26 Agustus, 2011

‘Birahi’ Elit Aceh Kacaukan Pemilukada

Oleh Chairul Sya'ban

Foto: Chairul Sya'ban
PEMILUKADA Aceh tahun 2011 banyak menyita energi  menyusul terjadinya tarik-menarik antar penguasa. Dua kutub berseteru, Pemerintah Aceh dibawah komando Gubernur Irwandi Yusuf dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang dominan dikuasai Partai Aceh (PA). Bagaimana dengan posisi Komisi Independen Pemilihan (KIP) yang justru berada di antara keduanya?


KIP pun bagai di ujung tanduk. Tindakan DPRA membentukPanitia Khusus (Pansus) menjadikan KIP layaknya 'tersangka' dalam konflik regulasi Pemilukada ini. Sikap DPRA tersebut dinilai banyak pihak terlalu mengada-ngada, bahkan cederung menempatkan KIP bekerja di bawah tekanan (pressure).


KIP adalah lembaga mandiri, tidak boleh DPRA bersikap sekonyong-konyong. Kendati harus diakui fungsi dewan salah satunya adalah sebagai pihak pengawasan. Namun, sekaitan pelaksanaan Pemilukada adalah kewenangan KIP sepenuhnya. “Jadi, DPRA tidak punya kewenangan untuk menunda Pemilukada itu.”

Dalam pekan-pekan terakhir ini menggambarkan sebuah performa perpolitikan Aceh kini penuh intrik dan gejolak. Inikah dinamika politik ureung Aceh yang konon katanya memiliki kiblat pluralis alias luar negeri ? Karena banyak produk hukum dalam negeri terkesampingkan, bahkan tak terpakai sama sekali.

Kembali pada pokok kerja penyelenggara, dimana tugas dan kewenangan serta kewajiban Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, yang tidak satu poin pun menyebutkan adanya perihal melahirkan regulasi Pemilukada. Kecuali pengaturan Juklak dan Juknis tahapan pelaksanaan serta sejumlah keputusan serangkaian perhelatan pesta lima tahunan itu untuk ditaati dan dipatuhi para pihak.

Tapi apa dinyana, kenyataannya disaat pihak-pihak yang berkepentingan dan memiliki andil dalam menentukan—melahirkan aturan (regulasi—red) malah justeru “mengumandangkan” adanya konflik regulasi yang menghanyutkan lembaga KIP ke “lumpur hidup” dan “kubang kotor” sehingga tugas dan kewajiban sebagai penyelenggara tergadaikan untuk memenuhi “birahi” elit di Bumi Seuramoe Mekah, ini.

KIP sebagai lembaga penyelenggara yang independen telah menetapkan tahapan-tahapan sesuai amanah peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku saat ini. Tiba-tiba KIP harus menghentikan kegiatannya, yang saat ini cukup populer dengan istilah cooling down atau jeda Pemikukada.

Pada satu sisi, ada elemen masyarakat yang menilai KIP telah menjalankan tugas dan kewenangan serta kewajiban secara baik dan benar. Tapi, apa lacur perjalanan yang coba dilakoni KIP di atas rel yang diperintahkan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) harus terhenti dikarenakan keinginan elit-elit Aceh dengan berbagai alasan dan kepentingannya.

Seperti apa yang disampaikan Ketua PKS Aceh Ghufran Zainal Abadin. Dimana penundaan Pemilukada Aceh sesuatu yang penting. Menurutnya permintaan penundaan Pemilukada tahun 2011 ini untuk mencegah terjadinya konflik dan memberi waktu kepada pihak-pihak yang terlibat guna mencari solusi dan bisa keluar dari konflik regulasi. Penundaan Pemilukada juga penting untuk meminta Pemerintah Pusat mencari solusi terkait kisruh politik di Aceh.

Pemaksaan pelaksanaan Pemilukada di tahun 2011 dalam kondisi seperti sekarang, dinilai rentan terhadap terjadinya konflik, sehingga butuh situasi politik yang tenang agar Pemilukada berlangsung aman dan damai nantinya.

Lebih lanjut Ghufran mengatakan, penundaan Pemilukada tidak dikarenakan Partai Politik (Parpol) takut terhadap calon perseorangan dari incumbant. “Kita tidak bicara kalah menang di sini, tetapi ini demi kelangsungan damai di Aceh,” cetusnya.

Sedangkan dari Partai Demokrat Aceh punya alasan lain seperti yang disampaikan Mawardy Nurdin. “Kalau situasi yang panas dilanjutkan dengan pelaksanaan tahapan Pemilukada, kondisi damai yang telah dirasakan masyarakat Aceh selama lima tahun ini bisa berubah seperti masa konflik,” seru Mawardy yang juga Walikota Banda Aceh, itu. Juru Bicara Pertemuan Silaturrahmi Lintas Parpol mengetengahkan, bahwa jeda Pemilukada 2011 ini penting dilakukan menyusul kondisi perpolitikan Aceh yang kian bersuhu tinggi.

Senada dengan Mawardy Nurdin, Juru Bicara Parta Aceh, Fachrurazi mengatakan, berbagai isu regulasi Pemilukada di Aceh telah memunculkan eskalasi politik dan melibatkan para pihak berseteru. Terutama setelah DPRA mensahkan Qanun Pemilukada beberapa waktu lalu, namun ditolak mentah-mentah oleh Pemerintahan Aceh.

Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf melihat produksi qanun yang dibidani DPRA itu sarat kepentingan sepihak, banyak pasal bertolak belakang dengan UU dan UUD 1945, sebagaimana salah satunya yang tanpa mengakomodir calon peserta Pemilukada Aceh dari jalur perseorangan.

Semua alasan dan pertimbangan, pihak yang meminta Pemilukada ditunda ternyata tidak bisa diterima elemen sipil seperti apa yang disampaikan aktivis Barisan Muda Mahasiswa Atjeh (BM2A) Aceh Utara dan Lhokseumawe. Elemen sipil tersebut berunjuk rasa di Bundaran Harun Square, Lhokseumawe, Kamis (21/7). Mereka meminta Pemilukada Aceh 2011 tidak ditunda. “Aceh bukan milik Parpol dan elit Aceh,” seru BM2A lewat spanduk dan poster-poster yang diusungnya.

“KIP teruskan kerjamu. Pemilukada milik rakyat, bukan milik Parpol.” Kalimat-kalimat sindiran dan hujatan yang dikomandangkan BM2A ini sepatutnya tidak dianggap enteng, karena BM2A merupakan gerakan rakyat dan elemen sipil yang juga memiliki kekuatan besar. Dalam unjuk rasa BM2A meminta Presiden RI, Mekopolhukam, Mendagri, KPU dan KIP Aceh memperkuat komitmen dalam menjalankan Pemilukada Aceh tepat waktu, adil dan demokratis sesuai perundang-undangan yang berlaku.

Lebih lanjut meminta DPRA taat pada azas hukum, menolak pernyataan Forum Lintas Parpol yang mengusulkan Pemilukada ditunda. Dan, meminta pihak keamanan menindak tegas pihak yang merusak perdamaian Aceh. Bagi mereka, penolak Pemilukada adalah penghancur perdamaian Aceh.

Pada kesempatan lain, Juru Bicara Presidium Young of Development Aceh (PYDA), Teuku Faisal SH punya pandangan lain. Dia memberikan pendapat bahwa tidak ada konflik regulasi, itu hanya alasan yang dicari-cari. Sebagaimana dalam banyak pandangan para elemen sipil, bahwa DPRA dan pihak partai di Aceh saat ini lebih mementingkan birahi politiknya ketimbang ikhwal lain sekaitan hajatan hidup rakyat banyak.

“Bukankah pluit permainan sudah dibunyikan, masa pemain disuruh berhenti. Seharusnya sebelum tahapan Pemilukada dimulai, pihak-pihak memiliki otoritas membuat regulasi melaksanakan kewenangan,” cetus Teuku Faisal seraya menandaskan, lebih anehnya lagi para pemainnya itu ikut menghalang-halangi wasit (KIP—red) dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.

Ingat, KIP adalah penyelenggara yang independen. Tak boleh diintervensi oleh siapapun, termasuk presiden sekalipun DPRA menganggap KIP Aceh hasil produknya. “Padahal mereka (DPRA—red) lah hasil produk KIP, dan DPRA sudah salah kaprah,” tambah Faisal yang juga mantan aktivis mahasiswa, itu.

Selanjutnya dia menjelaskan, seyogyanya Pemerintah Aceh dan DPRA pada jauh-jauh hari memprioritaskan pembahasan dan menyelesaikan Qanun Pemilukada. “Jika Qanun (Pemilkuda—red) dapat disepakati kedua belah pihak (Pemerintah Aceh dan DPRA—red) dengan koreksi Mendagri RI untuk menjadi Lembaran Negara maka Qanun Aceh No. 7 Tahun 2006 tidak lagi digunakan KIP.

“Namun, karena Qanun baru itu gagal produk, maka tentu saja KIP wajib mempedomani pada Qanun Aceh Nomor 7 tahun 2006 itu” tandas Faisal yang juga Ketua Kaukus Pemuda Pantai Timur, itu.

Dia juga memberikan penilaian perdebatan (konflik) regulasi, bukan lah ranah KIP sebagai penyelenggara. “Saya kira KIP menjalan aturan dan perundang-undang yang berlaku saat ini. Jadi kalau KIP harus menunggu Qanun baru yang terkait Pemilukada, bisa dianggap lalai tidak melaksanakan tugas dan kewajiban dalam menghadirkan KDH (Kepala Daerah) setiap periode 5 tahunan,” katanya.

“Inilah yang kita sesalkan, dimana perilaku elit politik saat ini lebih mementingkan kekuasaan dari pada melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Apa yang dilakukan elit politik itu tidak ubahnya dengan perilaku politik palsu. Jika politik palsu terus dibiarkan, demokrasi kian rapuh," sesalnya.

Lebih lanjut dia mengatakan manuver-manuver politik elite Aceh sekarang ini justeru semakin menimbulkan tanda tanya. Dimana para elit hanya berjuang untuk kepentingan pribadi dan kelompok masing-masing, tanpa menimbang baik-buruknya bagi Aceh secara keseluruhan.

“Kesan haus kekuasaan lebih menonjol ketimbang upaya merawat perdamaian Aceh yang sudah terjaga selama ini,” sergah Faisal seraya menandaskan, apa yang dibuat tokoh Parnas dan Parlok merupakan hal yang sah-sah saja, tapi terkesan seperti menghalalkan segala cara. “Kekuatiran masyarakat tidak akan ikut memilih pada Pemilukada tahun 2011 kali ini, jika perilaku elit politik masih mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompok,” jelasnya.

Sepertinya pandangan yang disampaikan T Faisal ada benarnya. Dimana masyarakat kini kian apatis saja akan keikutsertaannya pada Pemilukada, untuk ambil bagian sebagai konstituen adalah sebuah hal yang hampa. Bagi sebagaian masyarakat, Pemilukada atau moment pemilihan, baik level bawah maupun level atas. Mulai pemilihan Geuchik hingga pemilihan Presiden sekalipun, tidak lagi menjadi hal penting. Bahkan malah justeru menghabiskan waktunya percuma.

“Karena gak ada gunanya bagi kami yang ada menghabis waktu saja untuk datang ke TPS memberikan suara dalam setiap pemilihan itu,” seru abang beca di Kota Langsa, Iskandar (50 tahun) kepada media ini beberapa waktu lalu.

Dibalik itu, ada harapan menggelayut, kendati tak sedikit asa telah tercerabut atas keberadaan pemimpin bangsa di negeri ini. Sebagaimana Gindo Pane (28 tahun) pemuda asal Kecamatan Karang Baru, Aceh Tamiang, berharap pemimpin mendatang bisa menjadikannya PNS. “Tidak penting pemimpin dari jalur independen atau dari jalur partai politik,” serunya.

Sementara Reza warga Langsa mengemukakan yang penting Pemilukada berjalan lancar dan jangan ribut-ribut. “Masyarakat udah lelah dengan keributan, lapar dan dalam kesusahan seumur-umur, pemimpin yang aku harapkan pemimpin yang bisa membawa sedikit rasa politik aman dan nyaman, “ kata Reza dengan nada pasrah.

Sekulumit pandangan masyarakat ini seyogyanya patut diperhatikan oleh petinggi—elit Aceh, karenanya diminta untuk tidak berbuat dan bersikap tercela. “Karena, dengan sikap dan bicara elit politik Aceh hari ini, sama halnya mempertontonkan kepongahannya dan ingin menang sendiri, tanpa memikirkan nasib rakyat Aceh pasca konflik yang hingga kini belum juga memberi kesejahteraan dan ketenangan jiwa,” sergah Muhammad Isa, tokoh masyarakat Aceh Timur, belum lama ini.

KIP Kembali Berkayuh
Kembali ke kondisi Pemilukada terkini mulai mendapat angin segar, menyusul pertemuan dn rapat koordinasi DPRA, lintas partai dan Gubernur Aceh dan KIP dengan Kemendagri RI di Jakarta, baru-baru ini. Angin segar itu bernama cooling down selama sebulan terhitung 5 Agustus hingga 5 September 2011.

Kemendagri mengisyaratkan dua minggu kemudian setelah sebulan itu, DPRA wajib melahirkan Qanun Pemilukada. Berdasarkan tematis, dua pekan setelah masa jeda itu berarti pihak KIP Aceh kembali melanjutkan tahapannya tanpa harus mempertimbangkan lagi kelar atau tidaknya Qanun itu disusun dewan di sana.

Maka, sejak tanggal 20 September 2011 ini, KIP Aceh dan Kabupaten/Kota kembali menjalankan roda regulasi itu sendiri dengan berpedoman pada Qanun yang tersedia. “Artinya KIP Aceh tetap wajib melanjutkan tahapan-tahapan Pemilukada dengan menggunakan Qanun lama, bilamana Qanun baru belum juga dilahirkan pada 19 September 2011 ini,” tambah Teuku Faisal SH.

Dengan skedul baru, KIP kembali berkayuh menjalankan tahapan-tahapan Pemilukada tanpa harus “sungkan” pada DPRA. Angin segar juga kembali berhembus, menyusul DPRA mengirim surat pemberitahuan masa berakhirnya jabatan Kepala Daerah. Pengiriman pemberitahuan yang dilakukan DPRA baru-baru ini merupakan awal romantisme perpolitikan Aceh penuh suka cita.

Kendati, tanpa surat pemberitahuan itu KIP Aceh tetap melaksanakan tahapan-tahapan Pemilukada itu, karena pemberitahuan itu ditafsirkan wajib diberi tahu DPRA, manakala KIP lupa. “Tapi, selama ini KIP kan tidak lupa,” seru Faisal sembari mengartikulasi lebih lanjut tentang salah satu Pasal UUPA terkait “pemberitahuan masa berakhirnya jabatan kepala daerah oleh DPRA.”

“Karenanya tidak ada alasan bagi KIP Aceh, untuk tidak melaksanakan Pemilukada, bila tanpa adanya pemberitahuan DPRA, itu nonsen,” celutuknya lagi. Dalam kacamata Sukri Asma sebenarnya tak ada konflik regulasi, yang ada cuma konflik kepentingan. Regulasi menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah pengaturan.

Regulasi di Indonesia diartikan sebagai sumber hukum formil berupa peraturan perundang-undangan yang memiliki beberapa unsur, yaitu merupakan suatu keputusan yang tertulis, dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, dan mengikat umum.

“Menjadi aneh kan, regulasi yang ada dipertentangkan sesamanya, yakni sesama yang melahirkan regulasi itu sendiri,” ucapnya seraya menguraikan, kemudian terlepas siapa masing-masing mereka yang memproduk regulasi. “Yang pasti DPR, MK dan Pemerintah adalah lembaga negara yang memiliki kewenangan melahirkan aturan atau undang-undang,” demikian Teuku Faisal SH.

Menanggapi kondisi perpolitikan Aceh yang kian memanas ini, Faisal malah justeru menilai semua itu adalah situasi yang sengaja dibuat-buat. Sealah-olah Aceh kembali menggelegak-gelegak atas isu yang sengaja dibangun di tengah-tengah masyarakat Aceh yang kian gamang.

“Mereka sengaja menciptakan kegamangan Aceh biar leluasa menguasai kekuasaan disegala lini, DPRA sudah menciptakan dirinya sebagai pihak super power, sehingga ikut memaksakan kehendaknya di atas fungsi dan tugas lembaga lain yang independen,” tambahnya.

Menelisik kondisi terkini, banyak perkembangan dan melesat ke arah lebih baik. Dimana Pemerintah Pusat c/q Kemendagri RI memberi sinyal bahwa Pemilukada Aceh harus tetap berlangsung di tahun 2011 ini. Ada sedikit bocoran KIP Aceh sepertinya telah menyusun—siapkan skedul/jadwal tahapan Pemilukada yang baru untuk melanjutkan tahapan yang tertunda pasca cooling down, berdasarkan info orang dalam KIP telah menetapkan hari ‘H’ pencoblosan antara tanggal 14 Desember atau 24 Desember tahun 2011. Benarkan tanggal itu, kita lihat saja nanti. ***.


*)Redaktur dan Reporter di Tabloid Media Suara Publik, Kota Langsa

0 komentar: