19 Agustus, 2011

Ilyas Badai, Pejuang Terlupakan

Oleh Salman

Jasanya mempertahankan negeri ini seperti tak dihargai. Terbukti, tak ada bintang jasa tersemat, begitu juga gaji untuk biaya hidup tak pernah didapat dari Negara yang telah dibelanya.

Itulah jalan kehidupan yang dialami Tgk Ilyas Badai. Lelaki renta, 82 tahun, asal Desa Blang Dalam, Kecamatan Geumpang, Pidie. Perjalanan hidupnya panjang, sejak proklamasi didengungkan.

Dia berkisah jalan hidupnya. Usai proklamasi, Belanda tak serta merta hengkang dari Indonesia. Karena itulah, Sukarno yang menjadi Presiden Indonesia kala itu, meminta bantuan pejuang Aceh untuk mengusir penjajah yang masih bercokol di Medan dan sekitarnya.

Di bawah komando Tgk Daud Beureueh dan Kolonel Jusuf Bireuen, 6.000 pasukan Aceh siap sedia. Ilyas termasuk di dalamya, karena ia telah jadi tentara saat itu.

“Saya tugas di Bataliyon sembilan, Kuala Simpang, pangkat saya saat itu Kopral,” cerita Ilyas kepada saya akhir april 2008 lalu di dermaga Lampulo, Banda Aceh. Sebelumnya, ia sempat menjadi tentara Jepang tahun 1943.

Sebelum diturunkan ke kancah perang, semua prajurit tadi sempat diberi pelatihan khusus selama tiga bulan di bataliyon, tempat Ilyas bertugas.

Setelah itu, dengan senjata lengkap, semua pasukan langsung bertolak ke Sumatera Utara, medan laga. Di sana perang sengit meletus.

“Saya sempat beberapa kali melepaskan mortir dan granant ke arah mereka (Belanda-red), kalau senjata biasa itu sudah pasti selalu saya tembakkan,” kenangnya. Perang sempat berlangsung tiga setengah tahun, kendati tak terus-menerus.

Alhasil Belanda angkat kaki dari negeri ini. Di pihak Aceh, kata Ilyas, 400 prajurit tewas. Pejuang Aceh membakar seluruh tempat peninggalan Belanda di Medan Area.

Perang usai, prajurit tersisa kembali lagi ke Aceh. Ilyas dan beberapa kawannya kemudian membuka latihan militer di kawasan Ulee Gle, Pidie. Dia menjadi pelatih.

Latihan itu diperuntukkan untuk pemuda Aceh, agar mampu berlaga dan menggunakan senjata, sebagai antisipasi jika perang terjadi lagi.

Selama setahun berjalan, beberapa pemuda sukses menjadi tentara. Ilyas kemudian memilih merantau ke pulau Jawa. Tiga tahun di sana, Ia kembali lagi ke Aceh.

Saat itu, di Aceh sedang bergejolak pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI TII), menggugat Indonesia yang tak adil kepada Aceh.

Beberapa prajurit binaannya dulu memilih masuk TII. Namun Ilyas saat itu sudah memilih jalan hidup sendiri, jadi masyarakat biasa. Begitulah hingga kini.

Masa Orde Baru memimpin negeri ini, ada inisiatif pemerintah untuk memberi penghargaan kepada pejuang veteran. Sejumlah prajurit seperjuangan Ilyas ikut terdaftar, dan mereka diberi gaji untuk biaya hidup sebagai bentuk perhatian atas jasa mereka.

Namun, nasib baik itu tak memihak ilyas. Dia tak terdata. Beberapa kali ia mengurusnya namun hasilnya nihil.

Sekitar akhir tahun 1990-an, ia mencoba lagi membuat urusan itu, sejumlah tetek bengek surat dilengkapinya dan diajukan ke kantor yang mengurus veteran di Banda Aceh.

Saat itu, pihak kantor tersebut meminta biaya pengurusan Rp300 ribu pada Ilyas. Namun ia tak punya uang sebanyak itu.

Berkas Ilyas dikembalikan. Disitulah Ilyas merasa telah dipandang sebelah mata oleh negaranya. “Saya pasrah setelah itu,” ujarnya lirih.

Sekitar tahun 2001, Ilyas bertemu dengan Gubernur Aceh kala itu, Abdullah Puteh. Dia mengadu dan minta agar jasanya itu dihargai. Namun Puteh ‘angkat tangan’.

Puteh mengaku tak bisa mengurusnya. Sebagi bentuk keprihatinan, Puteh kemudian memberinya uang Rp300 ribu.

Pada tahun 2005, saat Mustafa Abubakar menjabat Plt Gubernur Aceh, Ilyas juga sempat mengadu hal yang sama. Jawaban sama didapat Ilyas, dia juga diberikakn uang setara dengan yang diberi Puteh, 300 ribu.

Beberapa waktu lalu, sang pejuang malang itu juga sempat bertemu dengan Wakil Gubernur Aceh, Muhammad Nazar. Pengakuan Ilyas, perlakukannya juga sama; ‘angkat tangan’. Nazar memberikannya Rp50 ribu.

Begitulah nasib Ilyas. Pontang panting menaruh nyawa membela negara, tapi jasanya dipandang sebelah mata.

Ilyas kini tinggal di desanya, Geumpang, dan menggantungkan hidupnya pada anak-anaknya. Dia punya delapan anak dengan empat cucu.

Ilyas tak segagah dulu. Dia telah ringkih, jalannya mulai tertatih-tatih dengan ditompang dua tongkat di ketiaknya. “ Jasa saya seperti tak dihargai, saya mantan pejuang.”(*)




0 komentar: