20 November, 2008

Pasca Rehab Rekon, Pengangguran Melonjak

Andi Firdaus / The Globe Journal

Banda Aceh - Berdasarkan hasil analisis Bank Indonesia dan Bank Dunia, pengangguran di Aceh masih menjadi tantangan utama bagi pengambil kebijakan. Lapangan pekerjaan yang selama ini tercipta bukan untuk jangka panjang, namun bagian dari hasil rekonstruksi yang sifatnya jangka pendek.


Hal itu disampaikan Deputy Manager Multi-Donor Fund untuk Aceh-Nias, Safriza Sofyan dalam siaran pers yang dikirim ke The Globe Journal, Selasa (18/11). Menurutnya, jika pelaku rekonstruksi keluar dari Aceh, kemungkinan bakal ada peningkatan penganggangguran yang tetap bertahan di atas angka 9 persen.

Sehingga katanya, perlu adanya investasi sektor swasta yang besar, terutama di bidang pertanian dan manufaktur untuk membalikkan situasi tersebut, apalagi sektor migas yang tak bisa diandalkan. "Sektor migas terus menurun hampir 20 persen pada tahun 2008 karena kehabisan cadangan gas," sebutnya.

Sementara itu, laporan perkembangan ekonomi Aceh terbaru menunjukkan, tingkat konsumsi swasta maupun publik terus naik, bahkan melebihi 50 persen PDB. Hal ini bisa dilihat dari daya beli masyarakat untuk kendaraan, listrik dan konsumsi bahan bakar yang meningkat pada tahun 2008. Akibatnya, kemiskinan menurun seperti yang diperkirakan Badan Pusat Statistik (BPS) hingga mencapai 23,5 persen. Angka tersebut merupakan tingkat masyarakat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan. "Ini merupakan penurunan tajam tingkat kemiskinan sebelum terjadinya bencana tsunami," jelasnya.

Hal tersebut dapat dilihat akibat pulihnya sektor pertanian dengan pertumbuhan ekonomi mencapai 4,5 persen pada semester pertama tahun 2008, karena adanya investasi yang disedikan melalui bantuan rekonstruksi. Meski sektor pertanian pertumbuhannya positif, namun upaya besar masih diperlukan guna mendorong pertumbuhan di sektor Minyak dan Gas (Migas) yang pada pertengahan tahun 2008 melambat menjadi 3,1 persen.

Selain itu, Ekonom Bank Dunia Perwakilan Jakarta, Enrique Blanco Armas mengatakan, untuk yang pertama kali pascatsunami tingkat inflasi di Aceh lebih rendah dibandingkan nasional karena dipicu oleh kenaikan harga pangan dan bahan bakar global. "Inflasi pada bulan Agustus 2008 Banda Aceh sebesar 8,2 persen, sedangkan nasional mencapai 11,9 persen," kata Enrique. [003]


Selengkapnya...

17 November, 2008

Guru Diajarkan Kenal Karakter Siswa

Sumber: The Globe Journal

Kesejahteraan guru kurang mendapatkan perhatian pemerintah. Akibatnya, guru sering mengeluh dan berimbas menurunnya mutu pendidikan di Aceh.

Hal tersebut disampaikan Akademisi Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Jabal Ghaful, Dr Bansu I Ansari, M.Pd dalam seminar bertajuk "Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Guru Melalui Aktive Leaning" di kampus lama Jabal Ghafur, Gle Gapui, Pidie, Minggu (16/11).

Bansu mengatakan, seminar ini untuk menambah wawasan guru dalam proses belajar mengajar, termasuk upaya meningkatkan pemahaman guru menghadapi karakter siswa yang berbeda satu dengan yang lainnya. Dia juga menyinggung dekadensi moral yang pernah terjadi di kalangan siswa SD, seperti kasus permerkosaan yang dilakukan secara bergilir. "Kita tidak bisa menyalahkan siswa, itu lebih kepada ketidakmampuan seorang pendidik dalam mengajar," ujarnya.

Disinggung angka kelulusan UAN di Aceh yang mencapai 80 persen, Bansu menjelaskan, angka tersebut hanya kuantitas, sedangkan kualitas tidak bisa ditentukan. "Gak bisa dipatok," sebut dia.

Seminar yang diadakan oleh Aceh Care Fundation (AFC) melibatkan 600 peserta dari guru Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA) dan para mahasiswa di lingkungan kampus Jabal Ghafur. [003]


Selengkapnya...

Petani Garam

Yusnizar, 45 tahun, petani garam warga Desa Lancang, Kecamatan Simpang Tiga Pidie, sedang mamasak garam, Minggu (16/11). Mereka kerap dipermainkan harga oleh agen dengan nilai terendah mencapai Rp1.000/kg. Photo: Andi Firdaus






Selengkapnya...

08 November, 2008

Syariat Islam "Sejarah" di Aceh

Oleh Arif S

(dari Tuengku Puteh hingga Tungku Agam)

Dari warung kopi Cek Yuke, saya melihat langit senja yang memencarkan bias kekuningan. Matahari perlahan mulai menghilang dibalik kubah mesjid Raya Baiturrahman. Setelah meneguk sedikit kopi yang pahit, saya mulai ingat sejarah, mesjid yang menjadi kebanggaan masyarakat Aceh ini pernah dibakar oleh Belanda dalam menaklukkan Banda Aceh. Jendral Kohler tewas di halaman depan mesjid tersebut.

Karena tidak dapat menerima komandan mereka tewas, para serdadu Belanda membakar Mesjid Raya sebagai pelampiasan. Masyarakat Aceh tidak dapat ditaklukkan, nilai agama yang mereka anut cukup kuat untuk membuat mereka rela berjuang dalam mempertahankan apa yang mereka yakini. Belanda adalah bangsa kafir yang wajib dilawan.

Dari sini, Belanda mulai berpikir bahwa bangsa Aceh harus dilawan dengan cara lain. Yaitu melalui agama. Islam telah menjadi akar dalam kehidupan masyarakat Aceh. Para pedagang Arab telah memperkenalkan Islam ke Aceh sejak ratusan tahun sebelum Belanda masuk dan menjajah Aceh. Atas nama penyesalan, Belanda membangun kembali Mesjid Raya Baiturrahman, bahkan lebih indah dan megah dari sebelumnya.

Dan untuk pertama kalinya, saran C Snock Hurgronje dipraktekkan dalam menaklukkan Aceh. Belanda berhasil mengadu domba masyarakat Aceh dengan membawa agama sebagai komoditi politik untuk mencapai kekuasaan dan meredam perjuangan masyarakat Seuramo Mekkah. Ini tejadi ratusan tahun yang lalu, jauh sebelum saya dilahirkan.

Ternyata ingatan tentang sejarah jauh lebih pahit dari kopi yang saya minum. Setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaannya, Aceh bergabung dengan Indonesia. Oleh presiden pertama Indonesia, Soekarno. Aceh diberi gelar ”Daerah Istimewa” dengan tiga keistimewaan yaitu Agama, Budaya dan Pendidikan. Tapi keistimewaan dalam menjalankan Agama Islam dalam bentuk Syariat Islam tidak direspon oleh Presiden Sukarno.

Bahkan Sukarno mengingkari segala janjinya dengan mencaplokkan Provinsi Aceh dalam residen Sumatra Utara. Hal ini menyulut perjuangan baru dari Abu Daud Beureueh melalui Darul Islam. Perlawanan yang memakan ribuan korban nyawa tersebut tidak hanya dalam memperjuangkan syariat Islam, tapi juga untuk segala kebrobrokan Jakarta sebagai pusat pemerintahan Indonesia yang menjalankan pemerintahan kolonial di Aceh.

Abu Beureueh baru berdamai pada tahun 1961 setelah Jakarta kembali memberikan keistimewaan bagi Aceh. Tapi perjuangan dalam menegakkan Syariat Islam tetaplah mimpi dari sisa-sisa kepedihan. Realisasi keistimewaan pada waktu itu hanya pada dua pilar saja yaitu pendidikan dan budaya. Itupun tidak sepenuhnya.

Pada tahun 1999, Presiden Abdurrahman Wahid meresmikan undang-undang Undang-Undang Nomor 44 untuk Aceh dimana “pelaksanaan syariat Islam” diakui. Undang-undang hasil inisiatif dari sekelompok elite dan politisi yang melihat pemberian payung politik hukum untuk penegakan keistimewaan Aceh adalah instrumen yang dapat memadamkan Perang Aceh yang berkobar kembali pasca 1998.

Sebuah solusi yang terkesan terlambat dalam menyembuhkan luka masyarakat Aceh yang terus menerus merasa ditindas oleh pusat. Pemerintah menerapkan kembali ide Neo-Snouckis. Karena penerapannya hanya untuk masyarakat kecil yang berjudi atau meminum minuman keras untuk menghilangkan stress akibat konflik. Hukum cambukpun marak terjadi di Aceh. Para wanita yang tidak berpakaian pantas dicegat. Ada yang dibotaki, digunting celana, bahkan diarak telanjang bagi yang kedapatan melakukan mesum. Patroli polisi syariah dan kasus salah tangkap mewarnai media di Aceh.

Tak ayal kritikan dari dunia luar tentang penerapan syariat islam di Aceh mengalir keras. Pada Tahun 2006 sebuah undang-undang UU No 11 mengenai pemerintahan Aceh kembali disahkan. Tapi realisasi syariat islam tetap ambigu. Ambisi Nanggroe Syariah mengalahkan kemampuan yang ada. Sebagian masyarakat yang memprotes penerapan syariat ala tersebut berada di posisi - istilah acehnya "lagẽ takalon Quran brôk. tabaca hanjeut tasipak budôk"- serba salah.

Azan magrib mulai berkumandang dari pengeras suara mesjid. Dari tadi saya hanya tenggelam dalam ingatan sejarah yang paradoks. Lampu warung kopi mulai dimatikan, tapi suara riuh para penikmat kopi belum juga berhenti. Di Aceh, warung kopi menjadi tempat diskusi yang menyenangkan. Semua masalah yang terjadi di Aceh dan dunia didiskusikan semua. Entah itu mahasiswa, masyarakat biasa, para teknokrat,dan bahkan para pejabat. Semua mereka mencintai kopi yang pahit.

Seperti penerapan syariat islam yang terkesan pahit. Bagaimanapun masyarakat Aceh saat ini baru saja keluar dari kungkungan konflik yang panjang dan musibah tsunami yang tidak sedikit merenggut nyawa. Ditengah masa transisi ini masyarakat butuh seperangkat hukum yang benar-benar dapat memberikan mereka rasa adil, apapun namanya. Yang tidak memberikan kekebalan, yang bisa mengadili para koruptor, pejabat, tentara dan siapapun mereka atas berbagai kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan. Inilah ajaran Al-Quran yang sesungguhnya.

Syariat islam bukan hanya mengatur bagaimana cara wanita berpakaian, karena syariat islam dapat diterapkan disembarang tempat dan waktu. Menjadikan syariat islam sebagai simbol justru akan memperburuk pandangan dunia luar yang memang anti terhadap yang berbau Islam. Aceh sekarang bukan Aceh yang dulu. Aceh yang damai telah dipenuhi tangan-tangan dunia luar dengan seribu kepentingan dibawah payung misi kemanusiaan.

Menerapkan syariat islam tidak bisa dengan mengandalkan kekuasaan, penerapan ajaran islam harus memenuhi tiga unsur klasik yaitu: Harus menjadi rahmat bagi sekalian alam, kemaslahatan umat, dan berkeadilan.

Lalu dapatkah hukum islam yang akan diterapkan di Nanggroe Aceh Darussalam dapat menjawab segala tantangan jaman. Aceh yang beragam, Aceh yang damai dan Aceh sebagai wilayah bekas bencana.

kopi di meja mulai dingin, tanpa menghiraukan rasa pahit, kutelan tanpa sisa.

Dimuat Pertama Kali di Harian Aceh


Selengkapnya...

Kepulangan Hasan Tiro dan Perdamaian Aceh

Oleh Taufik Al Mubarak

Jika tak ada aral melintang, proklamator dan pemimpin tertinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Hasan Tiro, yang selama ini bermukim di Swedia direncanakan akan pulang ke Aceh pada 11 Oktober 2008. Kepulangan Hasan Tiro disebut-sebut murni atas keinginannya sendiri, dan tidak ada agenda politik. Meski tidak ada agenda politik, sejatinya kepulangan tokoh kunci GAM tersebut mampu meredam memanasnya kondisi politik di Aceh menjelang Pemilu 2009.


Sebab, bagaimana pun, peran tokoh yang digelari ‘Wali Nanggroe’ oleh pasukan GAM ini diperlukan dalam mengawal dan menjaga perdamaian Aceh tetap langgeng. Apalagi belakangan ini, kondisi Aceh terus memburuk terkait meningkatnya aksi kriminalitas, berupa perampokan dan penculikan, serta penggranatan kantor Partai Aceh (PA) di beberapa wilayah dan pembakaran kantor Partai SIRA, yang notabene partai dari eks kombatan GAM dan aktivis referendum.

Makna Kepulangan Hasan Tiro
Di tingkat nasional, informasi kepulangan Hasan Tiro memunculkan polemik, khususnya terkait perlu tidaknya perlakuan istimewa terhadap tokoh yang puluhan tahun mengobarkan perlawanan terhadap Jakarta. Pun begitu, pihak TNI seperti dikutip okezone, Rabu (24/9) mengaku akan mengawasi kedatangan Hasan Tiro di Aceh. Kebijakan tersebut diambil tak terlepas dari cerita masa lalu Hasan Tiro yang dinilai membahayakan keutuhan NKRI. Sementara pengamat intelijen, Soeripto, tidak begitu mempersoalkan kepulangan Hasan Tiro, karena murni kepulangan biasa, tidak ada agenda terselubung yang perlu dicurigai.

Namun, tidak begitu halnya tanggapan dari Aceh. Berita kepulangan Hasan Tiro disambut suka-cita oleh rakyat, terutama oleh mantan GAM. Sebab kepulangan tersebut memberikan makna tersendiri, khususnya terhadap eksistensi Partai Aceh, di samping memuaskan kerinduan para pengikutnya yang kini berhimpun dalam Komite Peralihan Aceh (KPA), organisasi baru GAM. Malah, mereka akan memberikan pengamanan khusus, sebagai bentuk penghormatan bagi pemimpinnya yang puluhan tahun meninggalkan Aceh.

Sebab, sejak bertolak ke luar negeri tahun 1979 saat situasi keamanan tidak menentu, Hasan Tiro tidak pernah kembali lagi ke Aceh. Hasan Tiro menetap di Amerika dan selanjutnya mendapatkan suaka politik ke Swedia, dan mengendalikan perjuangan GAM di pengasingan. Meski sempat diberitakan meninggal dunia dan terkena stroke, serta diisukan tidak lagi mengendalikan perjuangan GAM secara total, namun Hasan Tiro tetap menjadi tokoh kunci yang memengaruhi penyelesaian konflik Aceh.

Artinya, terlepas dari sejumlah misteri tentang kondisinya, restu Hasan Tiro selalu ditunggu, khususnya terkait hal-hal prinsipil tentang perjuangan dan sikap politik GAM dalam perundingan. Bisa disebut, tanpa restu Hasan Tiro, mustahil MoU Helsinki yang mengakhiri konflik Aceh terlaksana dengan mulus.

Jadi, kepulangan Hasan Tiro ke Aceh menunjukkan kondisi keamanan Aceh sudah kondusif. Hal ini tentu saja sebuah pengakuan bahwa perdamaian Aceh bukan lagi main-main, karena tokoh penting yang selama ini begitu kuat mengobarkan api perlawanan, akhirnya dapat menikmati buah perdamaian. Untuk itu, hendaknya, semua pihak menjaga perdamaian ini dengan sepenuh hati, sambil menutup rapat-rapat peluang munculnya konflik kembali.

Agenda Perdamaian
Meskipun kepulangan Hasan Tiro dinyatakan tidak dibumbui dengan agenda politik, sejumlah pihak di Aceh tetap berharap kepulangan Hasan Tiro dapat memberikan makna positif bagi keberlangsungan perdamaian di Aceh. Sebab, keengganan Hasan Tiro kembali ke Aceh pasca-penandatanganan MoU Helsinki, 15 Agustus 2005 silam, memunculkan tanda tanya besar bahwa Hasan Tiro tidak merestui perdamaian Aceh. Jika keinginan kepulangannya ke Aceh benar-benar terwujud, kekhawatiran bahwa Hasan Tiro tidak mendukung perdamaian akan hilang dengan sendirinya.

Hal ini perlu dipertegas, agar kepulangan Hasan Tiro tidak dipolitisir dan dimanfaatkan untuk agenda tersembunyi kelompok tertentu, yang membuat kondisi Aceh bertambah panas. Apalagi belakangan, aksi-aksi kekerasan seperti penggranatan kantor Partai Aceh (PA), pembakaran kantor Partai SIRA, serta tindakan intimidasi lainnya terhadap partai-partai tertentu meningkat. Kondisi ini tak terlepas untuk kepentingan Pemilu 2009.

Banyak kekhawatiran muncul di Aceh saat Pemilu berlangsung nanti. Kekhawatiran tersebut bukan tak beralasan, sebab Pemilu di Aceh berbeda dengan di tempat lain karena hadirnya sejumlah Partai Lokal. Banyak pihak berharap agar Pemilu berlangsung aman dan damai, tanpa paksaan untuk memilih partai tertentu. Selama ini, ancaman dan intimidasi terhadap masyarakat untuk memilih suatu partai sering terjadi. Pelarangan pendirian kantor partai tertentu, yang diikuti pembakaran sejumlah umbul-umbul partai semakin menunjukkan jika Pemilu di Aceh kental warna kekerasan. Sebab, persaingan dalam merebut suara dan simpati rakyat Aceh tak hanya dilakukan melalui tawaran sejumlah program politik, melainkan juga melibatkan kekerasan.

Nah, kepulangan Hasan Tiro juga tidak tertutup kemungkinan akan dipolitisir oleh kelompok atau partai tertentu untuk mendulang simpati publik Aceh, karena akan memberi keuntungan psikologis bagi partai tersebut. Mereka akan memonopoli suara rakyat dengan memanfaatkan ketokohan Hasan Tiro, untuk mengintimidasi partai lain. Banyak pihak mewaspadai agar kepulangan Hasan Tiro tidak disusupi agenda terselubung yang memberi pengaruh pada rusaknya perdamaian. Sebab, Jika kondisi seperti ini yang terjadi, jelas kepulangan Hasan Tiro tidak memberikan pengaruh apapun.

Namun, lain halnya jika kepulangan Hasan Tiro setelah 32 tahun lamanya tidak menginjak tanah Aceh membawa pesan-pesan perdamaian, tentu akan mendatangkan keuntungan bagi rakyat Aceh. Apalagi jika kepulangan tersebut untuk meredam gejolak konflik yang bakal muncul terkait keberadaan Partai lokal pada Pemilu nanti, serta untuk mencari solusi atas agenda penyusunan Qanun Wali Nanggroe yang sedang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Maka semua pihak harus menyambut baik keinginan tersebut.

Akhirnya, kita berharap, agar kepulangan Hasan Tiro ke Aceh benar-benar murni atas keinginannya sendiri tanpa dipolitisir oleh partai tertentu, sebab jika itu yang terjadi, jelas kepulangan Hasan Tiro tidak memberi pengaruh apapun, terutama untuk keberlangsungan perdamaian Aceh.

Note: Tulisan ini ditulis sebelum kepulangan Hasan Tiro

Selengkapnya...

Tradisi Hindu dalam Budaya Aceh

Oleh Iskandar Norman

Pengaruh hindu di Aceh telah terjadai semenjak zaman purbakala seperti yang ditulis oleh ahli-ahli ketimuran Belanda dalam beberapa buku tentang sejarah budaya Aceh”
( Prof Dr H Aboebakar Atjeh: 1972 ).

Adat dan budaya Aceh yang kental dengan nuansa Islam, masih dipengaruhi oleh tradisi hindu. Hal ini disebakan, sebelum Islam masuk, Hindu telah berkembang di Aceh. Setelah Islam masuk, unsure-unsur hindu dihilangkan, namun tradisinya masih ada yang dipertahankan sampai sekarang.


Asimilasi budaya Aceh, pernah disinggung oleh Teuku Mansoer Leupeung, Uleebalang yang dikenal sebagai pujangga. Dalam hikayat Sanggamara, tokoh yang hidup seangkatan dengan Teuku Panglima Pole mini mengisahkan.

Adat Aceh bak riwayat
Bacut sapat dudoe teuka
Peutama phon dalam kitab
Bangsa Arab nyang peuteuka

Nyang keudua bak Meulayu
Nibak hindu dengan Jawa
Nibak Cina na sigeuteu
Adat badu ngon Manila

Bangsa Jawa ngon Meulayu
Le that teungku keunan teuka
Hingga rame nanggroe makmu
Meurah breuh bu meuhai lada

Bak peukayan dum ban laku
Ureung hindu nyang peuteuka
Cuba tilek tingkah laku
Bajei Badu ladom pih na

Susoen bahsa Ara Meulayu
Barat timu bacut biza
Bahsa Arab na sigeuteu
Jampu bawu laen pih na

Senada dengan Teuku Mansoer Leupueng, menurut H Muhammad Said dalam makalah budayanya pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) II, Agustus 1972 menjelaskan, pada tahun 1891, seorang peneliti asing bernama G K Nieman sudah menemukan 150 kata dari bahasa Campa dalam bahasa Aceh. Demikian juga dengan bahasa Khmer ( Kamboja ) tetapi yang sangat dominan adalah bahasa Melayu dan bahasa Arab.

Tentang Hindu di Aceh, seperti yang pernah diungkapkan oleh sejarawan Belanda J.C Van Luer, mengatakan bahwa sejarah dan budaya Aceh sebelum kedatangan islam dan bangsa barat telah terisi dengan landasan hindu- sentris ( Indonesia Trade and Society, hal 261 )

Walau Islam telah kuat, sebahagian tradisi dan cara hidup hindu ada yang terus melekat pada masyarakat Aceh. Bahkan tradisi yang bersifat positif terus dipertahankan, seperti tradisi hidup bergotong royong dan berbagai tradisi lainnya yang kemudian unsur hidupnya diganti secara bertahap dengan syariat islam.

Tradisi-tradisi hindu yang telah diislamkan tersebut masih ada sampai sekarang, seperti pada acara khanduri laet ( kenduri laut ) yang dilakukan oleh para nelayan. Dulu pada acara khenduri laut ini, darah kerbau itu ditampung, asoe dalam ( organ dalam) kerbau tersebut beserta kepala, dibungkus kembali dengan kulitnya dan kemudian dihanyutkan ke tengah laut sebagai persembahan kepada penghuni laut.

Acara kenduri laut ini masih bertahan sampai sekarang, tetapi seiring dengan masuknya Islam, pemberi sesajen untuk penghuni laut dihilangkan, upacara pembuatan sesajennya diganti dengan kenduri dan doa bersama. Daging sapi atau kerbau yang disembelih tersebut dimakan bersama anak yatim dan fakir miskin agar hajatan yang dilakukan tersebut mendapat berkah.

Pemotongan ayam putih dan ayam hitam pada daka ( pintu air ) tambak oleh petani tambak sebelum panen juga merupakan sisa-sisa tradisi hindu yang masih dilakukan sampai sekarang oleh petani tambak tradisionil. Paha, hati dan dada ayam tersebut baik yang dimasak, dipanggang dan digoreng, bersama dengan masakan lainnya dibungkus dengan daun pisang terpisah-pisah kemudian disatukan dalam pelepah pinang yang dibentuk seperti sampan untuk dipasang pada pohon atau batang kayu ditengah tambak. Ini juga merupakan sisa-sisa tradisi hindu. Kini acara ini mulai diganti dengan makan dan berdoa bersama anak yatim sebelum tambak panen.

Selain itu peusijuek (tepung tawar) barang-barang berharga yang baru dibeli seperti kereta dan mobil, dengan menggunakan berbagai jenis rumput. Dengan akar rumput tersebut yang telah diikat, air dipercikkan ke barang yang ditepung tawarkan.. Acara peusoen atau peusijeuk orang yang baru sembuh dari sakit atau pulang dari bepergian jauh juga merupakan sisa-sisa tradisi hindu.

Begitu juga acara belah kelapa pada saat peutreun aneuk miet ( membawa keluar rumah bayi pertama kali ) juag merupakan tradisi-tradisi hindu yang masih ada sampai sekarang dalam kehidupan masyarakat Aceh. Dalam berpakaian, tusuk konde pada sanggul wanita juga merupakan tata cara berpakain hindu yang membudaya dalam masyarakat Aceh sampai sekarang.

Malah ada yang lebih kental lagi dan dilarang dalam islam, seperti pemujaan terhadap pohon-pohon besar dengan cara menggantungkan bunga-bungaan yang diikat dengan berbagai benang pada cabang pohon oleh para pemuja sihir, itu juga merupakan budaya hindu.

Menurut keterangan H.M. Zainuddin dalam tulisannya “Aceh Dalam Inskripsi dan Lintasan Sejarah “. Sebelum Islam masuk ke Aceh, di Aceh telah berkembang kota-kota kerajan hindu seperti : Kerajaan Poli di Pidie yang berkembang sekitar tahun 413 M. Kerajan Sahe sering juga di sebut Sanghela di kawasan Ulei Gle dan Meureudu, kerajan ini terbentuk dan dibawa oleh pendatang dari pulau Ceylon. Kerajaan Indrapuri di Indrapuri. Kerajaan Indrapatra di Ladong. Kerajaan Indrapurwa di Lampageu, Kuala pancu.

Semua kota-kota hindu tersebut setelah islam kuat di Aceh dihancurkan. Bekas-bekas kerajaan itu masih bisa diperiksa walau sudah tertimbun, seperti di kawasan Paya Seutui, Kecamatan Ulim ( perbatasan Ulim dengan Meurah Dua ), reruntuhan di Ladong.

Bahkan menurut H M Zainuddin, mesjid Indrapuri dibangun diatas reruntuhan candi. Pada tahun 1830, Haji Muhammad, yang lebih dikenal sebagai Tuanku Tambusi juga meruntuhkan candi-candi dan batunya kemudian dimanfaatkan untuk membangun mesjid dan benteng-benteng.

Selengkapnya...

Konseptor Aceh Lhèè Sagoë

Oleh Iskandar Norman

Syeikh Abdur Rauf dikenal sebagai mufti Kerajaan Aceh. Sebelum jabataban sebagai penasehat agung kerajaan itu dipegangnya, ia kembali ke Singkil, serta tiga tahun mengembara ke seluruh Aceh dan pantai barat Sumatera.

Dalam suatu perayaan mauled Nabi Muhammad SAW di Kerajaan Aceh. Syeikh Abdur Rauf yang sudah dikenal saat itu, diundang ke Keraton Darud Dunia. Ia datang dengan identitas sebagai nelayan, tanpa memperlihatkan pengetahuannya sebagai seorang ulama.

Langkah itu dilakukan untuk tidak terlibat dalam perselisihan antara Syeikh Hamzah Fansuri yang membawa faham Wihdatul Wujud (Wujudiah) dengan Syeikh Nuruddin Ar Raniry yang berfaham Isnainiyatul Wujud.

Karena sudah mendengar tentang kehebatan Syeikh Abdur Rauf, akhirnya sultanah Aceh, Ratu Safiatuddin memintanya untuk menyampaikan ceramah maulid. Ia pun menyampaikannya dengan fasih. Ceramahnya mendapat perhatian yang luar biasa.

Ratu Safiatuddin tidak percaya kalau Syeikh Abdur Rauf hanya seorang nelayan biasa. Setelah ditanyai berbagai hal, akhirnya Syeikh Abdur Rauf pun memperkenalkan dirinya yang asli sebagai ulama, sekalian pamit untuk kembali ke kampung halamannya di Aceh Singkil.

Tak lama di Singkil, Syeikh Abdur Rauf melanjutkan perjalanannya ke Barus dan wilayah pantai barat Sumatera. Setelah itu ia kembali ke Bandar Kerjaan Aceh. Dalam perjalanan kembali ia juga sempat menjelajah pantai timur Kerjaan Aceh.

Pengebaraannya mengelilingi Kerjaan Aceh dan pantai barat Sumatera itu menyita waktu sampai tiga tahun. Dalam perjalanannya itu, Syeikh Abdur Rauf berdakwah dari satu daerah ke daerah lainnya.

Pada masa mengembara, baik ketika 20 tahun di Jazirah Arab maupun di Aceh, Syeikh Abdur Rauf selain berdakwah juga menulis berbagai kitab. Ratu Safiatuddin beberapa kali mengirim utusan untuk menjemputnya.

Ratu Safiatuddin bermaksud mengangkat Syeikh Abdur Rauf sebagai Qadhi Malikul Adil, Mufti Besar Kerajaan. Jabatan tersebut saat itu telah kosong, setelah ditinggalkan Syeikh Nurruddin Ar Raniry yang kembali ke negerinya di Gujarat, India pada tahun 1658 Masehi atau 1068 Hijriah. Baru pada bulan Rabiul Awal tahun 1075 Hijriah atau 1665 Masehi, Syeikh Abdur Rauf resmi diangkat menjadi Qadhi Malikul Adil, Mufti Besar Kerajaan Aceh.

Jabatan itu dipegangnya selama empat periode pergantian raja di Kerajaan Aceh, yakni : Sultanah Sri Ratu Safiatuddin Johan Berdaulat (1050 – 1086 H/1641 – 1675 M), Sultanah Sri Ratu Nurul Alam Naqiatuddin (1086 – 1088 H/1675 – 1678 M), Sultanah Zakiatuddin Inayat Syah (1088 – 1098 H/1678 – 1688 M), serta Sultanah Sri Ratu Keumalatuddin Syah (1098 - 1109 H/1688 – 1699 M).

Sebagai Mufti, berbagai terobosan dan perombakan sistim pemerintahan dilakukan Syeikh Abdur Rauf. Berbagai usaha yang hendak menumbankan dinasti ratu dengan pengaruh Syeikh Abdur Rauf dapat dipatahkan.

Usaha kelompok yang ingin merebut pimpinan kerajaan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan Ratu Zaqiatuddin. Saat itu golongan yang ingin merebut tampuk pimpinan Kerajaan Aceh memperalat kaum penganut Wujudiah.

Pertentangan tersebut kemudian membuat Mesjid Baiturrahim dan Keraton Darud Dunia terbakar. Namun, sebagai Mufti yang arif, Syeikh Abdur Rauf mampu meredam gejolak tersebut. Untuk mencegah terulangnya kembali kerusuhan sesama ummat, Syeikh Abdur Rauf pun melakukan perombakan sistim pemerintahan kerajaan.

Perombakan dilakukan dengan mengajukan sebuah konsepsi tata negara Kerajaan Aceh. Setelah dibahas di Majelis Mahkamah Rakyat, konsepsi Syeikh Abdur Rauf pun diterima tanpa pertentangan. Konsepsi tersebut mengatur berbagai hal, satunya tentang pembagian kekuasaan Wilayah Aceh Besar menjadi tiga sagi, yang dikenal dengan Aceh Lhèè Sagoë.

Dalam konsepsi itu, Syeikh Abdur Rauf mengatur, ketiga pemimpin Sagi (Sagoë) bersama Qadhi Malikul Adil berhak mengangkat dan menurunkan sultan dari jabatannya. Sementara daerah di luar Aceh Lhèè Sagoë diberi hak otonomi yang luas, dimana kepala daerahnya bertindak sebagai sultan kecil yang tunduk kepada Sultan Aceh.

Sepanjang hidupnya, Syeikh Abdur Rauf dikenal sebagai negarawan, ulama, politikus dan pengarang berbagai kitab. Mufti kerjaan Aceh itu wafat pada 23 Syawal 1106 Hijriah atau tahun 1695 Masehi.

Selengkapnya...

Perjuangan Parlok di Aceh

Oleh Adi Warsidi

Pemilu 2009 di Aceh bakal unik, karena selain Partai Nasional, enam Partai Lokal juga bakal mengisi pertarungan kursi legislatif di tingkat daerah.

Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, yang bertangung-jawab terhadap pemilu 2009 di Aceh, telah menetapkan enam Partai Lokal lulus verifikasi. Mereka adalah, Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Aceh (PA), Partai Bersatu Aceh (PBA), Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS), Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA) dan Partai Daulat Atjeh (PDA).

Jelang pemilu 2009, partai lokal tersebut juga menebar taktik di lapangan, mengklaim dirinya terbaik. Masa kampanye terbatas yang telah dimulai sejak pertengahan Juli 2008 lalu, dipakai partai lokal dan partai nasional untuk sosialisasi internal dan pembinaan kader.

Saat ini partai lokal juga sibuk menjaring calon anggota legislatif daerah yang akan mewakili mereka nantinya. “Kita mengadakan test bagi kawan-kawan untuk calon legislatif dari tanggal 6 sampai 15 Agustus mendatang,” sebut Thamren Ananda, Sekretaris Jenderal Partai Rakyat Aceh (PRA), di Banda Aceh (08/08).

Thamren Ananda sesumbar partainya akan menjadi partai yang besar. Pihaknya sedang sibuk mengisi masa kampanye terbats dengan membina kader dan memasang bendera di jalan-jalan untuk sosialisasi partainya. “Kami menargetkan dapat memenangkan kursi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/kota (DPRK), sekurang-kurangnya satu fraksi,” sebutnya.

Partai lokal ini dibangun oleh anak-anak muda mantan aktivis mahasiswa dulunya, serta masyarakat kecil lainnya. Akibatnya, pengakuan Thamren, mereka harus menggalang dana dari kader partai sendiri. Di sinilah salah satu kendala partai berlambang bintang kuning ini bergerak. “Karena kami bukan didirikan oleh pengusaha dan orang kaya,” sebutnya.

Penggalangan dana murni dari rakyat dan sudah lama berjalan. Tak hanya dana, tapi juga berupa material dan apapun yang dibantu kader. Kasarnya, seribu rupiah pun mereka kumpulkan dari sumbangan pendukung. “Ini sudah jalan dan pelan-pelan kendala logistik teratasi,” sebutnya. Thamren menolak menyebutkan berapa dana yang telah mereka kumpulkan untuk memperkuat kampanye.

Kendala lainnya, ada kelompok tertentu yang tidak terdeteksi (tidak jelas) yang menekan kader PRA di daerah-daerah. Bentuk ancamannya memang sebatas isu agar PRA jangan boleh ada di beberapa kecamatan wilayah Aceh. “Calon legislatif dari PRA juga ada yang mendapat tekanan, tidak jelas siapa yang menyebarkan isu, tapi beredar di masyarakat.”

PRA tak ambil pusing tekanan itu. Kader partai terus membina hubungan dengan siapa saja, baik masyarakat umum, kader partai lokal dan nasional lainnya. Menurutnya, jumlah struktur pengurus PRA yang telah didaftarkan ke KIP Aceh tersebar pada 18 kabupaten/kota di Aceh. Kemudian setingkat di bawahnya ada 176 kecamatan. Kata Thamren, anggota berjumlah; 54 orang di provinsi, 561 orang di kabupaten/kota dan 5.701 orang di kecamatan.

Soal afiliasi politik, banyak partai nasional yang mengajak melakukan afiliasi politik dengan PRA. Thamren menyebutkan, sejauh ini pihaknya masih pada keputusan tidak melakukan kerjasama secara lembaga dengan partai nasional. “Kita tidak akan melakukan afiliasi politik dengan partai nasional.”

Tetapi secara personal, mereka membebaskan kadernya untuk mendukung siapa saja wakil partai nasional yamng mencalonkan diri menjadi Calon Legislatif di Nasional. Tapi itupun harus calon yang tidak jahat, bukan koruptor dan tidak poligami.

Salah satu program kerja yang dipunyai PRA adalah memperjuangkan kekayaan Sumber Daya Alam (SDA) Aceh bisa dinikmati rakyat. Artinya, setiap investor yang akan membuka industri di Aceh, harus berbagi hasil dengan rakyat dan pemerintah Aceh, minimal fifty-fifty. Uang tersebut nantinya akan dipergunakan untuk mensubsidi pendidikan dan kesehatan gratis. Kemudian, PRA juga punya program pembukaan lapangan kerja yang lebih besar di Aceh. “Minimal nanti, kami bisa menekan angka pengangguran,” katanya.

Di kubu lain, Partai Suara Independen Rakyat Aceh (SIRA) juga sedang gencar melakukan pembinaan kader mereka menjelang pemilu 2009. Kader partai ini kurang lebih sama dengan PRA, didirikan oleh anak muda yang mantan aktivis dulunya.

Kendala yang mereka hadapi salah satunya adalah mepetnya jadwal yang telah dibuat oleh KIP Aceh. “Kampanye terbatas, kami isi dengan pembinaan kader dan penjaringan caleg,” sebut Taufik Abda, Ketua Partai SIRA.

Taufik menyebut, mereka punya kekuatan pengurus 5.000 orang. Kadernya sampai ke pedesaan mencapai 25.000 orang. Pembinaan kader dilakukan melalui pendidikan politik. Mereka menamakannya Sekolah Politik SIRA. Di sana diajarkan dari analisa politik sampai kepada legislative skill.

Lainnya adalah soal dana. Mereka juga menghadapi keterbatasan dana. Pihaknya terpaksa melakukan penggalangan dana ke kader dan meminjam dana dari kader yang dianggap berkantong tebal. Sejauh ini, belum ada kalkulasi berapa dana yang dibutuhkan partai SIRA dalam menghadapi Pemilu 2009. “Kami akan mengadakan Rapat Kerja Bapilu (Badan Pemenangan Pemilu –red) pada 19 Agustus nanti,” ujar Taufik.

Program kerja yang menonjol dari parta ini adalah memperkuat pemerintahan Aceh nantinya yang sesuai dengan Undang Undang no 11 tahun 2006, tentang Pemerintahan Aceh (UUPA). Artinya, pemerintah Aceh harus mempunyai kewenangan besar seperti yang diatur dalam UU tersebut. “Ini supaya benar-benar diwujudkan.”

Kemudian juga soal kemandirian ekonomi Aceh. Membalikkan kondisi Aceh yang selama ini konsumen menjadi produsen. Dan yang terpenting adalah merawat perdamaian berkelanjutan di Aceh.

Terkait afiliasi politik dengan partai nasional, Partai SIRA belum menetapkan suatu keputusan apapun. Taufik mengakui sejauh ini ada beberapa Partai Nasional dan kadernya yang mengajak afiliasi. “Kami belum memutuskan apapun sampai saat ini,” sebutnya.

Kendati demikian, dia mengakui terus membangun komunikasi politik dengan para kader partai nasional, tetapi lebih secara personal.

Partai Aceh (PA) juga sedang gencar kampanye terbatas dengan menyebarkan spanduk di seluruh daerah Aceh. Partai ini dipimpin oleh para punggawa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dulunya. Juru bicara Partai Aceh, Adnan Beransah menyebutkan setelah partainya dinyatakan lewat verifikasi untuk tahap propinsi, mereka akan terus berupaya mensosialisasikan PA di seluruh kabupaten/kota yang ada di Aceh. Partai ini didukung oleh sebagian besar mantan kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dulunya.

Adnan mengakui punya pengurus pada seluruh kabupaten/kota di Aceh, artinya ada 23 kantor di daerah. Soal target, PA memasang tertinggi. “Target maksimal partai, dapat memperoleh setengah kursi di DPRA/DPRK seluruh kabupaten/kota di Aceh.”

Dia menjelaskan, Partai Aceh merupakan milik bersama masyarakat Aceh. Semua orang berhak memiliki partai tersebut, yang merupakan salah satu amanat dari Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Programnya adalah merawat perdamaian abadi. “Dengan perdamaian abadi, semuanya bisa dilakukan di Aceh,” ujarnya.

Lainnya adalah menguatkan platform Partai Aceh untuk negosiasi politik dengan pusat. PA berkeinginan untuk memperkuat kewenangan pemerintahan sendiri di Aceh yang sesuai dengan amanat MoU Helsinki dan UUPA.

Pengakuan Adnan, sejauh ini mereka tidak punya kendala apa-apa lagi. Soal dana, mereka mendapat sokongan kuat dari rakyat. Misalnya untuk cetak stiker, baju partai dan spanduk, itu umumnya dilakukan oleh personal kader PA. Sehingga pengurus partai tidak perlu memikirkan banak soal hal kecil seperti itu. Mereka juga belum punya keputusan terkait afiliasi politik dengan partai nasional.

Kampanye terbatas saat ini, mereka juga mengisi dengan pembinaan kader. Agar semua SDM yang ada mampu meningkatkan pengetahuan politik mereka. “PA sudah siap semuanya, tidak ada masalah berarti,” sebutnya.

Dari kubu partai Partai Daulat Atjeh (PDA), Ketua III Partai, Tgk Nurkhalis MY menjelaskan pihaknya belum berpikir jauh soal target kursi yang didapat nantinya. Masa kampanye terbatas mereka isi juga dengan sosialisasi ke masyarakat dan kader partai.

Partai ini disokong oleh sebagian ulama Aceh dan para santrinya serta masyarakat yang pro terhadap syariat Islam. Metode pembinaan kader pun lebih ke dakwah. Program utamanya adalah membuat ruh Islam dalam setiap tatanan kehidupan dan kebijakan politik di Aceh. Termasuk juga kebijakan pendidikan dan lainnya.

Kata Nurkhalis, partainya punya komitmen berpihak kepada rakyat, taat dan patuh pada fatwa ulama. Kebijakan secara umum? “Kami ingin melahirkan kebijakan pemerintahan yang dihasilkan oleh anggota dewan dengan menerapkan syariat Islam secara kaffah,” katanya.

Kendala utama ada pada dana. “Makanya bendera kami tidak terlalu banyak di jalan-jalan,” ujar Nurkhalis.

Kendala itu diatasi dengan memberikan keleluasaan kepada calon legislatif dari PDA mencari dana sendiri. Tentunya dibawah kontrol dari petinggi partai. Saat ini pihaknya belum punya keputuan untuk berkoalisi dengan parlok lain atau partai nasional.

Sementara itu, Partai Aceh Aman Sejahtera (PAAS) yang diketuai oleh Ghazali Abbas Adan juga mengaku siap bertarung. “Pemilu ke depan harus beradap, kami tidak menginginkan adanya politik preman, yang melakukan pemaksaan kepada para pemilih untuk mendukung salah satu parpol.”

Mereka telah melakukan berbagai sosialisasi dan memperkenalkan partainya. PAAS yang telah memiliki DPW di 19 kabupaten/kota ini, belum bisa menargetkan kuota kursi di parlemen. “Semuanya tergantung dari masyarakat nantinya dalam pemilihan yang akan dilakukan pada pesta demokrasi 2009,” kata Ghazali Abbas yang pernah menjadi salah satu calon gubernur dalam Pilkada akhir 2006.

Pertai lokal lainnya adalah Partai Bersatu Aceh (PBA). Diketuai oleh Ahmad Farhan Hamid, yang juga seorang anggota DPR-RI dan mantan politisi Partai Amanat Nasional (PAN). Farhan mengatakan, pihaknya sedang melakukan sosialisasi besar-besaran di Aceh.

Kemungkinan parlok itu berkoalisi juga dibuka lebar. Tapi sejauh ini, PBA juga belum memutuskan soal itu. Partai ini sudah memiliki DPW di 18 kabupaten/kota. “Kami belum menargetkan kursi yang akan dicapai nantinya,” jelas Farhan.

Partai-partai lokal ini terus bergerilya, mencari dukungan masyarakat dan memasang target. Tujuan pemenangan Pemilu 2009.

***
Pengurus partai nasional di Aceh juga sedang gencar melakukan kampanye politik. Pada umumnya mereka menyambut baik hadirnya partai lokal di Aceh. Katua DPW Partai Amanat Nasional (PAN) Aceh, Azwar Abu Bakar menyebutkan kehadiran partai lokal bukanlah lawan untuk ditakuti, tapi harus menjadi patner untuk memperjuangakan hak-hak rakyat. “Semua kita sama untuk memajukan Aceh ke depan yang lebih damai, aman dan sejahtera.”

“Kami senang dengan kehadiran partai lokal dalam kancah perpolitikan di Aceh,” tambah Azwar. Saat ini, pihaknya sedang melakukan sosialisasi terhadap kadernya serta melakukan pendekatan dengan masyarakat.

Partai Golongan Karya (Golkar) Aceh juga melakukan hal sama, mengisi masa kampanye terbatas dengan kegiatan pelatihan peningkatan wawasan kader untuk menggaet simpatisan calon pemilih pada Pemilu 2009.

"Pelatihan kader ini penting dilakukan untuk membuka wawasan kader, agar mampu berkomunikasi dengan masyarakat calon pemilih di daerahnya masing-masing secara lebih baik terhadap berbagai isu aktual, baik nasional maupun lokal," kata Ketua DPD Partai Golkar Aceh, Sayed Fuad Zakaria.

Kehadiran partai lokal di Aceh menurutnya akan menambah tantangan bagi Golkar. Soal afiliasi dengan partai lokal, Golkar membuka kesempatan lebar bagi partai lokal mana saya yang menginginkannya. Hal itu juga telah dikabarkan ke pimpinan umum di Jakarta.

Secara formal, hal itu diakui Sayed Fuad belum ada keputusan final, dengan partai mana Golkar akan bergandeng di Aceh. Tetapi secara informal pihaknya terus mengadakan komunikasi politik untuk melahirkan rekomendasi yang baik nantinya. “Afiliasi politik terbuka lebar, asal sesuai dengan tujuan dan kepentingan Partai Golkar,” ujar Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) itu.

Soal prediksi partai lokal lebih unggul di Aceh, Sayed Fuad menyebutkan bisa saja hal itu terjadi. “Animo masyarakat untuk memilih partai lokal akan besar, tapi kita tetap akan berusaha semaksimal mungkin.”

***
Pemilu 2009 bakal ramai di Aceh, taktik dilancarkan oleh 34 partai nasional dan 6 partai lokal. Pengamat Politik Aceh M Jafar menyebutkan kecil kemungkinan pemilu di Aceh akan ricuh. “Dari segi jumlah peserta, semakin besar peserta kemungkinan ricuh semakin kecil,” sebut akademisi dari Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) itu.

Faktor lain yang bisa mengakibatkan kacaunya Pemilu di Aceh bisa dimungkinkan dengan (misalnya) peraturan yang tidak jelas dipahami oleh peserta. Kemudian juga kalau penyelenggara pemilu nantinya berpihak ke satu partai. “Di sini penting kesadaran peserta itu sendiri,” sebutnya.

Penilaian Jafar, partai lokal belum begitu siap dalam menghadapi pesta demokrasi pemilu 2009. Terutama pembentukan struktur dan kepengurusan yang belum optimal sampai ke desa-desa. Lainnya ada indikasi partai lokal yang sulit mencari calon legislatif yang memenuhi syarat, termasuk kuota keterwakilan perempuan 30 persen.

Pengalaman Jafar yang juga mantan Ketua KIP Aceh periode lalu, dalam beberapa kesempatan menjadi pemateri terkait kesiapan partai, muncul sebuah kasus dimana tingkat pengetahuan kader partai lokal dalam memahami pemilu, kurang. “Banyak yang belum paham tentang jumlah kursi dan jumlah pemilih,” ujarnya. Dalam hal ini, perlu adanya sebuah sosialisasi yang kuat dalam internal partai sendiri.

Soal afiliasi politik, Jafar menyebutkan sangat perlu dilakukan partai lokal. Tapi sejauh ini, dia belum melihat jelas ke arah itu. Artinya belum mengarah adanya partai lokal yang melakukan afiliasi politik dengan partai nasional.

Secara kelembagaan, afiliasi penting karena partai lokal hanya bisa mencalonkan diri sebagai anggota dewan di tingkat daerah, tidak di tingkat pusat. “Dengan adanya afiliasi, mereka setidaknya juga bisa memperjuangkan partai dan daerah Aceh di tingkat pusat,” sebutnya.

Jafar berharap, pemilu 2009 di Aceh bisa berjalan damai dan aman. Semua kader partai bisa menjaga perdamaian abadi di Aceh yang telah terjaga selama tiga tahun.

Andi Firdaus, warga Banda Aceh juga mengharapkan hal yang sama. Partai lokal dinilai merupakan hal baru. Ini setidaknya akan menjadi contoh yang baik bagi pembelajaran politik kepada masyarakat di Aceh khususnya Indonesia umumnya.

Selanjutnya, dia menyebut kehadiran partai lokal di Aceh jangan hanya menjadi euforia politik di Aceh. tetapi dengan adanya partai lokal, haruslah membawa misi perubahan yang menyeluruh di Aceh. “Jadi manfaatnya jangan hanya untuk pengurus partai saja, juga untuk rakyat.”

Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengatakan, perlunya partisipasi masyarakat untuk menciptakan pemilu yang demokratis dalam tahapan-tahapan pemilu 2009 di Aceh. “Ini penting, karena agenda politik yang sedang berlangsung pada tahapan pelaksanaan kampanye ini diharapkan menjadi ajang kompetisi penyampaian program pembangunan dari masing-masing kontestan,” kata Irwandi.

Dia berharap pada pemilu nanti tidak ada pemaksaan aspirasi politik kepada masyarakat di Aceh. “Biarkan masyarakat menilai, untuk menentukan pilihan rasional (rational choice) pada pemungutan suara pemilu legislatif April 2009 nantinya,” kata Irwandi.

Saat penutupan Rapat Koordinasi Pimpinan Daerah (Rakorpimda) Aceh, 7 Agusutus 2008, Wakil Gubenur Aceh, Muhammad Nazar menyebutkan enam Partai Lokal (Parlok) di Aceh sudah sepakat untuk mendukung pemilu damai dan berjanji tidak ada pemaksaan dalam pencoblosan nantinya.

Pemerintah Aceh sangat mengharapkan komitmen tersebut, agar pemilu di Aceh berjalan demokratis. “Kita harus memberi contoh yang baik, bahwa pemilu di Aceh dapat berlangsung damai, biarpun baru terlepas dari konflik yang sangat panjang.”

Nazar menyebutkan Pemerintah Aceh sudah meminta Komisi Independen Pemilihan (KIP) untuk dapat mengambil peran dalam menciptakan pemilu damai tersebut. “Kita minta KIP dapat memberi sanksi keras terhadap partai politik yang berbuat curang,” ujarnya.

Bupati dan Walikota se-Aceh juga sepakat untuk mengundang pemantau Internasional dan pihak independen untuk memantau pemilihan umum (Pemilu) yang akan berlangsung April 2009 mendatang di Aceh.

Kesepakatan tersebut adalah salah satu hasil Rakorpimda Aceh. “Semua Bupati dan Walikota, sepakat adanya pemantau asing di Aceh, dan semua mereka menginginkan pemilu berlangsung dengan damai,” kata Muhammad Nazar.

Partai nasional dan lokal di Aceh terus berjuang mengumpulkan simpati warga. Semua berharap, pemilu di Aceh bisa berlangsung damai, agar perdamaian yang telah diraih bisa abadi. [*]

Koran Tempo, 11 Agustus 2008

Selengkapnya...

Pesan Hasan Tiro

Oleh Adi Warsidi

Mantan Pemimpin Tertinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Tgk Muhammad Hasan Ditiro, berpidato di depan ribuan masyarakat Aceh yang menanti kedatangannya di Mesjid Raya Banda Aceh, Sabtu (11/10) siang.

Hasan Tiro menyapa dengan salam dan menyebutkan, “lon katroh u Aceh, katroh u gampong (saya sudah sampai di Aceh, sudah sampai ke kampung halaman).”

Selanjutnya, Hasan Tiro yang sudah berumur 83 tahun itu meminta Mantan Perdana Menteri GAM, Malek Mahmud untuk membacakan amanatnya. Dalam amanatnya, Hasan Tiro menyampaikan rasa bahagianya dan rahmat yang diberikan Allah karena dapat bertemu dengan masyarakat Aceh.

“Belum pernah rakyat Aceh dari masa penjajahan mendapat kebebasan seperti ini. Rakyat mendapat kebebasan setelah adanya perdamaian di Aceh,” ujarnya.

Menurutnya, perdamaian lahir karena jerih payah rakyat Aceh yang telah bekorban. Perdamaian lahir setelah jatuhnya ratusan ribu korban semasa konflik dan bencana tsunami Aceh. Telah ada ribuan anak yatim di Aceh. “Ini menjadi tanggung jawab pemerintah untuk memberi perhatian kepada mereka dan masyarakat Aceh sesuai kesepakatan Helsinki,” sebut Hasan Tiro.

Dia menyebutkan, 30 tahun konflik, Aceh hampir kehilangan segalanya. Hasan Tiro mengajak semua pihak untuk dapat bersama-sama membangun Aceh kembali. Membangun Aceh tentunya butuh pengorbanan, “biaya perang lebih mahal, biaya memelihara perdamaian juga lebih mahal.”

“Maka dari itu, peliharalah damai untuk kesejahteraan kita semua,” sambung Hasan Tiro.

Mantan pemimpin tertinggi GAM yang telah 30 tahun meninggalkan Aceh dan menetap di Amerika Serikat dan Swedia, juga menyampaikan terimakasihnya kepada pemerintah Indonesia yang komitmen terhadap menjaga perdamaian di Aceh.

Rakyat Aceh juga diajak untuk menjaga persatuan dan kesatuan dan jangan terpancing kepada kelompok-kelompok yang ingin memecah belah rakyat Aceh, dan mengacaukan damai di Aceh.

“Terimakasih kepada rakyat Aceh yang telah menanti kedatangan saya dan menerima saya di Aceh,” ujarnya.

Ribuan massa bersorak dan meneriakkan Wali Nanggroe untuk Hasan Tiro. Jalan di sekitar mesjid terbesar di Aceh itu macet total selama empat jam lebih. Umumnya massa mengusung bendera Partai Aceh (PA), partai lokal di Aceh yang didirikan oleh para mantan anggota GAM.

Muhammad Ali, seorang simpatisan PA yang datang dari Bireuen menyebutkan, dia sengaja datang ke Banda Aceh untuk melihat secara langsung Tgk Hasan Tiro. “Kami datang bersama kawan-kawan dengan biaya sendiri,” ujarnya.

Massa mulai meninggalkan mesjid raya sekitar pukul 14.00 WIB, setelah Hasan Tiro menyelesaikan jadwal pidatonya di depan masyarakat Aceh. Setelah itu, massa mulai kembali ke daerah masing-masing dengan menggunakan truk terbuka, mobil pribadi dan sepeda motor.

Usai acara di Mesjid Raya, Hasan Tiro menuju ke Pendopo Gubernur Aceh untuk beristirahat dan juga berjumpa dengan pejabat dan tokoh Aceh lainnya. Rencananya, Hasan Tiro akan berada di Aceh selama dua pekan ke depan.

Hasan Tiro tiba menginjakkan kaki di Bandara Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar, pukul 11.25 WIB. Dia terbang dari Malaysia bersama rombongan dengan pesawat carteran dari Malaysia. Ikut bersamanya, Mantan Petinggi GAM, Malek Mahmud dan Zaini Abdullah. Gubernur Aceh Irwandi Yusuf dan Ketua KPA, Muzakkir Manaf juga terlihat bersama rombongan.

Rombongan disambut dengan pengawalan khusus dari anggota Komite Peralihan Aceh (KPA) yang dipimpin oleh Abu Razak, Wakil Ketua KPA. Ratusan masyarakat dan simpatisan Partai Aceh melihat kedatangan Hasan Tiro dari luar pagar bandara.

Istri (Alm) Muhammada Usman Lampoh Awe, Pocut Sariwati binti Tgk Mahmud mendapat kehormatan untuk mengalungkan bunga kepada Mantan Pemimpin Tertinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM), Tgk Muhammad Hasan Ditiro.

Pocut Sariwati kepada Tempo menyebutkan, dia diminta khusus oleh panitia dari KPA untuk pengalungan bunga kepada Hasan Tiro. “Seharusnya sesuai adat orang Aceh, saya belum bisa keluar rumah, karena suami saya baru meninggal. Tapi karena yang pulang adalah saudara sepupu dan kawan dekat suami saya, saya ikut menyambut,” sebutnya.

Menurutnya, dia bangga dapat mengalungkan bunga langsung kepada Hasan Tiro yang telah 30 tahun mengasingkan diri ke Swedia. “Suami saya padahal sudah bersiap-siap untuk menjemput sendiri Hasan Tiro, tapi Allah berkehendak lain,” ujarnya. Tgk Muhammad Usman Lampoh Awe, Mantan Menteri Keuangan GAM meninggal pada 3 Oktober 2008 lalu di RSU Sigli, Kabupaten Pidie karena menderita Leukeumia. [*]

Koran Tempo, 12 Oktober 2008

Selengkapnya...

Mendekap Keumala

Oleh Adi Warsidi

Novel ini merekonstruksi kembali sosok Keulamahayati, Laksamana ternama dari Nanggroe. Daerah yang dikabarkan pernah jaya di masa raja-raja.

Judul : Perempuan Keumala
Penulis : Endang Moerdopo
Penerbit : PT Grasindo, 2008
Tebal : 350 halaman + xii

Dapatkah sebuah kematian orang tercinta membelokkan jalan kehidupan seorang perempuan? Menjadikan sebuah ketegaran untuk membela kaumnya, para janda. Kendati tak begitu drastis, perubahan itu telah ditorehkan Endang Moerdopo penulis asal Jogjakarta dalam novelnya, Perempuan Keumala.
Novelnya berkisah tentang Keumalahayati, Laksamana Perempuan pertama kerajaan Aceh, yang hidup pada abad ke-16. Menjadi pemimpin armada laut selat malaka setelah kehilangan kakanda tercinta. Sebuah fakta (mungkin) sejarah yang pernah berlaku di tanah Aceh, dicampur bersama fiksi dalam sebuah perenungan yang dalam.
Keumala, perempuan itu sempat mengenyam indah dan kemudian roboh secara psikologis, setelah perang mengambil cintanya. Dia tak larut lama hingga bangkit memimpin sambil menyingkirkan fitnah yang mendera, dari kaum yang iri dan pengejar dirham di lingkaran istana.
Endang, sang penulis sedang berkisah tentang cinta, dendang kematian, hingga nasehat serta rekontruksi sebuah bangsa digambarkan besar, tapi tak pernah sepi dirudung perang. Bahkan bangsa yang masai oleh pertikaian tak kunjung henti dalam tubuhnya sendiri.
Kisah berawal saat Keumala, tokoh utama dalam remaja. Dia hidup dalam suka dan cinta ketika mengikuti pendidikan militer di Kutaraja. Cerita mengalir indah dalam dialog-dialog panjang tentang perkawanan para sahabat. Sampai kemudian Keumala melengkapkan kebahagiaan saat berjodoh dengan Tuanku Mahmuddin, si abang kelas yang menaruh hati pada mata indahnya.
Dengan cantelan naratif yang mengalir kuat sejak lembar awal, Perempuan Keumala bergerak cepat. Membawa pembaca menelusuri eksotisme Nanggroe dalam perang laut yang dipimpin langsung Sang Sultan Aceh, Alaiddin Riayat Syah dengan Panglima Laot Selat Malaka, Tuanku Mahmuddin, suami Keumala.
Perang bersama Portugis di Laut Haru, Selat Malaka tak digambarkan detail. Tapi disitulah kisah hidup Keumala direkatkan pada jalan perang. Tuanku Mahmuddin shyahid saat membela Sultan. Keumala janda.
Sultan membebaskan Keumala dari duka, dia dinobatkan untuk mengganti suaminya sebagai Panglima Laot Selat Malaka. Iri muncul dari petinggi istana lainnya. Lalu kisah diceritakan sebagai konflik dalam kerajaan, merebut simpati sultan.
Nanggroe adalah perang yang nyaris abadi sejak lama. Keumala menjadi kepercayaan sultan dan lahirlah Armada Inong Balee yang dipimpinnya sendiri. Pasukan berasal dari para janda yang suaminya meninggal bersama Mahmuddin.
Jadilah Laksamana Keumalahayati sebagai perempuan perkasa yang memimpin perang, menghibur para janda, berlatih bersama, menghitung strategi sampai kepada mengirimkan mata-mata untuk menelusuri pedagang-pedagang curang di sepanjang Selat Malaka.
Penulis mengakhiri kisah dengan perkelahian melawan pedagang dari Belanda. Cornelis de Houtman, orang yang dalam sejarah disebut sebagai Belanda pertama yang menginjakkan kaki di Pulau Jawa. Dia mati setelahnya di tangan Keumala dalam sebuah pesta di Laut Krueng Raya.
Perempuan Keumala menjadi penting karena inilah novel sejarah yang menulis tentang Laksamana Perempuan pertama Aceh itu. Endang menyuguhkan fiksi yang dicampur kisah sejarah di dalamnya. Membacanya adalah membaca perempuan Aceh yang gagah perkasa.
Alur cerita pas, tapi penulis sedikit berpretensi ketika menjadikan Keumala tokoh yang berani menghadapi segala tantangan. Pengecutnya digambarkan manusiawi dan magis, dan hanya sedikit, ketika anaknya diculik. Dia diguna-gunai dengan mantra Tapak Tuan dan setelah lepas, Keumala melesat tanpa cacat.
Lainnya, Perempuan Keumala menyuguhkan sebuah dialog-dialog yang kadang panjang dan membosankan. Percakapannya kurang makna, berlebihan di deskripsi alam dengan laut dan daratannya, tokoh dengan pakaian dan lakonnya serta suasana yang dibuat-buat, kadang terbaca tak indah lagi.
Tapi apapun, Endang telah menulisnya untuk Nanggroe, sebagai bahan renungan generasi depan. Bahwa perempuan Keumala pernah ada dalam bingkai pikiran kita. Merawatnya adalah tradisi, mengingatkan perempuan kita, telah jaya sejak silam, dalam fiksi ataupun nyata. ***

[Majalah Acehkini, Oktober 2008]

Selengkapnya...

Pita Merah dan Pria Tanpa Topeng

Oleh Arif S

“ODHA harus dilibatkan dalam menanggulangi penyakit AIDS, mustahil bisa melakukan pelayanan dan pencegahan Aids tampa melibatkan orang yang mengalaminya secara langsung.”

- Pria Tanpa Topeng -

Lelaki itu tampil menggunakan kemeja putih, di dada kirinya tersemat red ribbon, pita warna merah yang berbentuk huruf v terbalik. Dia berjalan menuju panggung bersama seorang pria yang juga berpakaian putih, serta Dewi Muetia, istri wakil gubernur Aceh Muhammad Nazar.

Orang-orang yang menyambut kehadiran mereka sontak bertepuk tangan, obor-obor digoyangkan membentuk garis-garis api. “Kenapa dia tidak pakai topeng?” tanya seorang panitia kaget. “Ini tak sesuai dengan skenario,” sambung panitia lain pasrah ketika melihat tiga orang tamu tersebut telah duduk berdampingan di panggung dan pembawa acara mulai menyapa penonton.

Dalam skenario yang disusun panitia Malam Renungan AIDS Nusantara (MRAN) 2008 yang dilangsungkan di Taman Sari, Banda Aceh Jumat malam (23/05) itu, dua lelaki berpakaian putih itu direncanakan tampil menggunakan topeng. “Saya ingin melihat stigma masyarakat Aceh terhadap ODHA/OHIDHA secara langsung,” tandas itu.

ODHA/OHIDHA adalah sebutan untuk orang yang terjangkit HIV (Human Immunodeficiency Virus), virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh terhadap infeksi penyakit tertentu (sindrom). Sementara AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) merupakan definisi klinis bagi orang yang terinfeksi HIV.

Di malam perenungan itu lelaki berpakaian putih itu bercerita tentang perjalanan hidupnya sebagai ODHA. Pemuda itu baru sadar dirinya terjangkit HIV dan AIDS pada tahun 2001. Selain itu, gambaran-gambaran mengenai penyakit HIV dan AIDS turut dipaparkan. “HIV terdapat di darah seseorang yang terinfeksi (termasuk darah haid), air susu ibu, air mani dan cairan vagina,” jelasnya.

Di Aceh ada tiga rumah sakit yang mampu melayani pemeriksaan terhadap infeksi penyakit HIV dan AIDS, Yaitu Rumah Sakit Kesdam Iskandar Muda, Bahyangkari Polda Aceh dan Rumah Sakit Umum Zainol Abidin (RSUZA). Lelaki itu mengharapkan masyarakat tidak takut untuk memeriksa, “Dengan cepat kita tahu, semakin besar peluang untuk selamat,” lanjutnya.

Lelaki tanpa topeng itu menyayangkan stigma masyarakat terhadap ODHA. “Setiap orang punya masa lalu masing-masing, seharusnya kita tidak memvonis seseorang dengan masa lalunya,” ujar pria itu disambut tepuk tangan dari penonton. “Saya telah open status di panggung ini, tapi masih banyak kawan-kawan saya di daerah yang ngumpet di rumah,” ungkapnya.

Ia mengharapkan peran ulama dan pemerintah menyikapi keberadaan ODHA dalam menanggulangi penyakit AIDS di Aceh. “ODHA harus dilibatkan dalam menanggulangi penyakit AIDS, mustahil bisa melakukan pelayanan dan pencegahan Aids tampa melibatkan orang yang mengalaminya secara langsung.”

Malam renungan AIDS Nusantara (MRAN) secara serentak dilaksanakan pada Mei minggu ke tiga, baik ditingkat nasional maupun internasional. Kegiatan itu untuk mengenang orang yang telah meninggal karena AIDS dan juga sebagai bentuk dukungan bagi orang yang hidup dengan HIV-AIDS. Pita merah dilambangkan sebagai bentuk kepedulian pada HIV dan AIDS secara mengglobal.

Lelaki itu telah menyematkan pita merah di sisi sakunya dan mencabut topeng melawan stigma. Di pelosok-pelosok nun jauh, terdapat puluhan ODHA lain yang masih bersembunyi dan akhirnya menghilang di kehidupan.

Selengkapnya...

Tunang Tergerus Zaman

Oleh Arif S

Bruang Tapa tak ganas sore itu, perintah pawang tak digubris. “Heaaaa, bek rugoe nan hai meutuah! (Heaaaa, jangan hanya besar nama hai sayang!),” bentak sang pawang sembari menarik tali yang dicocok pada hidungnya.

Raja Itam, rival dalam pertandingan peupok leumo (adu lembu) juga menunjukkan sikap sama. Tak mengubris tuannya.

Minggu sore, 1 Juni 2008. Lapangan bola Liempok, Aceh Besar dipenuhi penonton. Mereka berteriak menyemangati kedua petarung, ledekan pun tak sedikit. “karugoe tiket sang nyoe (rugi tiket nonton sepertinya),” teriak penonton.

Dalam pertarungan 10 menit itu, harus ada yang jadi pecundang supaya sang juara bisa kembali berlaga minggu depan. Kedua pawang mengeluarkan segala jurus untuk memancing emosi lembu. Meniup telapak tangan sendiri hingga berbunyi seperti siulan.

Tanduk dua lembu tunang itu didekatkan kembali. Upaya ini membuahkan hasil. Bruang Tapa mulai menanduk Raja Hitam. Heaaaaa..., pertarungan dimulai pada menit ke tiga. Sorak penonton riuh membahana saat dua lembu itu saling adu tanduk.

Lembu itu sepertinya tahu apa yang diinginkan pendukungnya. Semangat mengalir dalam tubuh kekar bertanduk, debu-debu mengepul membuat kabut saat mereka berlaga. Sorakan makin riuh.

Peupok leumo adalah permainan tradisional khas Aceh Besar. Tempo dulu, permainan ini berkembang di kalangan peternak lembu. Mereka menggelar peupok leumo untuk sebuah pengakuan, bahwa peternakan merekalah yang punya lembu berkualitas wahid. Biasanya tunang diprakarsai oleh pemilik lembu antar lokasi, kampung atau mukim.

Tunang tak sekadar huru-hara, punya tujuan di baliknya. Adu lembu diyakini akan menjadikan sapi lebih agresif dan sehat, bahasa Aceh-nya disebut pleh bren leumo. Maklum, para peternak umumnya hanya mengandangkan sapi mereka dan hanya diberi makan rumput yang telah disiapkan. Seiring waktu, adu lembu menjadi hiburan bagi warga. Biasanya digelar pada hari-hari besar dan selepas panen raya.

Di Liempok, tradisi lama itu diprakarsai sebuah pantia yang dibentuk khusus. Tujuannya sama, pleh bren leumo untuk hajatan mencari lembu pemenang. Di beberapa lokasi lain, tradisi itu pernah subur, tapi belakangan dilarang warga. Menjadi arena perjudian jadi alasan. Entahlah... ini hanya cerita tentang tradisi.

Peupok leumo diadakan setiap Minggu sore pukul 16.00 Wib, atau selepas shalat ashar. Menyaksikan hiburan lama, penonton diwajibkan membawar tiket sebesar Rp15 ribu.
Uang ini dikutip panitia sebagai biaya menyewa lembu tarung. “Uang itu untuk memberi biaya perawatan lembu pada pemiliknya, biasanya kami menyewa setiap lembu seharga Rp300 ribu hingga Rp1 juta,” kata Yah Nuh, panitia peupok leumo di Liempok.

Biaya tak sama untuk semua lembu, yang tangkas dibayar lebih mahal. Lembu yang diadu dalam tunang adalah lembu pilihan. Semua punya nama yang ditoreh pawangnya. Bruang Tapa dan Raja Hitam misalnya, seperti lembu yang bertarung sore itu.

Seorang peternak asal Ulee Kareng, Banda Aceh, Yah Usman menyebut Bruang Tapa dan Raja Hitam adalah pemain baru. “Itu lembu-lembu baru, biasanya diadu saat pembukaan,” katanya.

Tunang punya aturan ketat. Menjaga lembu tak cedera, waktu tarung hanya dilakukan 10 menit. Dalam periode itu, kalau ada lembu yang menghindar alias lari, dialah pencundang. Jika keduanya bertahan, maka pertandingan dihentikan; seri. Tarung ke depan, mereka tak bisa berduel lagi. “Mungkin mereka tak bisa bertarung berdua, hana pah lawan,” ujar Yah Usman.

Pemilik lembu yang memenangkan pertandingan akan mendapat keuntungan lain. Jika jagoan mereka sering memenangkan pertarungan, maka harga tawar akan kian meningkat. Harga tawar satu lembu tarung tangguh berkisar Rp20 juta hingga Rp30 juta.

Selain Bruang Tapa dan Raja Hitam, juga adalah Bren. Mengadopsi nama senjata serbu made in Cina, Bren adalah lembu yang paling disegani saat ini, minimal di Aceh Besar. Selain Bren, ada L-300 yang punya kemampuan sama.

Bagi warga yang hobby tunang lembu, nama-nama lembu petarung sudah terafal di luar kepala, melegenda. Setiap lembu baru yang bertarung atau punya fisik yang sama dengan legenda mereka, maka langsung dikaitkan. Ditabalkan seperti kenangan mereka. “Pada tahun 1992 ada Planet Bulen yang tak terkalahkan,” cerita Dadek, peminat tarung lembu.

Peupok leumo tunang adalah hiburan, ajang promosi dan tak jarang menjadi ajang taruhan bagi warga. Terlepas plus-minus, peupok leumo adalah tradisi yang kian jarang. Aturan-aturan entah kesadaran telah membuat budaya itu langka. Tunang yang tergerus zaman.

Selengkapnya...

Ini Jazz Aceh, Teungku!

Oleh Arif S

Komunitas Maestro Aceh menggelar Khanduri Jazz II. Konser Jazz besar pertama aneuk nanggroe di tanah endatu.

Perlahan musik meloncat surut ke tujuh tahun silam. Nyawoung sebenarnya tembang etnik. Lagu yang liriknya bercerita tentang proses setelah kematian: permohonan jiwa untuk menyatu kembali, izin Tuhan, kondisi jasad setelah 44 hari di liang lahat dan sebuah memori pada zaman buruk saat musik itu diciptakan; Aceh yang berdarah.

Namun para musisi jazz Aceh itu sejenak melupakan kengerian, Nyawoung muncul dalam irama jazz yang mengalun, nada-nada mengalir, repetisi mencairkan kata-kata ngeri disetiap hentakan kaki. Dari tangan Muritza Thaher, musisi sekaligus arranger Aceh itu, instrumen lahir secara akrobatik. Mujibburrizal, anak Indrapuri, Aceh Besar yang kini salah satu vokalis grop nasyid Qatrunnada, Malaysia menyanyikan Nyawoeng dengan lembut, berbeda dari sang empunya sendiri, Muchlis yang meninggal saat gempa dan Tsunami meluluhkan Aceh Desember 2004 silam.

Jazz adalah mengalun, swing. Namun jazz bisa berarti apa saja. Dari Khanduri Jazz II di Gedung ACC Sultan Selim II, Banda Aceh, Jumat Malam 19 Juli 2008 lalu, Jazz juga tampil dalam suasana barok. Tembang-tembang seperti Boogoie Down yang dibawakan Goya Kala, Esokkan Masih Ada oleh Didy dan Aku Malu oleh Peut Voice mampu menghentakkan pengunjung. Mereka yang manyoritas kaum muda ikut berjoget dan bernyanyi. Jazz di Aceh juga digandrungi kaum Muda.

Tembang yang ditampilkan adalah lagu nomor standar dari lagu-lagu jazz populer yang diarangemen ulang Moritza. Khanduri Jazz diisi berturut-turut oleh Maestro Band, Moritza Taher Combo, Kelompok Taloe, duo gitaris Nadi & Denny Syukur, serta demo jazz instrumental oleh para musisi muda sekolah musik Moritza.

Yuni Sarmiati, gadis usia 22 tahun asal Banda Aceh diperkenalkan sebagai gitaris jazz perempuan pertama Aceh. Mahasiswi Fakultas Teknik Universitas Syiah Kuala itu baru lima bulan bergabung di Sekolah Musik Muritza. “Ini aksi panggung saya yang pertama, saya mengenal jazz lebih banyak di sekolah Muritza.” Kata Yuni. Dara imut itu terlihat anggun dengan gitar warna pink saat menampilkan water melonman dan Blue Bossa. Selain Yuni, ada Erlinda di piano.

Khanduri Jazz II Jumat malam itu mampu menarik perhatian kalangan muda dan warga asing. Margaret Kartomi, Seorang profesor dari fakultas musik Monash University, Australia mengaku sangat menikmati musik Jazz yang ditampilkan Komunitas Maestro Aceh itu. “Ini Jazz Aceh,” sebut Kartomi.

Dan Jazz adalah kebebasan. Bagi Moritza Jazz juga improvisasi jiwa. Komponis telah menyediakan kerangka, namun setiap musisi bisa memainkan instrumen secara akrobatik di sekitar kerangka itu. Lompatan-lompatan tak terduka, lingkaran-lingkaran kecil dan nada yang berjungkir balik. Dengan peralatan piano, keyboard, qitar, bass yang dimiliki kelompok Maestro Aceh pada malam itu, Semua bergerak sendiri tanpa saling merusak. Dan itulah Jazz Aceh, Teungku !

Selengkapnya...

Malam di Kota Bandar

Oleh Arif S

Senja baru rebah di kota Bandar, ibu kota Pemerintah Aceh. Jumat lalu, 1 Agustus 2008, suasana sesak terlihat di sepanjang ruas jalan Tgk Daud Beureueh hingga TA Mahmudsyah. Mobil-mobil merangkak pelan di antara sepeda motor. Akhir pekan, jalan-jalan utama kota Banda Aceh selalu sesak.

Daud Beereueh tidak istirahat, selepas gaung azan magrib dari menara Mesjid Raya Baiturrahman, dentuman musik keluar dari sound-sound kedai tengger penjual burger .

Di bawah rindang pohon jalan, lampu neon selaksa warna menjadi penghias sendiri, menghibur sejumlah pemuda yang sedang berkumpul. “Malam Sabtu hingga Minggu memang selalu ramai,” kata Arif Hidayat, pemilik warung H & D Burger.

Arif belum lama bergelut dalam bisnis burger, pemuda itu tertarik mencoba bisnis makanan khas dari Amerika Serikat itu setelah mendapat tawaran dari seorang kawan. “Ini bisa kerja part time, saya buka mulai jam 17.30 hingga pukul 00.00 WIB,” cerita Arif.

Namun pada Jumat malam itu, sound system milik Arif mandek, musik tidak berdentum, sehingga hanya beberapa pasangan saja yang terlihat sedang berbincang mesra.

Selain H & D Burger, sejumlah otlet burger lain juga berjejer di sepanjang jalan yang namanya diambil dari tokoh kharismatik dan pejuang Aceh, Tgk Muhammad Daud di Bereueh. kebanyakan pelanggan di kedai-kedai tengger itu adalah anak muda usia sekolah hingga mahasiswa. “Masing-masing sudah punya pelanggan sendiri,” kata Oki, dari Obelix Burger.

Di Banda Aceh, warung-warung burger tersebar di sejumlah tempat. Selain di Jalan Daud Beureueh, Nyak Adam Kamil, T Nyak Arief, beberapa ruas jalan di Keutapang, Lamlagang, Beurawe, Darussalam hingga Ulee Kareng.

Harga burger berkisar dari Rp5000 hingga Rp12 ribu. Selain burger, menu lain juga ditawarkan seperti omelet, roti bakar dan sosis dengan minuman botol dan kopi.

Kedai burger menjadi tempat hiburan alternatif, selain ajang mencari pasangan atau berpacaran. “WH (Wilayatul Hisbah -red) tidak menangkap orang pacaran di sini, sebab suasana tempatnya ramai," ujar Evi, pelajar salah satu SMU di Banda Aceh.

Kaum muda di Kota Bandar memang haus hiburan. Sejak pemerintah menerapkan syariat Islam di Aceh, ruang gerak masyarakat dalam mencari hiburan ala metropolitan praktis tidak tersedia. Tidak ada diskotek atau bar di Aceh. Tempat-tempat hiburan yang disediakan beberapa pusat perbelanjaan tidak mencukupi. “Di Aceh tidak ada tempat hiburan, kita kadang suntuk tak tahu ke mana,” kata Fajar, kekasih Evi.

Bioskop-bioskop juga praktis tutup sejak tahun 2000 lalu. Mereka yang haus hiburan tapi bermodal banyak, lebih suka mencari hiburan dan membelanjakan uangnya di kota Medan atau Jakarta.

Pemuda Aceh yang ingin gaul dan melepaskan penat cukup kongkow bersama teman atau kerabat di kedai yang tersebar di pinggiran jalan. Buktinya, tak sedikit kalangan muda termasuk yang masih duduk di bangku sekolah atau ABG, memilih kedai burger sebagai tempat bergaul dan bercerita.

Mengisi masa remaja yang konon indah di kota penat, di mana penduduknya tak punya pilihan, menentukan hiburan akhir pekan.

Selengkapnya...

Nek Kiah Memaknai Kemerdekaan

Oleh Arif S

Otot lengan Ramlan membengkak, tangannya kuat merangkul pohon pinang yang telah dilemuri oli. Di atas bahu pria 25 tahun itu, bertumpu empat orang lain yang membentuk tangga manusia. Bendera merah putih di puncak pohon pinang melambai dihembus angin, karton-karton bertuliskan aneka hadiah juga ikut bergoyang pada lingkaran yang tebuat dari bambu.

Azan ashar baru saja usai berkumandang dari menara Mesjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Sore itu, Senin 18 Agustus 2008, perhelatan perayaan kemerdekaan Indonesia yang ke 63 digelar dengan ragam permainan di tepi Krueng Aceh.

Panjat pinang menjadi permainan pembuka dalam perayaan kemerdekaan hari itu. Delapan orang asal Lamteh, Ulee Kareng Banda Aceh menjadi kelompok pertama yang akan memanjat pohon pinang yang telah berwarna hitam dilumuri gemuk. Kelompok ini berhasil menggapai puncak dan membawa turun bendera. Keberhasilan itu dihargai Rp750 ribu dari sponsor.

Selanjutnya panjat pinang menjadi tontonan yang sangat meriah, sorak dan tepuk tangan riuh keluar dari ratusan orang yang mengerumuni tepi Krueng Aceh. “Ayo, ayo… Tahan!” Teriak penonton memberi semangat kepada kelompok panjat pinang dari pedagang pasar Aceh.
Pondasi manusia yang dibangun para pedagang itu goyang dan ambruk. Penonton tertawa saat kelompok tersebut meutumpok (bertindihan) di bawah pohon pinang yang mereka panjat.

Ramlan hanya menyengir dan mengajak kawannya membuat kembali pondasi, dia berada di bagian paling bawah untuk dipanjat kawan yang lain. Dalam panjat pinang, orang-orang harus mengorbankan tubuh mereka untuk diinjak kawan se tim, kemenangan adalah pencapaian puncak dan memungut hadiah yang disediakan panitia.

Selain masyarakat kota yang ikut menyaksiakan perhelatan kemerdekaan, puluhan pedagang juga menjajakan dagangan di lokasi itu. Ibu Kiah, penjual jomblang pada sore itu tidak begitu memperhatikan antusias penonton.

Ibu setengah baya itu duduk lesu, keranjang di depannya masih terisi biji-biji hitam yang tidak banyak berkurang. Sesekali, suara seraknya menawarkan pembeli untuk mendekat. “Hana muphom ulon kemerdekaan nyan/ Tidak mengerti saya arti kemerdekaan itu,” jawab ibu Kiah pendek. Tangan keriputnya kembali memasukkan biji jomblang dalam kaleng susu bekas yang dijadikan sebagai pengukur.

Juliamin, penjual boneka masih bisa memaknai kemerdekaan, “Kita tidak terjajah lagi oleh Belanda,” kata lelaki itu. Dia mengaku tidak bisa membayangkan jika hingga saat sekarang Belanda masih menjajah Indonesia.
Lelaki itu punya mimpi untuk bisa berjualan di toko. “Pemerintah agar meningkatkan perekonomian rakyat,” harap Juli. Sementara ibu Kiah tidak mengharap banyak, “Yang penteng jeut tamita raseki haleu ngon teunang/Yang penting bisa mencari rezeki halal dengan tenang.”

Harapan ibu Kiah sangat sederhana, kemerdekaan bagi ibu tua itu adalah kebebasan berbuat dalam menjalani hidup. Dengan menjadi penjual biji jamblang musiman, dia bisa membantu meringankan suami yang bekerja sebagai pelaut.

Senja menutup perhelatan itu, sayup-sayup terdengar suara orang membacakan ayat suci Al-Quran. Orang-orang bubar, panitia mengucapkan sampai jumpa tahun depan, pada hari kemerdekaan selanjutnya.

Selengkapnya...

Geulayang Lon Manyang

Oleh Arif S

Pada hamparan sawah kering di Lampermai Cot Irie, sebuah tradisi lama terekam. Geulayang itu dilepas, lalu terbang mencari lawan, menentukan juara.


Penarik layang-layang sudah bersiap, siaga satu. Tangan mereka terjulur memegang ujung benang yang terentang dari layang-layang. Geulayang Tunang, sebuah tradisi lomba layang-layang akan dimulai, seorang juri memberi aba-aba. “Tempoe buet ka dimulai!” Teriak juri dari pengeras suara.

Tempoe buet adalah aba-aba untuk menaikkan layang-layang. Juri memberikan limit waktu selama 10 menit untuk tahap ini. Geulayang melesat terbang, angin yang berhembus kencang tidak sulit bagi layang-layang beradu cepat melesat ke udara. Ada 28 layang yang melenggang-lenggok ke kiri dan ke kanan. Menghias langit yang mulai mendung pada Jumat sore, 25 Juli 2008 di Kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar.

Hari itu hanya 28 layang peserta pada Geulayang Tunang. Setiap satu layang-layang ditangani oleh tiga hingga lima orang, mereka melakukan kerja secara tim dengan baik untuk menerbangkan geulayang. Tidak sampai 10 menit, semua layang-layang telah mengudara, namun juri tetap menunggu sisa empat menit sebelum melanjutkan tahap mengulur benang. Untuk tahap ini, tempo yang diberikan juga 10 menit.

Berpacu mengulur benang adalah tahapan paling seru. Layang yang lebih ringan mudah menarik benang. Benang yang lepas menimbulkan bunyi berdesing. Seorang membantu menjaga kumparan benang agar tak tersangkut, yang lain memegang kumparan yang terbuat dari kayu. Pengendali menjaga layang-layang agar tidak menyelip dan bertabrakan dengan layang-layang lain.

Akhir dari tahapan yang harus dilalui adalah tempoe cok pleh untuk menentukan pemenang oleh panitia. Juri akan memberi perintah kepada semua peserta untuk menuju tempat penganjungan. Mereka berjalan sepanjang bidang sawah, ke sebuah garis yang dibuat dari rentangan seutas tali. Limit waktu untuk tahap ini adalah tiga menit.

Di sinilah, tahap penentuan dilakukan. Setelah semua peserta berkumpul berjejer mengikuti garis tali, juri mulai menghitung melalui pengeras suara. Tiga orang juri mengamati ke layang-layang di langit itu dengan seksama. Bukan pekerjaan yang mudah. Karena di ketinggian sekitar 900 meter, layang-layang itu seperti sama saja tingginya.

***
Geulayang adalah sebuah hobby yang berawal dari tradisi lama, semenjak Aceh masih dipimpin raja-raja. Sore itu juga untuk hiburan, bukan ajang taruhan.

Nazar, seorang peserta menyebut itu hanya menyalurkan sebuah hobby, sama seperti pemain bola ikut turnamen. “Saya memang suka bermain layang-layang, jadi ini hanya hiburan. Acara seperti ini sudah sering sekali di tempat kami,” sebutnya.

M Jamil, Panitia sekaligus salah seorang juri menyebut, untuk menambah semangat peserta, yang menang diberikan hadiah berupa rokok. Untuk membeli hadiah itu, peserta yang ikut lomba diwajibkan mendaftar sejumlah uang. “Ini hanya untuk hiburan bagi warga,” sebutnya. Bahkan bisa membina hubungan kekeluargaan antar sesama.

Jamil ada juri dan harus ahli. Matanya tajam memandang langit. Di sana 28 layang meliuk-liuk diterpa angin, dia beserta seorang rekannya harus menentukan siapa sang jawara.

Tiba-tiba Sebuah layang-layang warna hijau terpisah lebih ke depan. Layang-layang yang satu ini nyaris tegak tali. Terbangnya pun tenang. Juri hampir saja memutuskan layang-layang hijau itu sebagai juara, namun ada peserta lain yang protes.

Geulayang hijau tidak memenuhi syarat sebagai pemenang. Layang-layang tersebut tidak mencapai ketinggian 800 meter, benangnya terlalu pendek. Tidak ada tanda batas serupa kain hijau yang dipasang panitia di sana. Hal ini diakui pemiliknya.
Tempoe cok pleh diulang kembali.

Jamil, kembali menatap ke langit mengamati layang-layang. Lelaki paruh baya itu mencari geulayang yang melesat lebih ke depan. Lalu didapat, sebuah layang bergambar kartu AS joker warna merah muncul condong ke depan.

Jamil langsung menunjuk Hantan Saga Ikupang, nama layang-layang Milik Nazar dari Desa Meunasah Mayang sebagai juara. Di nomor dua, ada Datok Maringgih milik Samsuddin. Tidak ada yang protes terhadap keputusan Jamil itu.


Semua peserta mulai menurunkan layang mereka, hujan mulai jatuh dalam rintik-rintik kecil. Geulayang Tunang akan dibuka kembali esok sore dan selanjutnya, untuk merawat tradisi.

Selengkapnya...

Ibu Kaki Lima

Oleh Arif S

Dia duduk bersandar di depan sebuah toko, ia menatap pada roda-roda kendaraan yang berputar di jalan raya. Di sisi kanannya, sebatang piano disandarkan berdiri, tut-tut piano sebagian telah ompong terkelupas. Dua orang bocah perempuan saling berbisik di hadapannya.

Tiba-tiba perempuan itu seperti tersadar, tangannya cepat menyusup ke saku depan celana putih yang dikenakan. Beberapa lembar uang seribuan terjatuh ke lantai. Dia terus merongoh ke saku yang lain. Entah apa yang dia cari. Tiba-tiba dia meraung keras. seperti kor sepuluh ambulan yang tergesa mengantar orang sekarat. Orang-orang di jalan berhenti tuk melihatnya.


Tapi dia tetap meraung. “Uangku, uangku, uangku !, anak sialan, kemana kalian?. Kembalikan uang ku !”. Teriakannya berubah isakan. orang-orang kembali melanjutkan perjalanan. ada yang heran, ada yang iba, ada juga yang menyebutnya gila.

Seharian Inur telah berjalan mengitari kota, manelusuri setiap gang, mendatangi setiap pintu toko. Menyungging senyum menggoda di sela jeda lagu yang dinyanyikan. Suaranya sumbang, sesekali ia membuat desahan seperti perawan yang sedang bermain penuh perasaan. Tangannya menekan tut-tut keyboard. Nada yang lahir ikut meliukkan tubuhnya, memutarkan pinggulnya seperti roda gerobak yang melintasi jalan berbatu. Dia tidak akan berhenti sebelum pemilik toko melemparkan lembaran uang ribuan ke kotak lusuh yang disodorkan dua perempuan kecil. Biasanya para pemilik toko akan menyuruhnya menari dengan berbagai gaya.

“kamu bisa gaya monyet?” tanya seorang pemiliki toko yang masih muda.

“yang seperti ini?” Inur mempraktekkan seekor kera betina yang sedang menggaruk gatal di kepala dan dada. Orang yang menyaksikan atraksinya akan tertawa dan bertepuk tangan. Riuh, Inur tersenyum, melambai tangan, membungkuk, dan tak lupa mengucapkan terimakasih. Dia bergaya layaknya penyanyi di atas panggung yang mengucapkan salam kepada para fansnya yang bersorak histeris. Inur senang, sementara kedua gadis kecil yang mengikutinya hanya bingung. Tak mengerti apa yang membuat ibu mereka begitu riang.

Malam mulai jatuh, kesibukan pasar beranjak sepi. Satu persatu toko mulai menutup dagangannya. Dengan memanfaatkan sinar lampu dan cahaya bulan, Inur mondar mandir mencari kotak-kotak kardus yang tercecer di sepanjang gang toko. Dia memilih kardus ukuran besar untuk dijadikan alas tidur. Kedua anaknya, Ana dan Ani ikut mencarikan kardus untuknya. Kebiasan menjelang malam yang kerap dilakukan mereka menjelang tidur.

“Kita akan membuat rumah yang besar malam ini, coba cari di ujung sana !”. perintah Inur pada Ana.

Ana berjalan ke arah yang yang ditunjuk ibunya. Matanya mengamati ke setiap tumpukan kardus yang tersusun di depan pintu toko. Satu demi satu dia periksa, namun semuanya berisi. Dia tidak berani mengosongkan isi yang ada dalam kardus. Pikiran kecilnya berkata jangan. Dia takut ditangkap polisi jika besok pemiliknya melaporkan mereka telah mencuri.

“Kak, cari aku !”, teriak Ani dari salah satu lorong yang gelap.

Serta merta Ana bergerak menuju arah suara yang memanggilnya, dia tinggalkan kardus yang sempat membuatnya berpikir keras. dengan lagak seperti pengintai, dia melambankan langkahnya. Menjingkrak dengan pelan dan …

“Hap, dapat “ pekik Ana menangkap Ani yang memberontak melepaskan pelukan kakaknya. Galak tawa pun terdengar.

“Eh, ibu mana?” tanya Ani merasa resah saat matanya tidak lagi melihat bayangan ibu.

“Gak tahu, tadi dia di sana”, jawab Ana sambil menunjuk ke arah depan salah satu toko. Kedua bocah perempuan itu saling memandang. Ani tampak gelisah. “Ibu kok tidak mengajak kita ya ?, jangan-jangan dia marah lagi”. keluh Ani. Dia takut kalo ibunya marah, dia tidak mau dipukul ibu seperti tadi sore karena mengambil uang. Sedang Ana terlihat tenang, dia sedikit lebih dewasa mengerti kondisi ibunya yang kadang sering marah-marah. Ana bahkan merasa sangat malu kalau orang-orang melihat ibunya yang sedang diamuk amarah.

Dia merasa akhir-akhir ini ibunya lebih sering mengamuk dan hilang kendali. Ia juga heran dengan penampilan ibunya sekarang yang cukup berbeda dari beberapa bulan yang lalu.

Tadi pagi, sebelum berangkat, ia melihat ibunya begitu berbeda. Ibu menggunakan celana panjang ketat. Likuk pinggul dan pahanya tercetak jelas, bahkan celana dalam merah jambu ibu terlihat samar menembus celana jeans putih yang dikenakannya. Pun juga setelan baju yang digunakan. Karena begitu katat, dada ibu terlihat membusung seperti dua kura-kura yang sedang beristirahat dalam batoknya. Banyak pemuda dan orang tua yang bersuit nakal ketika mereka lewat. Mungkin karena pakaian ibu yang seperti itu membuat mereka ditahan dan diangkut oleh pasukan berseragam hijau yang sedang melakukan razia pada Jumat itu.

Ketika berada di kantor yang di dindingya banyak tulisan arab, ibu hanya diam dan sesekali tertawa mendengar arahan dari bapak berpeci putih. Ana baru mengerti kalo cara berpakaian ibu telah melanggar peraturan syariat islam. Sebuah peraturan baru yang mulai diterapkan di Aceh setelah Pak Presiden Abdurrahman Wahid mensahkan Undang-undang baru tentang Otonomi daerah Aceh.

Setelah dua jam mendengar ceramah dari Ustad Yasa, mereka dibolehkan pulang dengan syarat Inur tidak lagi memakai celana jeans dan baju ketat. Dalam perjalanan pulang, Inur banyak mengomel.

“Manusia sok suci!”. Umpatnya. “persyetan semua… siapa yang peduli?!, enak saja mengatur aku”. Ana dan adiknya hanya bisa mengikuti dari belakang. Ia kadang sering membuang muka saat berpapasan dengan anak yang seusianya.

Melihat anak-anak itu, Ana juga ingin menggunakan seragam merah putih seperti mereka. Dulu dia pernah mengutarakan kepada ibu tentang impiannya tersebut. tapi ibu memarahinya.

“Saya tidak punya uang untuk menyokolahkan kalian !”. ketus ibu dengan nada yang cukup keras. Membuatnya tersentak. Lalu ibunya mengomel tanpa henti, ibu mengeluarkan kata-kata jorok tentang ayah, nenek, paman Husni, Om Razali, dan kakek yang telah memaksa ayah tuk meninggalkannya. Sejak kejadian itu, dia tidak pernah berbicara tentang serangam merah putih lagi pada ibu. Baginya, keinginan itu sejauh bintang yang sering ditatapnya saat malam sambil duduk di emperan toko.

“Kak, ayo kita cari ibu, mungkin dia sudah pulang”. Ajakan Ani membuyarkan lamunan Ana tentang ibunya. Dia merangkul adiknya. Mereka berjalan menyusuri emperan toko yang telah sunyi. Bias cahaya bulan memantulkan bayangan mereka di jalan.

Jam 23 menjelang tengah malam. Di depan pintu sebuah toko, Ana mendekati tumpukan kardus yang membentuk sebuah ruang persegi empat. Ibunya telah menyusun kardus-kardus yang didapatinya dari pasar tadi menjadi sebuah ruang untuk bermalam. Mungkin inilah rumah bagus yang ibu Ana katakan tadi. Dengan perlahan dia singkap salah satu celah. Ia melihat ibunya sedang tidur, ibu tidak menggunakan selimut. Baju merah darah dan celana jeans ketat putih masih melekat pada tubuhnya yang terlentang.

Sambil menyilangkan satu jari diantara bibir mungilnya, Ana memanggil Ani yang terduduk di lantai emperan toko. Sepertinya Ani masih takut dimarahi ibu.

“Jangan berisik, nanti ibu bangun”. Ana mewanti adiknya,

“Kamu masuk duluan ya !”

“Tapi aku takut”. Balas Ani dengan wajah cemas.

Setelah berada di dalam, Ani semakin takut mendengar ngorok ibunya yang keras. Ia memperhatikan wajah ibunya. Tapi yang dia dapati hanya sebentuk bayangan hitam yang merata. Ia gelisah.

Sementara Ana mencoba menutup mata. Bayang-bayang tentang ibu terus menyiksanya. Ibu yang berubah pemarah, ibu yang menjadi centil, dandanan ibu yang menyolok. Juga ibu yang berubah kasar ke mereka. Tapi Ana tidak menemukan jawaban. Ana hanya ingat pada suatu sore di tahun 2000. saat nenek dan paman Husni mengunjungi rumah orang tua ibu yang juga neneknya.

Kala itu nenek hanya membelai kepalanya dan menanyakan ibu. Ayahnya sudah satu bulan tidak pernah pulang. Ibu memberi tahu Ana bahwa ayah sedang kerja di luar kota.

Setelah memanggil ibu, Ana kembali bermain dengan Ani dan teman-temannya di halaman depan. Tiba-tiba ia mendengar suara orang menangis. Ketika dia menoleh ke dalam, Ana melihat ibunya terduduk layu di lantai, sementara nenek dan Om husni duduk dengan kepala tertunduk. Dia tidak tahu apa yang telah terjadi. Didekatinya ibu yang sedang menangis.

“Mengapa ibu menangis”. Ana duduk dipangkuan ibu yang sedang terisak. Ibu membiarkan air matanya mengalir membentuk sungai kecil di pipinya.

“Tanya nenek mu, nak”. Jawab Ibunya putus-putus.

Ana menoleh ke neneknya. Tapi nenek hanya diam, Ana berpaling ke arah Om Husni, Omnya itu juga diam. Ana ikut menangis. Belakangan diketahuinya Ani juga ikut menangis. Sementara nenek dan omnya telah keluar meninggalkan mereka.

Malamnya, ia mendapati ibunya masih berbaring di ranjang, pertama disangka ibunya sedang tidur, tapi setelah didekati. Mata ibunya tidak terpejam. Ia hanya terbaring telentang, matanya menatap hampa ke langit-langit kamar yang telah dipenuhi sarang laba-laba. Cahaya dari lampu neon lima watt membias di matanya yang basah. Kemudian Ana ikut berbaring disamping ibunya. Ia tidak mengaji malam ini. Biasanya ibu akan membantu mereka mengeja huruf arab dari sebuah kitab yang dibeli ayah di pasar. Ani telah tidur bersama nenek setelah sahalat insya.

Saat pagi tiba, Ana tidak mendapati ibunya di sisi. Biasanya ibu ikut membangunkan dia saat bangun. Ia bergegas keluar kamar dan mencari ibu di halaman rumah. Tapi dia hanya mendapati sapu lidi yang masih bersandar pada tempatnya. Daun-daun jambu bercampur seulanga masih berserakan di halaman depan rumah. Ibu tidak menyapu pagi ini, padahal matahari telah melewati pohon jambu monyet yang berdiri kokoh di belakang rumahnya. Kemudian dia menuju sungai kecil yang mengalirkan air jernih. Tapi dia tidak mendapati ibu dan Ani di sana. Kemana mereka pergi?, ia bertanya dalam hati. Ana terus memanggil ibunya. tapi tetap sunyi. Hanya kicauan burung kecil yang berisik dari dahan-dahan pohon di sekitar rumahnya.

Lelah menunggu, Ana baru melihat ibunya pulang bersama nenek diantar RBT*. Dia langsung memeluk ibunya, tapi ibu menepis pelukannya. Serta merta ibunya masuk ke dalam dan mengurung diri di kamar. Ana menangis pada neneknya.

“Kenapa Ibu, Nek?”. Tanya Ana sambil menangis

“Ibu mu lagi sakit”. Neneknya menjawab sambil menyapu air mata yang menetes di pipi Ana.

Hingga malam tiba, Ana tidak melihat ibunya keluar dari kamar. Ani telah menangis-nangis memanggil ibunya. tapi Inur tidak juga keluar. Nenek mereka telah membujuk. Inur tetap bisu di kamarnya.

Pagi, Ana mengusap matanya, suara riuh di luar telah membangunkan dia dari mimpi yang dialaminya. Dengan perlahan dia melangkah keluar. Ia melihat Ibunya sedang menari. Tapi ada yang berbeda. Ibunya menggunakan mukena putih dan celana jean yang juga putih. Ibu mulai memutarkan tubuhnya, kencang sehingga membuat mukena yang dipakainya mulai terangkat membentuk lingkaran putih yang berputar dan melambai. Tepuk tangan dan siulan orang-orang yang menyaksikannya semakin ramai.

“Ayo yang kencang lagi!”. teriak salah satu dari mereka.

Inur semakin mempercepat gerakan berputarnya. Tiba-tiba Ana tidak percaya pada penglihatannya. Inur tidak menggunakan apa-apa di balik mukena.

“Ibu …”. Teriak Ana keras. Inur menghentikan gerakannya. Dia tersenyum melihat Ana. Inur menjulurkan tangannya. Ana menggeleng. “Ayo menari, atau kamu ku pukul !”. Inur mulai marah. Ana menggeleng dan mulai berlari. Inur mengejarnya. Ana tetap berlari. Kencang, dia tidak peduli lagi pada ibunya. Dan tak lama… suara meretak setelah bunyi rem dirasakan Ana. Dia rubuh, dia melihat air mata di pipi ibunya. tapi sepi dia tidak mendengar apa-apa dan kemudian gelap.

Selengkapnya...

Peri Bertanduk Merah

Oleh Arif S

“apa di tanganmu?” Tanya Jamila pada satu hari yang berkesan, ketika aku berhasil mengajaknya ke pantai menyaksikan pemancing ikan yang berjejer di sepanjang tanggul Kuala Radja.

“Apa kabar cinta?” tanya dia melalui pesan singkat yang ku buka di handphone. Waktu itu pagi-pagi sekali, ketika ayam jantanku berkokok untuk pertama kalinya di pagi yang berembun itu. Namun tidak seperti biasa. Aku tidak bisa membalas sapa perempuan yang kerap membangunkan mimpiku. Membuat aku harus meninggalkan tidurku setiap malam untuk merangkai wajahnya di awan.


Namun selalu, setiap aku dapat menyatukan titik-titik bintang itu menyerupai wajahnya. Aku merasa begitu takut, matahari esok akan menghapus raut bintang yang melukis rupa Jamila. Dan bila begitu, aku juga benci pada si Jhon, ayam jantanku. Setiap kokoknya selalu menandakan pagi datang. Bagiku Jamila seperti peri bertanduk merah, yang pertama sekali menanyakan kabar cinta pada ku di pagi ini.

“Baik, seperti kabar yang diterbangkan burung-burung itu”. Akhirnya aku membalas. Seketika ku rasa pagiku begitu hangat, seperti jari-jari besar yang merangkulku dalam pelukan sinar mentari pagi. Aku merasakan Jamila ada, Sebagai peri bertanduk merah yang menyihir logika ku kembali ke sepuluh tahun yang lalu. Saat perasaan ganjil datang untuk pertama kali dalam hidupku di tujuh belas tahun yang manis. Aku tak mengerti, aku merasa tertarik dan selalu berkhayal berada di dekat teman sekelas ku selalu, Rossa. Gadis dengan pipi kemerah-merahan, pandai membuat puisi, memiliki mata dan dada yang indah. Tapi aku tidak pernah menyatakan rasa yang ku miliki ke dia, gadis yang terlahir di perbukitan Gayo yang sejuk itu terlalu lembut dan menggairahkan. Sampai sekarang aku tidak tahu dimana dia berada. Mungkin dia sekarang adalah seorang ibu yang baik untuk anak-anaknya yang manis.

Usia ku kini di purnama penuh, Jamila kembali membuatku merasakan khawatir, cemburu, rindu dan bermacam gundah lain bila sekali pagi saja dia lewatkan untuk menyapaku, seperti rasa yang pernah Rossa cipta. Aku merasa tak tenang. Aku selalu begitu, benci mengakui rasa yang kumiliki. Rasa tak nyaman seperti ini yang membuat aku benci jatuh cinta. Menurut Fauzan, guru menulisku di sekolah yang unik, saat aku iseng mengikuti satu kontes menulis tentang negeri ku, tentang carut marut bandit-bandit pembantai.

“Jatuh cinta membuat kita setengah gila” katanya dalam satu pertemuan. Aku mengerti, ini sebuah pengakuan. Dan aku merasakan setiap kali separuh kewarasanku terbang ketika mengingat Jamila.

***

“apa di tanganmu?” Tanya Jamila pada satu hari yang berkesan, ketika aku berhasil mengajaknya ke pantai menyaksikan pemancing ikan yang berjejer di sepanjang tanggul Kuala Radja. Aku suka melihat bayangan mereka memanjang hingga menyentuh jempol kakiku saat matahari mulai membenamkan diri di balik gunung.

“ganja, warisan moyang kita”. Aku menatap matanya, dia tidak sedang memandang laut, juga tidak menatapku dengan lintingan yang telah kuselip di bibir. Dia menengadah ke atas, saat burung-burung camar memekik mengelilingi kami.

“kau sering gunakan itu?”

“sesering aku mengingatmu”

“kita pulang” Jamila berkata tanpa gerak, kedua tangannya disilangkan di dada.

“tunggu, kita belum melihat matahari terbenam” aku coba mencegahnya.

“kita pulang”

“kau tidak ingin aku mengucapkan sesuatu pada mu saat matahari itu pergi?”

“tak penting, kau tidak akan sadar saat katakan itu” kini Jamila menatap mataku, ku lihat kilau kuning senja itu juga memantul di mata indahnya. Sungguh, aku mengagumi mata coklat Jamila yang dipayungi alis lebat. Aku selalu gugup jika mata itu menatap mataku. Aku suka wanita beralis tebal. kata nenek ku, wanita yang punya alis tebal itu setia. Alis nenek ku juga tebal, dia meninggalkan kakek ku seorang diri di tempat yang jauh. Nenek tak mau memaafkan kesalah kakek dan memilih hidup bersama anak-anaknya. Masa tua yang retak. Dan aku tidak mau punya nasib yang sama dengan kakek nantinya. Dan kedekatan ku dengan Jamila, aku sendiri tak sepenuhnya mengerti. Alis tebal, mata indah, dada yang indah juga, dan pinggul yang membentuk biola. Dan…

“Tapi aku sadar mencintai mu Jamila”

Kulihat Jamila seperti melotot ke mukaku. Kemudian dia berjalan ke arah tanggul.

“berikan itu padaku” Jamila mengulurkan tangan saat aku telah berada di sisinya. Aku ragu memenuhi, takut Jamila akan melempar lintingan itu ke laut. Tapi tidak, setelah kuberikan, Jamila mengisap lintingan itu dengan mata terpejam.

“bagaimana rasanya” aku bertanya ketika gumpalan asap berebutan keluar dari belahan bibirnya yang seksi.

“Pahit”

Aku diam, tidak ingin mengomentari. Matahari di sebelah Barat perlahan mulai merendah menyentuh puncak bukit. Laut berubah warna dan khatulistiwa menjauh. Aku merasa terayun ombak, sesekali hempasan ombak besar itu memercikkan air asin ke arah kami. Nelayan-nelayan mulai memarkirkan perahu motornya di dermaga. seorang pemancing sedang membereskan perlengkapan miliknya. Aku menatap Jamila.

“kata mu, kau tak percaya pada cinta. Tapi mengapa tadi kau ucapkan itu pada ku?” Jamila berbicara pada ku saat mata kami bertemu.

“itu dulu, waktu yang lama sebelum sebentar mengenalmu”

“kau mabuk, aku tidak mau mendengar ucapan cinta seorang pemabuk” Jamila kembali menghisap lintingan itu. Laut mulai tenang, riak-riak kecil dan kicau camar. Matahari terbenam di balik bukit membiaskan warna jingga yang romantis. Jamila kemudian duduk di sisi kiri ku.

“kau tahu. suamiku dulu seorang yang baik, dia tidak pernah merokok dan berganja sepertimu. Setiap hari dia menghabiskan waktunya di meunasah sebagai tukang sapu dan tukang azan. Dia juga sering mengikuti pengajian, benci pada perbuatan-perbuatan seperti yang kita lakukan selama ini. Menurut dia, perbuatan yang seperti ini akan mendatangkan azab Tuhan.”

Kulihat mata Jamila mulai berkaca, kilau kuning senja kini bertambah beberapa titik sebelum air mata itu membelah pipinya dan berakhir di lenganku.

Entah untuk apa dia memberi tahu ku tentang suaminya. Aku tidak pernah mau mendengar cerita tentang lelaki itu, aku tidak mengenal dia, apa peduli ku terhadap suaminya. Bagiku Jamila lebih baik untuk mengisi hari-hari yang tidak menentu seperti sekarang. Dia peri yang menolongku dari kejaran polisi. Bagi polisi mungkin dia bertanduk merah, karena menolong seorang pengedar narkoba antar provinsi. Ah, aku tidak tahu apa polisi mengetahui itu. Sekarang aku tidak punya pekerjaan setelah kurir ku ditangkap di Medan. Dari mereka polisi tahu keberadaan ku, dan Jamila yang meloloskan ku dari kejaran mereka di malam naas itu. Tiga bulan aku tinggal di huntara korban aloen buluek. Di sisi barak Jamila, Janda yang kehilangan segalanya, rumah tangga yang baru dibangun selama enam bulan lenyap disapu gelombang laut. Sekarang seluruh waktu ku hanya was-was, mengisi hari dengan menunggu bantuan dari orang-orang asing yang singgah. Pekerjaan yang telah ku rintis selama empat tahun itu musnah sudah. Bukan karena aloen buleuk, tapi polisi. Aku benci polisi dan pemerintah. Selama ini tanaman ganja yang menghidupi ku, adik ku bisa sekolah dengan daun itu, ibu dan ayah bisa ku bantu. Aku tidak tahu nasib mereka sekarang, Dek Gam, Dek Noeng. Sekolahkah mereka, makankah mereka hari ini? Aku terpaksa membiarkan rasa iba ku berlalu, perasaan yang menyebalkan karena ketidak berdayaan ku yang naif.

Jamila menyentuh pundak ku, untuk kesekian kali mata ku bertemu matanya. Aku menunduk, tak kuasa menahan geram dan sedih. Jamila pasti menyangka aku ikut sedih dengan kematian suaminya di Desember basah lalu. Biarlah, ini bisa membuat dia sedikit terhibur. Entah kenapa aku tidak tega menyakiti dia. Cintakah ini? Kubiarkan Jamila menumpahkan kesalnya.

“suamiku tidak berbuat buruk, tapi azab itu menimpanya. Laut tidak adil, aku benci laut” Jamila melemparkan sebongkah batu ke laut. Aku mengerti, dia trauma dengan amuk laut enam bulan yang lalu. Laut yang biru, tempat awal mula kehidupan dimulai. Pantai Ulee Lheu, Pantai Lhok Nga, Pulau Weh dan pulau-pulau lain di dunia ini memulai kehidupannya dari asin air itu. Dari laut kehidupan dimulai, laut pula yang membuat semua berakhir, seperti jiwa-jiwa yang mati di akhir tahun sedih itu.

“Mau tambah lagi?” ku sodorkan satu lintingan ganja lain ke Jamila. Dia tersenyum menyambut pemberian ku. Senyum khas yang selalu terekam, terputar kembali ketika sunyi ku dalam kesendirian. Ombak menyanyikan ritme yang sama dengan tempo yang berulang-ulang. Petang akan berakhir. Bulan sabit menggantung di atas hamparan laut.

“kau masih benci laut?”

Jamila membakar lintingan ganja itu, tersenyum dengan manis.

“aku benci suamiku!”

Selengkapnya...