21 Agustus, 2011

Nek Matkur, Warga Aceh Tamiang Luput Perhatian

Oleh Chairul Sya'ban

Nek Matkur, korban banjir bandang,
Warga Kabupaten Aceh Taming luput
perhatian pemerintah setempat. Kini ia
sehari-hari bekerja sebagai pengutip plastik
(Foto: Chairul Sya'ban)
Umurnya terbilang renta. Ia korban banjir bandang tahun 2006 di Kabupaten Aceh Tamiang. Panggilan kecilnya Nek Matkur. Sehari-hari kerap menghabiskan waktu sebagai pengutip plastik. Dinas Kehutanan setempat tak jarang ia singgahi. Bentuk lain pemerintah tidak peduli?

Istilah rakyat kecil merupakan istilah yang sangat digemari oleh masyarakat Indonesia, baik dari pejabat tertinggi kita hingga warga miskin. Istilah ini juga sering didengang-dengungkan di media massa dan menjadi istilah andalan ketika terdapat berita-berita seperti penggusuran, kenaikan harga BBM, maupun hal-hal yang dirasakan merugikan warga.

“Kecil” memang merupakan kata yang sifatnya condong ke arah negatif, kebalikannya adalah “Besar” yang sifatnya lebih cenderung positif.

Pada musim kampanye misalnya, tidak ada calon pejabat yang tidak menggunakan istilah itu dalam pidato kampanyenya untuk mengekspresikan semangat membela tanah air, bangsa negara, dan warga masyarakat khususnya yang tergolong miskin. Slogan-slogan pun bermunculan yang mengagung-agungkan para calon pejabat tersebut bak pahlawan yang membela korban perampokan, seperti “Pembela Wong Cilik”; “wong cilik” merupakan bahasa Jawa dari istilah rakyat kecil.

Masyarakat pun tak henti-hentinya melabelkan dirinya dengan istilah suci itu. “Pak, tolong perhatikan nasib kami, nasib rakyat kecil” adalah kalimat yang biasa diutarakan ketika suatu kelompok masyarakat yang dirugikan atas suatu kebijakan, biasanya kelompok masyarakat itu adalah kelompok masyarakat dengan tingkat ekonomi yang rendah. Kadang-kadang, atau bahkan sering, orang mengemis-ngemis kepada orang lain dengan embel-embel “rakyat kecil”.

Begitu susahnya hidup di negeri ini sampai-sampai warganya gemar dianggap kecil. Bukankah semua orang yang mengaku rakyat Indonesia, baik dari kalangan pejabat maupun pengangguran, adalah BESAR? Bukankah bangsa kita adalah bangsa yang BESAR? Besar dalam artian semangat dan harga diri. Harga diri yang besar tidak hanya ada pada pejabat dan orang kaya, akan tetapi semuanya termasuk golongan masyarakat miskin.

Namun, pada mereka yang dengan ikhlas memberi label pada diri mereka ‘kecil’ maka akan terus ‘kecil’ pula harga dirinya. Mereka menganggap mereka lebih kecil daripada mereka yang duduk di kursi pemerintahan. Hanya karena perbedaan jabatan! Dimana pikiran mereka terus dibina dengan doktrin “Kamu orang ‘cilik’, kamu orang kecil, kamu tidak bisa apa-apa, kamu harus tunduk”.

Alhasil, tumbuh suburlah harga diri yang kecil dan akan terus mengecil hingga kesadaran akan kebesaran harga diri tumbuh. Apapun golongannya, apapun jabatannya, berapapun penghasilnnya, tiap-tiap individu yang mengaku sebagai rakyat Indonesia adalah rakyat besar! bukan rakyat kecil.

Contohnya, pekan lalu ada suasana yang menyedihkan di halaman depan kantor Kehutanan Aceh Tamiang. Betapa tidak, tampak sosok seorang nenek dengan kondisi badan sudah membungkuk sedang mengutip sampah plastik berupa barang bekas yang nantinya dijual kembali. Adalah Nek Matkur yang berusia 67 tahun berasal dari Kampung Dalam, Aceh Tamiang.

Kondisi tubuh nenek ini terlihat sangat lemah, apa lagi saat itu, jarum jam tepat menunjukkan pukul 12.00 WIB. Ditambah lagi dengan panasnya terik matahari yang posisinya tepat di ubun-ubun kepala Nek Matkur yang sudah renta itu.

Meski demikian, nenek renta ini tak patah semangat untuk terus mengutip barang bekas demi memenuhi kebutuhan ekonomi bersama suaminya yang dikabarkan sudah tak sanggup lagi bangun dari sakitnya itu. Jelas nenek renta ini sedang mengutip barang bekas minuman mineral yang sudah dibuang secara berantakan di halaman kantor kehutanan-red.

Setelah berapa kali ditanyai ternyata nenek ini merupakan korban banjir bandang 2006 lalu. Akibatnya rumah nenek renta ini hanyut dibawa banjir bandang yang sangat dahsyat tersebut. Namun, hingga saat ini menurutnya, belum ada sentuhan apapun dari pihak pemerintah setempat.

Nenek renta ini, berjalan tanpa memakai sandal. Tak memikir kakinya itu bisa terkena paku atau benda tajam, tetap saja ia terus berjalan setapak-dua tapak, dari gedung ke gedung demi sesuap nasi dari hasil lelesan sampah bekas yang di jual sebulan sekali, dan hanya mendapatkan penghasilan seratus ribu rupiah.
Sambil menjawab pertanyaan, sesekali memandang tajam ke arah sudut-sudut bangunan kantor dan di bawah mobil untuk mendapatkan sampah bekas itu.

Dengan wajah tampak lelah, lapar, dan haus, (maklum pukul 12.00 WIB waktunya makan), memakai pakaian yang sudah bertahi lalat, nenek renta ini sangat berharap uluran tangan dari Pemerintah Kabupaten Aceh Tamiang.

Apalagi, suaminya yang berusia 70 tahun itu, hanya bisa menatap ke arah langit-langit rumah, karena sudah dua tahun lamanya menderita penyakit yang diduga asam urat, sehingga tidak bisa bangun dari kasur tidurnya sampai sekarang. Sementara nenek inilah yang terpaksa rutin tiap harinya mengutip sampah bekas minuman mineral demi sesuap nasi-red. “Saya tinggal bersama suami saya di rumah, kami juga merupakan korban banjir bandang.

Kini suami saya tak sanggup bangun dari kasurnya itu, karena sudah dua tahun sakit asam urat,” ungkap Nek Matkur. Seperti yang ditansilkan, Pejabat Pakai Dasi, Rakyatnya Makan Terasi. Lantas apa tanggapan dari pemerintah setempat mengenai hal ini? Semoga saja pemerintah memahami dengan pemberitaan ini, bukan hanya dibaca, tapi juga harus dipahami dan dimengerti serta diterjemahkan.***

*) Reporter Media SUARA PUBLIK, tinggal di Aceh Tamiang



0 komentar: