membeli makanan.

“Subhanallah, Allahuakbar. Padango jawara bataki iriane, melayuna. Hindustani arabiku cinane eropahe?” kata perempuan pemilik toko kue itu.

Aku tidak mengerti bahasanya kecuali seruan subhanallah dan takbir itu. Tetapi dengan intuisi peka seorang yang sedang lapar, aku dapat meraba maksud kata-katanya.

Ia mengatakan bahwa uangku adalah uang kuno. Dan sembari menyerahkan bungkusan kue, ia menanyakan dari mana aku datang.

Rasanya tak ada lain yang kuinginkan setelah perut terisi makanan melainkan melihat almanak. Dan di selembar pertanggalan yang kulirik sambil berlalu di depan sebuah toko, aku terhenyak bagai tak percaya. Di kelender itu tertera tahun: 2502. Waktu pertama kali aku masuk belantara adalah tahun 2002.

Wahai, tiada sekata yang terucap di mulut kecuali kalimat Allahuakbar yang berkali-kali menggeletar di hati ketika menyadari, aku telah tertidur di goa itu selama beratus-ratus tahun.

Aku baru sadar kini, rupanya sejak tadi ke mana pun aku pergi, orang-orang saling menatapku dengan sinar mata heran sekaligus takjub sembari mulut mereka menyeru-nyeru kalimah Subhanallah atau Allahuakbar yang diiringi kata-kata lainnya yang tak kumengerti. Penampilan dan postur tubuh beserta resam wajahku rupanya tampak sangat asing di mata mereka.

Lalu seorang tua yang berpenampilan penuh kharisma dan air muka bijak, datang menghampiriku. “Anak muda. Mari engkau kubawa ke rumahku,” katanya seraya meraih pelan lenganku. Dan sesampainya di sana, sembari duduk lesehan di atas permadani rumahnya yang mewah, ia menerangkan.

Bahwa ia bisa bertutur dengan bahasa yang kumengerti karena ia adalah seorang profesor sejarah kuno. Lalu tanpa disebutnya alasan dan tujuan, lantas ia bercerita dengan mimik serius seperti tengah melakukan suatu bentuk penjajakan tertentu.

“Dalam sebuah kitab kuno yang berisikan bunga rampai kejadian-kejadian kecil zaman itu, di salah satu bagiannya disebutkan,” kata profesor tua ini selanjutnya,
“bahwa di suatu zaman, di negeri ini, hiduplah seorang tokoh muda yang missi hidupnya tidak lain melainkan mengelilingi seluruh negeri sembari tak henti-henti menyeru pada seisi negeri agar berhenti berperang.

“Dia tak bosan-bosannya mendatangi para petinggi negeri agar memerintahkan kelompok-kelompok rakyat jelata untuk tak saling bertikai. Tetapi para pemimpin ini tidak perduli. Malah bagi mereka, makin lalai rakyat berperang makin leluasa mereka main korupsi lantaran tak ada yang perduli.

“Dia juga tak henti-hentinya mendatangi para tokoh intelektual agar mencari solusi bagaimana mendamaikan rakayat yang sedang adu senjata antar sesama. Tatapi para cendekiawan ini pun tidak perduli. Mereka asyik sendiri dengan visi-visi, inovasi-inovasi yang semuanya terkadang hanya sebatas teori-teori dalam wujudnya yang absurd alias tanpa arti tanpa iplementasi.

“Anak muda itu juga tak puas-puasnya mendatangi para budayawan dan seniman agar mencari jalan yang terindah penuh sopan santun untuk menyudahi peperangan yang sepertinya sudah menjadi budaya di kalangan rakyat jelata negeri ini dalam menyelesaikan konflik antar sesama. Tetapi kalangan ini pun tak mau ambil pusing. Mereka asyik sendiri dengan gagasan-gagasan yang cemerlang, nyanyian-nyanyian yang mengasyikkan, tarian-tarian yang memukau, lukisan-lukisan yang indah, sastra-sastra yang menakjubkan. Seni adalah untuk seni, bukan untuk kawula negeri yang sedang tak tahu barat-timur lagi.

