27 Agustus, 2011

Rita, Srikandi dari Göttingen

Oleh Zainal Bakri

Cuaca begitu dingin pagi itu. Suhu mendekati minus 13 derajat celcius. Hampir seluruh warga Kota Göttingen, Jerman, masih terlelap di bawah selimut tebal. Jalan jalan juga masih sepi. Belum terlihat ada kendaraan yang melintas.

Di salah satu kota, seorang perempuan muda sedang mengayuh sepeda di pagi buta. Ia berjuang melajukan sepedanya, ditengah tebalnya salju yang membalut setiap jengkal jalan.

Asap mengepul dari mulut dan hidungnya. Desah nafasnya terdengar hingga beberapa meter. Sesekali ia menghentikan sepedanya, dan merogoh koran yang terbalut plastik dari kantong yang terikat di bagian belakang sepeda. Satu persatu koran itu dilemparnya ke arah pintu rumah pelanggan. 

Meski hampir seluruh tubuhnya terbalut jaket tebal, namun ia masih merasakan hawa dingin, menusuk hingga ke sendi-sendi tulang. Perempuan itu hanya menyisakan separuh wajahnya tersentuh salju. Namun ia tak terlihat lelah. Dua jam berkeliling dengan sepeda, ia tuntas mengantar koran ke semua pelanggan. “Alhamdulillah, akhirnya selesai juga. Saatnya kembali ke rumah untuk shalat shubuh dan bersiap kuliah,” katanya dalam bahasa Indonesia. Perempuan berkulit kuning langsat ini bernama Rita Khathir, kelahiran Banda Aceh, 1 Desember 31 tahun silam.

Menjadi loper di negara eropa seperti Jerman, sesungguhnya bukan pekerjaan yang gampang bagi pendatang. Waktu bekerja di pagi buta, dalam suhu yang tidak normal, merupakan salah satu tantangannya. Tantangan terberat ketika musim dingin tiba. Pernah suatu kali, katanya, Kota Göttingen, mengalami musim dingin terparah. Suhu di pagi hari ketika itu berada pada angka minus 24 derajat celcius. Tak terbayang bagaimana menjalani kehidupan dalam cuaca yang begitu dingin, melebihi suhu di dalam kulkas.

Dalam cuaca seperti itu, es hampir menutupi seluruh bagian kota. Beberapa kali ia pernah mengalami kecelakaan ketika mengantar koran. Ia terjatuh dari sepeda, hingga kakinya membiru. Di waktu yang lain, sebuah kecelakaan kecil menimpa sepedanya. “Penutup ban belakang saya terlipat dan masuk ke dalam roda. Sementara saat itu musim dingin dengan suhu minus 4 derajat celcius. Sebenarnya air mata saya sudah mulai berlinang sedikit, namun saya sadar itu bukan solusi dan bukan saat yang tepat untuk menangis. Akhirnya saya menelpon taxi dan pulang membawa sepeda plus koran-koran yang belum terbagi,” ungkapnya.

Dalam sepekan, ia bekerja sebagai loper koran sejak Senin hingga Sabtu. Hari Minggu ia mendapat jatah libur ditambah pada hari-hari libur nasional Jerman. “Setiap hari saya bekerja antara 1,5 hingga dua jam dengan penhasilan rata-rata antara 350 hingga 400 euro. Satu euronya sekitar 12 ribu rupiah,” katanya sembari tersenyum. Pekerjaan itu sudah ditekuni Rita selama 2,5 tahun.
Rita bukan lah seorang loper koran murni. Ia mahasiswa S3 pada Universitas Georg August, Göttingen. Mantan delegasi Unsyiah pada lomba Fahmil Quran Tingkat Nasional di Solo (1999) ini juga meraih gelar master di universitas yang sama tiga tahun yang lalu.

“Menjadi loper hanya mengisi waktu agar lebih bermanfaat. Apa lagi aktifitas di pagi hari sangat bagus bagi kesehatan. Jadi kegiatan ini tidak semata-mata karena alasan finansial. Saat ini saya sedang sibuk menyiapkan ujian akhir doktoral. Doakan saya ya?,” katanya ketika itu. Studi S3 yang ditempuhnya atas beasiswa dari Direktorat PendidikanTinggi, Kementerian Pendidikan Nasional.

Rita menyebutkan, untuk menghadapi ujian akhir, ia meminta agar ayah dan ibunya datang ke Jerman. Kehadiran keduanya dirasakan akan memberi semangat lebih untuknya berjuang. ““Saya akan menghadirkan ayah dan ibu ke Jerman untuk melihat ujian sidang dan menghadiri wisuda,” paparnya dengan mata berbinar. Tiket pesawat Banda Aceh – Frankfurt untuk ayah dan ibu juga sudah dipesan dengan uang dari hasil jual koran, meski orang tuanya mampu untuk membayanya sendiri. Ternyata untuk itulah selama ini dia mengumpulkan tabungan dari bekerja keras sebagai loper koran. Ia bahkan memberi kejutan perjalanan ke London, yang diketahuinya menjadi impian sang Ayah sejak lama.


Saat ini, ia sudah sah membubuhkan gelar Phd di belakang namanya. Rita yang berhasil lulus sebagai dosen Fakultas Pertanian Unsyiah pada usia 23 tahun, sekaligus menjadi dosen termuda Unsyiah ketika itu, sudah menjalani ujian doktoral pada 13 Juli 2011 dan diwisuda pada 29 Juli. Desertasinya berjudul; Pengontrolan serangga hama gudang Oryzaephilus surinamensis pada gandum dengan menggunakan energi gelombang mikro. Gadis muslimah yang selalu tampil bersahaja itu mengambil studi tentang Keteknikan Pertanian Pasca Panen.

***

Sejak kecil, putri dari pasangan Drs H Rusli Ibrahim dan Dra Hj Armanusah Ali ini memiliki banyak prestasi. Sebagai anak perempuan tunggal dengan 3 saudara laki-laki, ia mengaku memiki sifat tomboi. Namun Rita kecil justru tumbuh mandiri dan selalu belajar menyelesaikan masalahnya. “Ayah mengirimkan saya ke sekolah madrasah selama 12 tahun secara konsisten, saya rasa karena itu saya boleh memahami agama Islam dan berusaha mengaplikasikannya. Saya tidak tomboi secara penampakan luar,” ujarnya sambil tersenyum.

Hampir pada semua jenjang sekolah, Rita selalu tampil sebagai juara. Walau kadang tak bisa juara satu, posisi kedua pasti menjadi miliknya. Sekolah dasar dan menengah lanjutan pertama ditempuhnya di MIN dan MTsN Tungkob, Darussalam. Sementara tingkat atas ia memilih di MAN I Banda Aceh. Sejak usia belasan tahun, dia sudah mulai mengajari anak anak sedesanya mengaji. “Setiap lebaran saya harus duduk di rumah menunggu anak-anak itu, mereka akan mengunjungi ummi kecil untuk sungkem, he he. Padahal saya juga masih kecil dan tidak bisa memberikan mereka ampau,” kenangnya.

Selesai menamatkan MAN tahun 1997, Rita melanjutkan kuliahnya pada Fakultas Pertanian Unsyiah. Sebenarnya ia ingin menjadi seorang dokter dengan memilih kuliah di Fakultas Kedokteran. Tapi dalam sebuah diskusi dengan ayahnya, ia menjadi paham bahwa kuliah di kedokteran akan membutuhkan biaya besar. “Lalu saya meminta sang ayah untuk memilihkan bidang studi lain, dan akhirnya beliau memilih Teknik Pertanian dengan pertimbangan bahwa ilmu yang diperoleh juga bisa digunakan untuk membangun kampung kami kelak,” ceritanya.

Nasib baik memang memihak padanya. Tak butuh waktu lama untuk mencari pekerjaan. Setelah menyelesaikan kuliah di tahun 2002 dengan predikat cum laude, ia melamar sebagai tenaga dosen pada almamaternya dan lulus. Ia diterima sebagai dosen dengan status PNS tepat tanggal 1 Desember 2002. “Ayah bilang ke saya, itu jadi kado ulang tahun saya yang ke 23,” ujarnya.

Empat tahun mengajar, keberuntungan lain pun menyambanginya. Ia mendapat beasiswa dari Lembaga DAAD Jerman untuk melanjutkan studi program master di Fakultas Pertanian Universitas Georg August, Göttingen, Jerman. Menerima konfirmasi kelulusan untuk studi S2 di Jerman, membuat perasaan Rita bercampur aduk. Ia merasa gembira sekaligus gundah. Bahagia karena tak semua bisa mendapatkan kesempatan seperti itu. Tapi ia juga khawatir, hidup di negeri yang memiliki kaum muslim minoritas.

“Selama ini saya mengawal diri dengan susah payah. Semua aktivitas yang saya lakukan harus selalu memberikan kontribusi positif. Saya jarang menonton televisi. Selalu menghadiri pengajian rutin, tak pernah keluar malam dan berteman dengan kawan-kawan yang shalehah. Teman-teman mencandai saya sebagai anak yang berusaha hidup pada jalan yang lurus,” katanya.

Di tengah kegalauan itulah, ayahnya memberikan motivasi yang mengubah kebimbangannya menjadi sebuah keyakinan. “Kami ingin anak kami yang shalehah menjadi seorang ilmuwan,” kata ayahnya ketika itu. Akhirnya ia pun berangkat dengan tekad bulat, melanjutkan sekolah sebagai persembahan kepada kedua orang tua. Tepat dua tahun, ia meraih gelar master dan langsung melanjutkan program S3 pada universitas yang sama atas beasiswa Dikti Kemendiknas.

“Tapi perjuangan belum selesai, apa yang saya dapat harus bisa membahagiakan orang tua dan bermanfaat bagi orang lain,” kata Rita suatu pagi melalui saluran telepon internasional. [Sumber: Aceh Voice]






0 komentar: