22 Agustus, 2011

Abu Lhok Paoh

Cerpenis Aceh dan penulis buku
kumpulan cerpen berjudul;
Pada Tikungan Berikutnya.
Oleh Musmarwan Abdullah

Jum’at sore yang cerah berlangit biru kau menapak kaki di halaman luas sebuah gedung penerbitan daerah. Mau menjumpai Abu yang pasti tengah berkonsentrasi menghadapi naskah-naskah tulisan di salah satu meja di dalam gedung mentereng bertingkat dua itu. Tentu kau takkan punya urusan apa-apa dengannya sekiranya ia seorang tukang urus ternak.

Seyogianya ia memang telah menjadi pakar peternakan dulu. Tetapi di usia lima belas tahun ia sudah coba-coba menulis cerita. Dan dimuat di majalah anak-anak terbitan ibukota. Itulah, kenikmatan jadi penulis membuat ia nekad meninggalkan Sekolah Peternakan Pemerintah itu. Tentu dengan sebuah trik.

“Aneuk manyak tungang. Mau jadi apa dia nanti?” gerutu ayahnya ketika mengetahui anaknya sang calon ahli hewan yang bakal diangkat jadi pegawai negeri itu diusir dari sekolah dan disuruh angkat kaki dari asrama yang disediakan sekolah karena (sengaja tentu) sering-sering melanggar aturan.

Seumpama bulan bulat penuh yang bertengger di pucuk langit, sebulat itulah tekadnya sudah untuk hidup dan mati di dunia yang satu itu: membaca kehidupan, menghayati kehidupan, berpikir tentang kehidupan dan menulis kehidupan.

Riwayat secuil masa lalunya memang begitu. Kalau ditarik secara keseluruhan garis lintas peruntungan maka akan terlihat suatu gambaran pergulatan hidup yang mendebarkan. Dia adalah suatu sosok anak manusia yang telah merenda kehidupan dalam tiga zaman:

Masa kecil ia lalui ketika pecah perang dengan kaum fasis berkulit kuning bermata sempit tapi berotak brilian; masa remajanya ia lalui ketika pecah perang antar sesama yakni tatkala bendera revolusi-sosial dihempangkan yang melegitimasi suatu kelompok membunuh kelompok yang lain padahal kedua-duanya terlahir dari satu rahim ibu; dan masa dewasanya ia lalui dalam zaman ketika segenap anak negeri dicerai-beraikan dalam dua keterpaksaan menganut mazhab ideologi bernegara, Komunis atau Pancasila; sedangkan di masa tuanya kini ia dihadapkan pada suatu kenyataan dalam wujud gebyar prahara keserdaduan antar dua kekuatan bersenjata di mana yang satu mempertahankan prinsip negara kesatuan sementara yang satu lagi ingin melepas diri dari rengkuhan ibu pertiwi dan maka yang ditengah-tengah sudah pasti, saling tunjuk saling fintah saling tak tahu ke manakah sesungguhnya Tuhan berpihak.

Dan itulah dia. Seniman. Pencipta puisi. Penulis cerpen. Pengarang cerita bersambung. Juga pegelut teater. Dia, Sastrawan Lintas Perang. Sang Serdadu Tua yang belum mau mati, begitu kalian sering menyebutnya. Abu Lhok Paoh nama aslinya.

Sekarang tiga belas tahun yang lalu Abu sudah duduk di situ. Di kursi redaktur budaya surat kabar satu-satunya untuk daerahmu. Yakni sebuah media cetak yang dibaca orang di kota-kota, di desa-desa dan dieja oleh mereka yang di pelosok-pelosok terpencil sana. Tetapi kisah Abu Lhok Paoh menjadi lain ketika ia disangkut-pautkan dengan penulis-penulis junior.

Di mata para pengarang muda Abu adalah seorang redaktur budaya yang sukar ditebak prinsipnya. Ia sangat toleran pada penulis-penulis pemula. Sesederhana apa pun tulisan mereka akan dimuatnya (tentu kalau memang memenuhi prinsip kelayakannya). Tetapi terhadap para penulis yang telah melewati lima tahun kiprah kepengarangannya, Abu akan bersikap killer. Cendrung menerapkan kedisiplinan ketat ala testing calon serdadu.

“Cerpen-cerpenku sekarang payah sekali dimuat beliau,” keluh seorang cerpenis muda. “Aku jadi serba salah dan tak mengerti.”

Seorang teman yang lain, penyair muda, juga menyimpan rasa tak bahagia kepada sang redaktur. Keluhnya, “Kalau pun puisi-puisiku dimuatnya, itu pasti sesudah diubah-ubah atau dipotong-potong beliau terlebih dahulu sehingga aku merasa tidak puas dan bahkan merasa dirugikan.”
Seorang esais muda, kawanmu juga, tak jauh beda dengan kawan-kawanmu yang lain. “Tulisan-tulisanku suka dibanting-banting beliau…” katanya.

Dan katamu, “Apakah kita lebih percaya pada diri kita yang masih new commer dari pada beliau yang sudah berkarat dalam dunia yang satu itu?”
“Aku menyimpan rasa ragu pada sikap selektif beliau.”
“Maksudmu?” tanyamu.

“Bagiku Abu seorang yang anti perubahan. Penganut faham kemapanan. Beliau samasekali tak membiarkan kita berkreasi sebebas yang kita mau. Padahal ini zaman kita. Zaman beliau sudah lewat. Sistem beliau sudah kaku. Sekarang seyogianya yang berlaku adalah sistem kita. Malah beliau sendiri sebenarnya hidup menumpang di zaman kita.

Nah, kenapa beliau suka mengintervensi hak-hak kebebasan sang tuan zaman?”

“Coba renungkan sedikit, kawan,” katamu pada kawan-kawanmu itu. “Kecenderungan memakai keyakinan yang berlebih-lebihan terhadap kualitas karya-karyanya, itu adalah sifat dasar para penulis yang baru jadi. Kedangkalan penghayatan dan kementahan berfikir yang terdapat pada orang muda akan senantiasa melahirkan kekeliruan interpretasi ketika ia dihadapkan pada ketidakmulusan. Orang muda darahnya berapi-api. Mau menang sendiri. Walau salah tak peduli. Dan itulah kita.”

“Ah, mentang-mentang cerpenmu sering dimuat, kau membela Abu, ha?” kata salah seorang dengan nada spontan sepertinya ia tiba-tiba kehilangan batasan-batasan normatif dalam mengikuti kebiasaan bicara ala orang-orang sastra.

Bukan. Memang bukan maksudmu memihak sang redaktur tetapi kau memang menangkap keresahan dalam jiwa-jiwa kalian yang masih belum matang kendati referensi kalian sebanyak lembaran daun-daun di seantero bumi. Karya kalian masih kental dengan unsur-unsur ego. Kalian cendrung kehilangan orientasi ketika menyampaikan pesan-pesan tertentu lewat karya-karya kalian, yang sebenarnya pesan-pesan tersebut harus kalian sampaikan secara ikhlas tanpa tonjolan keakuan diri yang berlebihan.

“Dia sudah tua, kawan,” tulismu dalam sepucuk surat. “Telah ia lalui sebuah perjalanan hidup yang panjang. Sepanjang usianya kini. Enam puluh dua tahun. Sudah, sudah terlalu matang untuk sebuah dunia yang telah ia geluti sejak usianya lima belas tahun.

“Ah, terlalu angkuh kita ini untuk menyesali kebijakan-kebijakannya tatkala ia memotong-motong, membolak-balik dan bahkan samasekali tidak meloloskan cerpen-cerpen kita, puisi-puisi kita, esai-esai kita.
“Kawan, dia itu sudah tua. Rambutnya yang ikal sudah putih semua. Namun lihatlah, mahkota peraknya yang gondrong itu kerap diikat ke belakang selazim paramuda mensoleki rambut panjangnya yang masih legam. Pertanda, kendati tubuhnya sudah agak ringkih dan posturnya sudah tak tegap lagi, hidupnya masih bersemangat.

“Syukur dia masih sanggup membedah-bedah, mengaduk-ngaduk bahkan membanting-banting tulisan kita. Kita mengira tidak lelah memotong-motong sebuah cerpen hingga layak dikonsumsi beribu-ribu orang, ya, kan? Kita mengira mudah menukar-takir perlambangan-perlambangan dalam sebuah puisi hingga layak dinikmati segenap pembaca koran, ya, kan? Syukur dia masih mau dan kita masih punya guru…”

Demikian tulismu di alinea-alinea awal dalam sepucuk surat yang kau tulis sama beberapa lembar lalu kau kirimkan kepada kawan-kawanmu itu. Beberapa orang di antara mereka tinggal di ibukota provinsi dan sebagian yang lain menyebar. Ada yang tinggal di ibukota-ibukota kabupaten, ada pula yang sepertimu, hidup di pelosok paling terpencil negeri ini. Hanya sekali-sekali kalian berkumpul di ibukota provinsi terutama saat ada undangan dari dewan kesenian daerah.

Dan semua kawan itu membalas suratmu dengan isi-isi yang singkat yang bahkan beberapa di antaranya hanya berisi sekalimat saja, tanpa salam pembuka dan salam penutup sebagaimana layaknya sebuah surat. Pertanda, mereka kurang suka pada apologimu dalam membela Abu. Malah ada teman yang nekad membalas dengan hanya delapan kata bernada sentimen subjektif, “Aku tahu, kau mau diambil Abu sebagai menantunya…” Teman itu memang tidak tahu yang Abu tidak memiliki anak perempuan.

Sesungguhnya di antara kawan-kawanmu itu, kaulah yang paling jera dibuat Abu. Naskah-naskahmulah yang terbanyak ditolak Abu. Dan ini kau ketahui dari hasil gerilyamu tanya sana-sini antar sesama. Mereka salah mengira dan kau pun tidak memaksa agar mereka percaya.

Demikianlah Jum’at sore yang cerah berlangit biru itu, kau diterima Abu di ruang kerjanya meski kau tahu dia sedang amat sibuk. Mula-mula kalian berbicara entah tentang apa sembari minum aqua dingin yang ditaruhnya di atas meja redaksinya. Panjang juga pembicaraan tak bertema khusus itu mengingat kalian berdua jarang sekali bertemu karena kau memang jarang sekali pesiar ke ibukota provinsi. Tatkala merasa timingnya sudah tepat maka kau pun bertanya:

“Apakah cerpen yang saya kirim terakhir itu layak muat, Abu?”
“Yang mana itu?” tanya Abu dengan mata yang segera berpindah-pindah antara tumpukan-tumpukan naskah kiriman kawan-kawanmu dan juga penulis-penulis sastra lainnya, yang tersusun-susun nyaris tak teratur di atas meja redaksinya yang lebar. Banyak sekali rupanya orang yang buah tangannya ingin dimuat di halaman budaya, pikirmu. Betapa berat untuk menyeleksinya dengan prinsip standarisasi kwalitas dan keadilan mengingat ruangan ini hanya terbit sekali dalam seminggu.
“Yang mana, hmm?” tanya Abu lagi.

“Yang judulnya Sebuah Bangsa Datang dan Berlalu,” jawabmu untuk menggiring ingatannya lantaran naskah itu memang sudah hampir satu bulan kau kirimkan.

“O, hm. Judulnya menarik,” jawab Abu yang segera ingat pernah membaca naskah itu. “Namun temanya sudah terlalu sering dijamah orang,” sambungnya sembari mata melirik ke keranjang sampah di dekat kaki kursinya. Dan rasanya kau ingin segera mengelus dada. Bukan lantaran kecewa. Tapi semata-mata karena lirikan matanya. Ke keranjang sampah.

“Kalau kamu ingin cerpenmu itu dimuat juga, yaaa, tidak apa-apa. Otoritas pemuatan sebuah tulisan di halaman budaya ada pada saya sebagai redaktur budayanya dan setelah itu kamu akan menerima kiriman honornya tentu saja. Tapi you musti ingat, kredibilitasmu sebagai cerpenis akan jatuh ketika publik mendapatkan karyamu yang tak bernilai tiba-tiba muncul di koran.”
“Tidak. Jangan Abu,” katamu tergesa-gesa.

“kawan,” tulismu dalam surat yang dibalas dengan sinis oleh teman-temanmu itu, “dia bukan hanya telah membesarkan kita melalui halaman bergengsi yang diasuhnya itu, tapi juga ikut menjaga nilai eksistensi kita sementara kita sendiri justru jarang sekali mau berkontemplasi bahwa tanpa kita sadari ternyata banyak karya-karya kita yang bersifat bunuh diri.

“Dia sudah tua, kawan. Sudah tiada lagi nafsunya untuk bermain-main sentimen, apalagi menghalang-halangi kebebasan kreativitas sang tuan zaman. Kini dalam dirinya hanya tinggal keinginan untuk menyaksikan orang-orang yang pernah dibesarkannya menjadi kader yang berkualitas, bijak dan berwibawa. Bukan generasi sastra yang sok, sombong, angkuh, mentang-mentang sering membaca buku tebal karya orang luar negeri.”

Tentu kau masih ingat suatu waktu di suatu ketika dulu. Di lembaran terakhir sebuah naskah cerpenmu yang ia kembalikan (karena tak layak muat), di situ Abu menulis, “Sudah lebih lima tahun kau menulis cerpen tapi masih ada karyamu yang tak berguna seperti ini. Kalau you mau tahu akan saya kasih tahu, bahwa pemuatan karya-karyamu selama ini bukan karena kelayakannya, tapi hanya sebagai pendorong semangat. Setelah membaca naskah cerpenmu ini, maka saya sarankan, lebih baik kau berhenti saja menulis!”

Kejam. Barangkali itulah kata paling tepat untuk mengistilahkan sebuah cara mendidik yang seperti itu. Namun jauh di kedalaman lubuk hatimu kau berkata: itulah sistem nasehat yang terbaik untuk seorang penulis pemula yang gelisah, keras kepala, sok ingin bereksperimen padahal urat-urat sastra baru ia kenal sebagian terkecil.

“Kawan,” tulismu masih dalam surat yang dibalas sinis oleh kawan-kawanmu itu, “kita adalah penulis-penulis muda yang bersemangat. Jauh di keheningan hati kecilnya sesungguhnya Abu Lhok Paoh amat bersyukur dengan fenomena nan cantik ini. Namun ada beberapa di antara kita yang tenggelam bersebab putus asa ketika naskah-naskahnya tak dimuat berkali-kali (lantaran memang tak layak muat tentu).

Ada yang tersinggung lantaran karya-karyanya diintervensi lalu balik menghujat Abu dan akhirnya yang ini pun tenggelam sendiri (karena teumeureuka pada orang tua barangkali). Ada pula yang memang di-debt karena ketahuan suka memplagiat karya orang. Sememangnyalah seribu kita punya “aku” seribu macamlah kita punya perilaku. Dan itulah manusia. Dan itulah sastrawan muda. Dan itulah kita.”

Begitulah Jum’at sore yang cerah berlangit biru itu, Abu dapat meraba senandung tak bahagia di jiwamu tatkala kau tahu naskah cerpenmu yang berjudul “Sebuah Bangsa Datang dan Berlalu” yang kau yakini semula sebagai hebat sekali, ternyata tak layak dikonsumsi publik, malah justru layak dianggap sampah yang akan membuat prestis kecerpenisanmu menjadi tertindas oleh sinisnya senyum publik pembaca koran. Lantas di akhir pertemuan kalian sepertinya Abu berkenan mengembalikan semangat juangmu itu dengan sepukul ucapannya.

“Kau termasuk orang muda yang tahan uji,” kata Abu persis tatkala kau hendak beranjak dari kantor redaksinya yang megah itu. “Untuk ke depan ujian akan lebih berat lagi,” katanya sekalimat namun menyiratkan ketegasan yang tak main-main. Seperti briefing ala serdadu.
“Mungkin saat itu saya akan menyerah Abu,” katamu, tegas pula.

“Seorang perajurit yang menyerah ia akan menjadi tawanan lawan. Kalau ia dihukum mati ia akan dinobatkan sebagai pahlawan bagi gerombolannya. Tetapi seorang sastrawan yang menyerah ia akan hidup terus. Sebagai pengkhianat nilai-nilai spiritualitas kemanusiaan,” demikian kata Abu dengan air muka yang berubah. Bukan bertambah keras. Tapi sendu tiba-tiba.

Rasanya kau tak percaya bila suatu ketika kau akan melihat kesenduan di wajah keras seorang pendekar sastra yang telah selamat melintasi tiga zaman paling mengerikan di negeri barbarian ini. Sebuah negeri yang penuh dengan pahlawan penentang ketertindasan namun inilah pula sang negeri yang sarat dengan bakat konflik antar sesama. Bukan hanya dalam politik, sosial dan ekonomi. Tetapi juga dalam seni.

Begitulah Jum’at sore yang cerah berlangit biru itu, kau meninggalkan Sang Serdadu Tua, Abu Lhok Paoh, dengan perasaan gamang yang aneh. Seakan tiba-tiba nun jauh di kelurusan pandang sana kau melihat ruang-ruang zaman yang membara yang tak jeda-jedanya membakar negeri ini dalam segala wujud kehidupannya yang semuanya berawal dari percikan bunga api yang bernama egoisme dan kesalahfahaman.

Sementara kau sendiri harus melewati ruang-ruang yang siap memanggang itu dengan tetap berkewajiban mengusung peti berat kesusastraan di pundakmu seraya dengan batinmu yang galau kau bertanya dan senantiasa bertanya-tanya, “Apakah aku akan selamat sebagaimana indahnya keselamatan yang telah dianugerahkan Tuhan kepada Abu?”■

(Kembang Tanjong, 12 Februari 2002)


1 komentar:

Anonim mengatakan...

Cerpen Musmarwan enak dibaca. Salam buat bang mus