“Sang belia malang itu juga tak padai-padainya mendekati para ulama agar turun gelanggang membimbing rakyat yang tengah bergelimang di kegelapan kebinatangan kehidupan yang nyaris tak terperi. Tetapi orang-orang berkopiah dan bersorban ini sepertinya sangat takut dengan resiko tertimpa kekerasan apabila ikut terlibat, baik sebagai penengah maupun sebagai tokoh yang berpihak pada kelompok-kelompok yang diyakininya benar. Orang yang tak pernah berhenti berzikir ini lebih memilih berdiam diri di perhunian-perhuniannya yang damai sembari berdoa pagi, siang, petang dan malam hari agar diri dan keluarganya dijauhkan dari neraka, dimasukkan ke dalam sorga.”

“Profesor!” potongku ingin meminta lihat kitab sejarah kuno yang ditulis secara sangat kurang ajar itu. Tetapi profesor tua ini cepat memotong pula.
“Jangan menyela dulu hai anak muda zaman kuno!”
Lalu ia melanjutkan paparan pengetahuannya.

“Akhirnya pemuda yang malang itu putus asa. Lalu ia mengasingkan diri ke hutan belantara. Semua orang di dalam negeri, baik petinggi, cendekiawan, seniman, ulama maupun rakyat jelata yang tengah berperang bertanya-tanya, apa yang akan dilakukan tokoh muda itu di tengah-tengah hutan gunung? Mereka lalu menduga-duga. Mungkin dia bunuh diri di sana dengan menyerahkan tubuhnya ke haribaan binatang ganas seperti harimau, ular dan singa. Atau mungkin saja dia bertapa di dalam goa, lalu tertidur, bangun dan tertidur lagi, lalu bangun lagi dan akhirnya mati sendiri karena kekurangan berbagai-bagai kebutuhan baik jasmani maupun rohani.

“Sejarah tentang anak muda itu terputus sampai di sini. Pembicaraan orang di dalam negeri tentang dirinya dalam tempo sesaat hilang samasekali. Mereka segera kembali kepada keasyikannya sendiri-sendiri. Terutama rakyat jelata; mereka sudah mengobarkan perang lagi. Dan, tentu saja, satu-satu kembali terkapar, menggelepar-gelepar di haribaan bumi; mati, mati dan mati. Tiada saat yang berlalu tanpa kematian massal akibat korban peperangan antar sesamanya sendiri. Akhirnya golongan rakyat jelata ini punah samasekali. Tiada tersisa.

“Dan disebutkan dalam kitab sejarah kuno itu, bahwa pada abat berikutnya yang tertinggal di negeri ini hanyalah golongan para petinggi negeri, golongan cendekiawan, golongan seniman dan golongan ulama. Tetapi lambat laun para petinggi ini mulai menyadari, tanpa rakyat, mereka bukanlah petinggi. Golongan cendekiawan pun mulai merasakan, tanpa masyarakat ilmu mereka tak berarti.

Golongan seniman juga mulai tenggelam dalam kontemplasi, bahwa tanpa penghuni negeri, popularitas mereka tiada gema dan karya mereka tak ada yang menikmati. Sementara golongan ulama mulai beristighfar pagi, siang, petang dan malam hari menyadari kekhilafannya yang amat fatal lantaran telah membiarkan umat punah dalam peperangan sehingga agama Allah yang dipertanggungjawabkan di ubun-ubun kepalanya telah kehilangan semua pemeluknya.”

“Profesor,” selaku ingin meminta kitab sejarah kuno itu untuk segera membacanya karena episode yang dituturkannya ini samasekali di luar pengetahuanku lantaran kejadiannya persis sepeninggalanku mengasingkan diri ke hutan belantara dan lalu tertidur di goa. Tetapi sang profesor segera memotong pula.
”Diam, manusia kuno! Jangan potong! Dengar dulu, kenapa?!”

Lalu ia pun melanjutkan narasinya yang merupakan sejarah kuno sang negeri tercinta.
“Nah, kemudian empat golongan yang masih tersisa ini saling melemparkan tanggungjawab atas kepunahan rakyat jelata yang sesungguhnya merupakan mata rantai paling menentukan dalam keberlangsungan kehidupan sebuah bangsa. Maka tibalah pada suatu titik kulminasi, sehingga yang terjadi akhirnya adalah, golongan intelektual memerangi golongan petinggi; golongan petinggi memerangi golongan ulama; golongan ulama memerangi golongan seniman; dan golongan seniman memerangi golongan intelektual.”
“Oh, begitukah Profesor?”

“Ya. Tetapi isi kitab itu hanya berakhir sampai di sini. Lalu oleh kami yang hidup saat ini melakukan penelusuran sejarah berdasarkan penelitian-penelitian arkeologi. Dan tahulah kami, empat golongan itu, setelah mengalami puncak pertikaian, mereka pun punah semuanya. Sehingga pada abat berikutnya negeri ini hanya tinggal tanah kosong tanpa penghuni.

Maka alamnya yang indah dengan bukit dan lembah, tanahnya yang kaya dengan lapisan kerak bumi, hutannya yang merimbun dan bersesak-sesak dengan keragaman flora dan fauna diam-diam berubah laksana lambaian nan gemulai yang memanggil dengan desah penuh rindu hingga membuat seluruh bangsa di dunia satu persatu datang ke mari; menetap, berbaur, bercampur dan akhirnya lebur jadi satu bangsa baru sebagai pemilik sah tanah negeri ini.”

Sampai di sini terasa tiba-tiba mataku sembab. Desiran kesedihan terasa melintas hatiku tak terperi. Profesor tersangak. Namun beliau segera melanjutkan.


“Dan untuk menghormati sekaligus menghargai roh arwah bangsa asal muasal yang telah tiada, maka bangsa baru ini bersepakat untuk hidup beragama, berbangsa dan bernegara berdasarkan hukum syariat yang dianut sekaligus pernah diabaikan oleh bangsa pendahulu. Dan semua ini mereka pelajari dari lembaran-lembaran al-Qur’an dan lembaran-lembaran kitab hadis Rasulullah yang mereka temukan dalam penggalian-penggalian arkeologi. Dan mereka mengikutinya secara kaffah, menyeluruh, tanpa membuang yang pahit dan menelan yang manisnya belaka. Tidak! Nah, itulah nenek moyang kami dan juga kami sampai saat ini wahai anak muda.”

Kini kesedihan, kenelangsaan dan keharuan menyergap alam jiwaku silih berganti hingga nyaris tak terasa airmataku luruh satu-satu.

“Dari gerak-gerik air mukamu saat mendengar paparanku, aku dapat memastikan, engkaulah anak muda yang mengasingkan diri ke hutan belantara pada zaman dulu itu.”
“Benar, Profesor,” berkata aku seraya menghapus air mata yang berjuntai di pipi.
“Artinya, engkau telah tertidur dalam rimba itu selama lima ratus tahun.”
“Tiada salah, Profesor. Dalam sebuah goa.”

“Maukah kau membaca kitab sejarah zamanmu itu?”

”Tidak. Jangan. Ternyata itu akan sangat menyiksa bagiku,” demikian aku berkata dengan suara parau semakin lirih. Terasa lambat laun tubuhku semakin melemah. Dan Profesor segera merebahkan badanku pelan-pelan hingga terlentang di atas karpet permadaninya. “Prof. Aku hanya ingin melihat wajah kitab itu sekilas saja,” desahku di antara sisa-sisa kesadaran, antara hidup dan kepergian.

Profesor sertamerta masuk ke ruang perpustakaannya, lalu keluar seraya menenteng sebuah buku yang tebal, lusuh, kusam dan koyak-koyak. Diperlihatkannya padaku diiringi wajahnya yang sendu. Hanya dengan hati kueja judulnya: “Aceh Datang Semusim Kemudian Berlalu.” Tanpa nama penulis.

“Apa yang kau inginkan kini?” tanya Profesor dengan mata berkaca-kaca penuh duka dan iba. Tetapi sudah tiada dayaku lagi untuk menjawabnya walau sekata.

Wahai, betapa rindunya aku kini, ingin segera pergi dan hidup di alam roh bersama para arwah orang-orang yang sebangsa dan sezaman denganku, yang selama lima ratus tahun telah menungguku di haribaan alam barzakh sana untuk meminta maaf padaku dan sekaligus hendak mengutarakan penyesalan dari kekeliruan hidupnya semasa di dunia. Kendati mereka tahu, bahwa itu pun sudah tak berarti lagi.


1 komentar:

Reza Mustafa mengatakan...

hmmmm... futuristik sekali bang. teringat dengan cerita ashabul kahfi. hehehe... saleum!