29 Agustus, 2011

Duka Lara Gadis Algojo Khadafy

Nisreen (19) sedang menjalani 
perawatan di rumah sakit dibawah 
penjagaan ketat pemberontak
Seorang gadis algojo Khadafy, Nisreen (19 tahun), mengaku telah membantai 11 orang pemberontak. Sekarang ia diborgol di tempat tidur rumah sakit, menunggu keadilan.

MATANYA coklat besar dan bibir laksana kuncup wawar. Wajahnya dibingkai kerudung merah jambu. Namun kaki memarnya dipasangi borgol yang kemudian diikatkan ke kaki tempat tidur. Dia adalah Nisreen Mansour al Forgani, gadis cantik berusia 19 tahun, seorang pembunuh serial dari rejim Kolonel Moammar Khadafy.

Daily Mail, Minggu (28/8/2011), melaporkan, di sebuah kamar yang dijaga ketat di rumah sakit militer Matiga, Tripoli, Nisreen mengaku kepada media Inggris itu sehari sebelumnya bahwa ia telah mengeksekusi 11 orang tahanan yang dicurigai sebagai pemberontak pada hari-hari menjelang jatuhnya ibukota Libya itu pekan lalu. Mereka ditembak dari jarak dekat.

Saya membunuh yang pertama, lalu mereka akan membawa yang berikutnya ke ruangan itu," kata Nisreen. "Dia (korban) akan melihat mayat di lantai dan tampak terkejut. Lalu saya akan menembaknya juga. Saya melakukannya dari jarak sekitar semeter."

Ia hanya salah satu dari ribuan remaja perempuan dan perempuan muda yang direkrut milisi khusus perempuan Khadafy. Kini ia menjadi tawanan pemberontak dan takut hidupnya akan segera tamat. Menurut Daily Mail, terlepas dari pembunuhan yang telah dilakukannya, mustahil untuk tidak merasa kasihan padanya. Nisreen menyatakan -dan para dokternya, bahkan sejumlah tentara pemberontak percaya padanya- bahwa ia harus menembak di bawah tekanan besar. Dia juga mengaku telah mengalami pelecehan seksual oleh tokoh-tokoh militer senior, salah satunya komandan brigade elite Tripoli yang bertugas melindungi Khadafy. "Saya telah katakan kepada mereka (para pemberontak) apa yang saya lakukan," ungkapnya. "Mereka marah. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi pada saya sekarang."

Bagaimana bisa perempuan muda itu, yang dulu tinggal bersama ibunya di Tripoli dan menikmati musik dansa, menjadi sedemikian berlumuran darah tanganya?

Nisreen mengatakan, keluarganya bukan pendukung rejim Khadafy, meskipun sulit untuk memverifikasi hal itu pasca-pembebasan Tripoli. Orangtuanya berpisah ketika ia masih kecil. Nisreen tidak menyukai istri baru ayahnya. Ia memilih tinggal bersama ibunya. Salah seorang teman ibunya, seorang perempuan bernama Fatma al Dreby, merupakan pemimpin cabang milisi perempuan Pengawal Rakyat Khadafy. Tampaknya, hubungan dengan Fatma itu merupakan faktor yang menentukan.

Tahun lalu, Nisreen meninggalkan kuliahnya dengan maksud bisa merawat ibunya yang menderita kanker. Yang kemudian terjadi, Fatma merekrut dia sebagai Garda Rakyat. Keluarganya protes, tetapi Fatma tidak goyah. Nisreen yang masih muda dan cantik merupakan tipe yang mereka inginkan. "Ada sekitar 1.000 perempuan dari seluruh Libya," kenang Nisreen tentang kamp pelatihan mereka di Tripoli. "Saya di sana bersama seorang gadis bernama Faten, yang saya kenal di perguruan tinggi."

Para peserta dilatih cara menggunakan senjata, dan Nisreen dilatih sebagai penembak jitu. Pada awal pecahnya protes rakyat pada Februari lalu, dua gadis itu ditempatkan milisi di sebuah rumah mobil di dekat bandara Tripoli. Tugas utama mereka termasuk menjaga pos-pos pemeriksaan di sekitar kota. Unit mereka bermarkas di Brigade 77, bersebelahan dengan kompleks perumahan Khadafy di Bab Al-Azizya. Namun Nisreen mengatakan, dia hanya melihat diktator itu, ketika konvoi Khadafy melintasi pos jaganya.

Fatma pendukung fanatik rejim Khadafy, kata Nisreen. "Dia mengatakan kepada saya, jika ibu saya mengatakan sesuatu yang melawan Khadafy, saya harus segera membunuhnya. Jika saya mengatakan sesuatu tentang pemimpin (Khadafy) yang ia tidak suka, saya akan dipukul dan dikunci di kamarku. Dia juga mengatakan kepada kami, jika pemberontak datang, mereka akan memperkosa kami."

Itu hanya sepenggal aksi manipulasi seorang pemimpin milisi yang tak tahu malu, yang menurut Nisreen, merupakan germo yang menyediakan perempuan milisi bagi kepuasan seksual seorang rekan seniornya, seorang laki-laki. "Fatma punya kantor di markas Brigade 77. Ada sebuah kamar yang dilengkapi tempat tidur di kantor itu. Suatu hari, dia (Fatma) memanggil saya dan menempatkan saya di ruangan itu sendirian. Mansour Dau, komandan Brigade 77, kemudian masuk dan menutup pintu." Di situ Dau memerkosa Nisreen.

"Setelah itu selesai, Fatma mengatakan kepada saya untuk tidak memberitahu siapa pun, bahkan tidak juga orang tua saya," kata Nisreen. "Setiap kali Mansour datang ke markas, dia disediakan gadis yang lain oleh Fatma. Sebagai imbalan, Fatma diberikan hadiah."

Nisreen mengatakan, dirinya kemudian diperkosa putra Mansour, Ibrahim, yang juga seorang perwira brigade, serta kerabat lain komandan militer itu, yang disebut bernama Noury Saad. Menurut Nisreen, hal secama itu terjadi pada banyak gadis yang dia kenal di milisi itu. Ketika rejim Khadafy mulai ambruk, pelanggaran justru meningkat. Tragisnya, temannya, Faten, tewas dalam situasi aneh dan brutal ketika pemberontak mendekati Tripoli bulan lalu. Ketika itu, kedua gadis itu berada di sebuah pos pemeriksaan dekat kompleks Bab Al-Azizya saat putra Khadafy, Saif Al-Islam, tiba dengan rombongan. "Saif mengenakan rompi antipeluru, helm dan kacamata penerbang," kenang Nisreen. "Faten hendak melihat lebih dekat, dan pengawal Saif menembak di kepala. Hanya karena ia terlalu dekat."
***

ADA pepatah di Libya, "Penggal leherku tapi jangan biarkan seorang gadis menembak punggungku." Orang menduga, pengerahan Nisreen sebagai algojo bagi para 'pengkhianat' dimaksudkan sebagai penghinaan terakhir bagi terhukum.

Nisreen menjelaskan, ia dibawa ke sebuah bangunan di distrik Bosleem, Tripoli. Ia lalu dimasukkan ke dalam sebuah ruangan dan dipersenjata senapan AK 47. Di sana, seorang tentara perempuan kulit hitam dalam seragam biru menjaga dan mencegah dia melarikan diri. "Para tahanan pemberontak diikat dan ditaruh di bawah sebuah pohon," katanya. "Lalu satu per satu mereka dibawa ke ruangan itu. Di situ ada juga tiga relawan Khadafy bersenjata. Mereka bilang pada saya, jika saya tidak bunuh para tahanan, mereka akan bunuh saya."

Dia mulai menangis. "Beberapa dari para tahanan tampaknya telah dipukuli. Yang lain dipukul di depan saya di dalam ruangan itu. Mereka tidak berbicara. Saya tidak ingat wajah mereka, kebanyakan usianya kira-kira seusia saya."

Dia menyeka matanya, lalu menatap luka di sikunya. "Saya coba untuk tidak membunuh mereka. Saya berbalik dan menembak tanpa melihat. Tapi kalau saya ragu-ragu, salah satu dari tentara itu akan menaikkan senjatanya dan mengarahkannya ke saya. "Saya membunuh sepuluh, mungkin 11, selama tiga hari," katanya. "Saya tidak tahu apa yang mereka telah lakukan." Nisreen meratap, "Saya tidak pernah menyakiti siapa pun sebelum pemberontakan dimulai. Dulu saya punya kehidupan normal."

Gadis itu akhirnya lolos dengan melompat dari jendela kamar lantai dua di mana dia melaksanakan pembunuhan tersebut. Meski cedera dalam proses melompat itu dan kemudian ditabrak sebuah truk pick-up, ia berhasil keluar dari kompleks tersebut. "Saya ditemukan sejumlah orang anti-Khadafy yang kemudian membawa saya ke sebuah masjid dimana saya diberi air," katanya. "Lalu saya dibawa ke sini."

Dua tentara berjaga-jaga di luar pintu kamar tempat dia dirawat. "Kami di sini untuk melindunginya serta untuk mencegah dia melarikan diri," kata salah seorang penjaga itu.

Seorang perempuan yang mengenakan jas putih, mungkin dokter, memasuki ruangan. Dia mulai berbicara serius dengan Nisreen, yang langsung menangis. Perempuan itu seorang relawan medis yang datang untuk menceramahi 'gadis penembak jitu itu'. "Bagaimana mungkin hati nurani Anda membiarkan Anda membunuh orang-orang itu, hanya untuk Khadafy?" seru dia.

Perempuan itu meninggalkan ruangan dan seorang tentara pemberontak masuk. Usianya tidak lebih tua dari Nisreen. Senapan tersandang di bahunya. Tentara muda itu bersandar di ujung ranjang dan mengobrol dengan gadis itu. "Apakah kamu berdoa?" tanyanya. "Dulu," kata Nisreem. "Pada waktu kapan kamu membunuh mereka?" "Pada pagi hari." Air mata Nisreen mulai mengalir lagi. Tentara itu berbalik kepada wartawan Daily Mail dan bertanya, "Jika seorang gadis membunuh 11 orang di negara anda, apa yang akan anda lakukan?"

Wartawan Daily Mail bertanya, apakah ada keluarganya yang tahu dia dirawat di rumah sakit itu atau apa yang telah terjadi padanya. "Tidak," jawabnya. Dia lalu memberi nomor telepon kerabat yang masih ada di Tripoli. Daily Mail menelepon mereka dan, akhirnya, ada jawaban dari ibu tirinya.

"Saya di rumah sakit Matiga," kata Nisreen kepadanya. "Tolong, tolong datang dan jemput saya." Dia mengernyit dan berjuang melawan hambatan pada pergelangan kakinya. "Tetap diam. Jangan katakan apa pun pada mereka," begitu terdengar suara ibu tirnya di ujung telepon. Akhirnya ibu tiri dan saudara Nisreen muncul. Namun mereka hanya tengok sebentar. Mereka tidak tampak terkejut ketika melihat ada penjaga remaja bersenjata di pintu.

Nisreen dirawat Dr Rabia Gajum, seorang psikolog anak Libya yang bekerja sukarela di rumah sakit Matiga itu. "Nisreen itu korban juga," katanya. "Kakaknya mengatakan kepada saya bahwa keluarganya mencoba untuk mengluarkannya dari markas Brigade 77, tetapi diancam tentara. Semua gadis di Garda Rakyat diperkosa. Para pria secara seksual menyerang mereka dan kemudian melatih mereka menggunakan senjata. Kami punya empat perempuan di sini sebagai pasien, semua dilatih sebagai penembak jitu seperti Nisreen. Kami beri mereka perawatan medis. Setelah itu menjadi masalah pemerintah baru tentang apa yang harus dilakukan terhadap mereka."

Dia menambahkan, "Nisreen mengalami cedera panggul dan mengalami luka parah. Dia membutuhkan istirahat panjang di tempat tidur dan konseling psikologis. "Apa yang kami akan katakan kepada orangtuanya, saya tidak tahu. Ibunya mendapat pengobatan untuk kanker tenggorokan di Tunisia. Ayahnya sakit dan berada di kursi roda dan tidak tahu apa yang telah terjadi."

Menurut Daily Mail, dokumen-dokumen pribadi yang ditemukan di markas Brigade 77 membuktikan bahwa Nisreen memang berada ada di sana dan dokumen-dokumen itu mendukung banyak detail yang ia ungkapkan. Namun satu-satunya bukti kekejaman di mana ia terlibat hanya datang dari bibirnya sendiri, karena distrik Bosleem masih belum diamankan pemberontak.

Mata Nisreen indah tetapi tatapannya benar-benar kosong. Mungkin karena pengaruh shock atau obat penghilang rasa sakit atau keduanya. Namun setidaknya dia masih hidup.

Di seberang kota itu, di rumah sakit di kawasan Abu Salim, tempat horor terjadi pada akhir pekan ini, sejumlah mayat ditinggalkan membusuk di bawah sinar matahari. Orang harus mengenakan respirator sebagai satu-satunya cara untuk bisa bertahan saat berjalan di antara orang-orang mati itu. Di antara mayat-mayat yang membusuk dan penuh lalat itu terdapat sejumlah kartu identitas. Dua dari mereka diketahui bernama Mahaamat Cherif (21 tahun) dari Chad dan Saidou Massatchi (31 tahun) dari Niger. Mereka tidak akan pulang ke rumah. Tidak seperti Nisreen, mereka bahkan tidak bisa menjelaskan mengapa mereka berjuang untuk Khadafy. Sumber: Kompas.com




Selengkapnya...

Kemenag: Masyarakat Diminta Tunggu Sidang Itsbat malam ini

Oleh Agung Vazza

Kementerian Agama meminta masyarakat menunggu sidang itsbat yang akan dilaksanakan pada Senin 29 Agustus 2011 malam, untuk mengetahui kapan pemerintah menetapkan jatuhnya Idul Fitri 1432 Hijriah.

"Bagi yang tidak berpuasa pada 30 Agustus diminta juga menunggu tanggal 31 Agustus untuk merayakan Idul Fitri," kata Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam, Prof Dr Nasaruddin Umar di Jakarta, Ahad (28/8)

Soal tanggal merah 30 dan 31 Agustus di kalender 2011, menurut dia, hanyalah perkiraan, tetapi masyarakat seharusnya sudah tahu bahwa untuk merayakan Idul Fitri harus menunggu keputusan Sidang Itsbat yang dihadiri berbagai pimpinan Ormas Islam.

Soal Muhammadiyah yang telah menetapkan Idul Fitri pada 30 Agustus, menurut dia, tidak semua umat Muhammadiyah akan berlebaran pada 30 Agustus, karena sebagian tetap mengikuti pemerintah. Ia mengimbau agar Lebaran ganda ini tidak membuat umat Islam terpecah-belah, karena persatuan umat hukumnya adalah wajib. Sumber: republika.co.id



Selengkapnya...

Komunitas Habib Muda Seunagan Lebaran Senin

Komunitas Habib Muda Seunagan, menetapkan hari pertama lebaran Idul Fitri 1432 H/ 2011 M, jatuh pada hari senin (29/8) setelah berpuasa 30 hari penuh.

Pengemuka Komunitas Habib Muda Seunagan Teuku Raja Kumbangan yang dihubungi dari Meluaboh, minggu, mengatakan penetapan tersebut setelah melakukan isbath atau rapat penetapan dengan sejumlah pengemuka komunitas tersebut.

"Kami Lebaran karena telah menyelesaikan puasa Ramadhan selama 30 hari penuh dan keputusan ini juga setelah melakukan perundingan dengan seluruh pengemuka di kalangan kami," katanya.

Cucu kandung (Alm) Habib Muda ini menyatakan salat Idul Fitri dilaksanakan di Mesjid tua Abu Habib Muda, Kecamatan Seunagan Timur. Khatib adalah mantan kepala Dinas Syariat Islam Kabupaten Nagan Raya H.Said Hamazali.

Dia mengemukakan kecamatan tersebut merupakan induk penganut Abu Peulukung.

Komunitas tersebut, katanya, selalu melaksanakan puasa Ramadhan dua hari lebih awal dari muslim lain di dunia.

"Alasannya, demi berhati-hati tidak kecolongan bilangan hari puasa, demikian halnya lebaran juga dua hari lebih awal karena telah menyempurnakan 30 bilangan hari puasa," kata Teuku Raja Kumbangan. Sumber: AntaraNews




Selengkapnya...

35 Orang Diterjunkan untuk Menentukan 1 Syawal

Sebanyak 35 orang akan diterjunkan dalam penentuan hari lebaran 2011 atau 1 syawal 1432 Hijirah dengan mengamati hilal pada 16 titik yang telah ditentukan.

Jumlah sebanyak itu merupakan gabungan dari Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo), Observatorium Bosscha, Rukyatul Hilal Indonesia, Lapan, serta sejumlah Perguruan Tinggi.

"Sedangkan untuk pengamatan hilal akan dilakukan pada 29 dan 30 Agustus 2011 mulai pukul 16.00 WIB," kata peneliti observatorium Bosscha Bandung, Deva Octavian saat dihubungi wartawan, Minggu (28/8/2011).

"Secara prinsip kerja dalam penentuan hari awal puasa dengan Lebaran atau 1 syawal tidak ada bedanya karena sama-sama mengamati hilal," ujarnya.

Jumlah personel di titik pengamatan hilal untuk penentuan 1 syawal 1432 Hijriah lebih banyak dari pada pengamatan hilal untuk menentukan awal Ramadhan yang hanya melibatkan 30 orang untuk 14 titik saja.

Disampaikannya, Kemenkominfo memang sengaja memperbanyak jumlah titik pengamatan hilal, hal itu karena lebih mempermudah pengamatan dan menjamin ketepatannya. Karena bisa jadi, pengamatan yang dilakukan di suatu daerah terhalang, tapi di daerah lainnya bisa dilakukan.

Hanya saja pada tahun ini, instrumen alat yang digunakannya lebih sederhana yakni menggunakan teleskop yang terintegrasi dengan webcam.

Meski sederhana, akan tetapi kualitas yang didapatkannya tidak menurun sama sekali. Dengan begitu, masyarakat bisa merelay video streaming hilal Ramadhan dan Syawal dari website Kemenkominfo yang diterima dari beberapa titik lokasi pengamatan yang telah ditentukan.

"Adapun titik titik pengamatan tersebut mulai dari kawasan Biak Papua, Kupang, Makasar, Mataram NTB, Bangkalan, Potianak, Yogyakarta, Lampung, UPI Bandung, Pameunpeuk Sumedang, Pekanbaru Riau, Lhokngah Aceh, Denpasar, Medan, dan Pelabuhaan Ratu Sukabumi," ujarnya.

Dijelaskannya, hilal merupakan penampakan bulan sabit muda yang terlihat dari permukaan Bumi setelah konjungsi atau ijtimak. Banyak kegiatan penting keislaman mengambil dasar posisi Bulan di langit, seperti tahun baru Hijriah, awal puasa Ramadhan, hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.

"Dengan demikian dipandang penting untuk menyebarluaskan informasi awal bulan baru yang ditandai oleh tampakan hilal," kata Deva. Sumber: Kompas


Selengkapnya...

28 Agustus, 2011

Abu Sanusi Minta Gambit Cs Tak Lakukan Kriminal

Abu Sanusi: Mantan petinggi GAM
LANGSA – Seorang mantan petinggi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Peureulak, Abu Sanusi menyerukan kepada semua mantan kombatan GAM untuk tidak melakukan aksi-aksi yang mengarah kepada tindakan kriminal.

“Kita sedang menikmati masa-masa damai yang indah, dan ini adalah anugerah Allah yang paling besar kepada kita rakyat Aceh. Kita semua harus menjaga dengan penuh keikhlasan,” kata Abu Sanusi menjawab Serambi, Jumat (26/8) malam, usai berbuka puasa di kediaman Bupati Aceh Timur, Muslim Hasballah di kawasan Paya Bujok, Langsa.

Penegasan Abu Sanusi tersebut terkait dengan serangkaian aksi menghebohkan yang dilakukan Gambit cs dengan menyerang sejumlah fasilitas politisi Partai Aceh (PA), dengan alasan menuntut keadilan.

Terkait dengan itu, Abu Sanusi mengingatkan para mantan GAM, terutama Gambit cs untuk tidak melakukan aksi-aksi yang bisa merugikan rakyat Aceh. “Karena dari dulu kita berjuang untuk rakyat, jadi jangan sekali-kali membuat mereka (rakyat) menjadi resah karena kita,” tandas Abu Sanusi.

Pendapat lain disampaikan Bupati Aceh Timur, Muslim Hasballah. Menurut Muslim, untuk merehabilitasi semua komponen termasuk sumber daya manusia di negeri pascaperang, paling tidak membutuhkan waktu minimal 20 tahun. “Masa enam tahun rasanya masih sangat singkat dibandingkan dengan konflik yang melanda Aceh dalam tiga dasawarsa,” kata Muslim.

Bupati Muslim menekankan pentingnya proses penyatuan di kalangan elit dalam memperjuangkan kepentingan rakyat Aceh. “Jika Gubernur, DPRA, dan mantan GAM bersatu, semua akan lebih mudah dalam memperjuangkan hak-hak rakyat yang belum terpenuhi,” demikian Muslim Hasballah.http://aceh.tribunnews.com




Selengkapnya...

Warga Aceh di Denmark Buka Puasa Bersama

Laporan Tarmizi Age

Anwar Omar/ WAA Logistic
Denmark – Masyarakat Aceh yang menetap di Negara Denmark hari ini sabtu 27 Agustus 2011, akan berkumpul di sebuah lokasi berdekatan kota Aalborg ”Gl. lindholm skole, lindholmsvej 65, 9400 Nørresundby – Aalborg, Denmark” dalam rangka buka puasa bersama dan silaturrahmi, demikian tulis Anwar Omar (WAA Logistic) dalam undangan yang di sebarkan melalui jaringan internet dan lisan kepada masyarakat Aceh Denmark.

Untuk melengkapi acara buka puasa pada hari ini, warga yang hadir akan turut membawa berbagai makanan berbuka dari rumah, selain persedian kusus yang di persiapkan di lokasi, kata Anwar Omar yang berharap agar semua masyarakat Aceh Denmark bisa hadir pada acara buka puasa bersama ”Masyarakat Aceh Denmark” yang di fasilitasi WAA.

Jika kita berpandukan pada kalender ramadhan di www.islamicfinder.com/ waktu ibadah puasa di kota Aalborg hari ini sabtu 27 ramadhan, waktu berbuka bergeser (lebih awal) sekitar satu jam jika di bandingkan dengan hari pertama berpuasa, begitu juga waktu sahur yang bergeser (lebih telat) melebihi setengah jam, hal tersebut bisa kita lihat dari imsakiah ramadhannya, yaitu pada hari pertama ramadhan Fajar 2.55 pagi, dhuur 1.27, asar 5.44, magrib 9.35 dan isha 11.44, sedangkan untuk hari ini sabtu (27 ramadhan) - Fajar jam 3.31 pagi, dhuhur 1.22 tengah hari, asar 5.12,magrib 8.32, dan isha 11.01 menit malam, dengan demikian sudah tentu waktu berpuasa di Denmark lebih panjang dari berpuasa di Aceh.

Bagi masyarakat Aceh di Denmark waktu berpuasa yang panjang sudah tidak menjadi halangan, apa lagi hal tersebut merupakan kewajiban yang di laksanakan setiap tahun oleh ummat Islam di manapun berada.

Ada juga sebahagian warga Aceh yang ambil cuti kerja selama subulan di bulan ramadhan untuk bisa menjalankan ibadah dengan tenang bersama keluarga.

Untuk di ketahui, ada ratusan rakyat Aceh tersebar di Negara Denmark, mereka mendapat suaka politik akibat konflik yang panjang di Aceh, namun ada juga yang sudah pulang ke Aceh setelah perdamaian di tanda tangani GAM – RI di Helsinki 15 Agustus 2005.

*)Tarmizi Age adalah Koordinator World Achehnese Association di Denmark



Selengkapnya...

27 Agustus, 2011

Rita, Srikandi dari Göttingen

Oleh Zainal Bakri

Cuaca begitu dingin pagi itu. Suhu mendekati minus 13 derajat celcius. Hampir seluruh warga Kota Göttingen, Jerman, masih terlelap di bawah selimut tebal. Jalan jalan juga masih sepi. Belum terlihat ada kendaraan yang melintas.

Di salah satu kota, seorang perempuan muda sedang mengayuh sepeda di pagi buta. Ia berjuang melajukan sepedanya, ditengah tebalnya salju yang membalut setiap jengkal jalan.

Asap mengepul dari mulut dan hidungnya. Desah nafasnya terdengar hingga beberapa meter. Sesekali ia menghentikan sepedanya, dan merogoh koran yang terbalut plastik dari kantong yang terikat di bagian belakang sepeda. Satu persatu koran itu dilemparnya ke arah pintu rumah pelanggan. 

Meski hampir seluruh tubuhnya terbalut jaket tebal, namun ia masih merasakan hawa dingin, menusuk hingga ke sendi-sendi tulang. Perempuan itu hanya menyisakan separuh wajahnya tersentuh salju. Namun ia tak terlihat lelah. Dua jam berkeliling dengan sepeda, ia tuntas mengantar koran ke semua pelanggan. “Alhamdulillah, akhirnya selesai juga. Saatnya kembali ke rumah untuk shalat shubuh dan bersiap kuliah,” katanya dalam bahasa Indonesia. Perempuan berkulit kuning langsat ini bernama Rita Khathir, kelahiran Banda Aceh, 1 Desember 31 tahun silam.

Menjadi loper di negara eropa seperti Jerman, sesungguhnya bukan pekerjaan yang gampang bagi pendatang. Waktu bekerja di pagi buta, dalam suhu yang tidak normal, merupakan salah satu tantangannya. Tantangan terberat ketika musim dingin tiba. Pernah suatu kali, katanya, Kota Göttingen, mengalami musim dingin terparah. Suhu di pagi hari ketika itu berada pada angka minus 24 derajat celcius. Tak terbayang bagaimana menjalani kehidupan dalam cuaca yang begitu dingin, melebihi suhu di dalam kulkas.

Dalam cuaca seperti itu, es hampir menutupi seluruh bagian kota. Beberapa kali ia pernah mengalami kecelakaan ketika mengantar koran. Ia terjatuh dari sepeda, hingga kakinya membiru. Di waktu yang lain, sebuah kecelakaan kecil menimpa sepedanya. “Penutup ban belakang saya terlipat dan masuk ke dalam roda. Sementara saat itu musim dingin dengan suhu minus 4 derajat celcius. Sebenarnya air mata saya sudah mulai berlinang sedikit, namun saya sadar itu bukan solusi dan bukan saat yang tepat untuk menangis. Akhirnya saya menelpon taxi dan pulang membawa sepeda plus koran-koran yang belum terbagi,” ungkapnya.

Dalam sepekan, ia bekerja sebagai loper koran sejak Senin hingga Sabtu. Hari Minggu ia mendapat jatah libur ditambah pada hari-hari libur nasional Jerman. “Setiap hari saya bekerja antara 1,5 hingga dua jam dengan penhasilan rata-rata antara 350 hingga 400 euro. Satu euronya sekitar 12 ribu rupiah,” katanya sembari tersenyum. Pekerjaan itu sudah ditekuni Rita selama 2,5 tahun.
Rita bukan lah seorang loper koran murni. Ia mahasiswa S3 pada Universitas Georg August, Göttingen. Mantan delegasi Unsyiah pada lomba Fahmil Quran Tingkat Nasional di Solo (1999) ini juga meraih gelar master di universitas yang sama tiga tahun yang lalu.

“Menjadi loper hanya mengisi waktu agar lebih bermanfaat. Apa lagi aktifitas di pagi hari sangat bagus bagi kesehatan. Jadi kegiatan ini tidak semata-mata karena alasan finansial. Saat ini saya sedang sibuk menyiapkan ujian akhir doktoral. Doakan saya ya?,” katanya ketika itu. Studi S3 yang ditempuhnya atas beasiswa dari Direktorat PendidikanTinggi, Kementerian Pendidikan Nasional.

Rita menyebutkan, untuk menghadapi ujian akhir, ia meminta agar ayah dan ibunya datang ke Jerman. Kehadiran keduanya dirasakan akan memberi semangat lebih untuknya berjuang. ““Saya akan menghadirkan ayah dan ibu ke Jerman untuk melihat ujian sidang dan menghadiri wisuda,” paparnya dengan mata berbinar. Tiket pesawat Banda Aceh – Frankfurt untuk ayah dan ibu juga sudah dipesan dengan uang dari hasil jual koran, meski orang tuanya mampu untuk membayanya sendiri. Ternyata untuk itulah selama ini dia mengumpulkan tabungan dari bekerja keras sebagai loper koran. Ia bahkan memberi kejutan perjalanan ke London, yang diketahuinya menjadi impian sang Ayah sejak lama.


Saat ini, ia sudah sah membubuhkan gelar Phd di belakang namanya. Rita yang berhasil lulus sebagai dosen Fakultas Pertanian Unsyiah pada usia 23 tahun, sekaligus menjadi dosen termuda Unsyiah ketika itu, sudah menjalani ujian doktoral pada 13 Juli 2011 dan diwisuda pada 29 Juli. Desertasinya berjudul; Pengontrolan serangga hama gudang Oryzaephilus surinamensis pada gandum dengan menggunakan energi gelombang mikro. Gadis muslimah yang selalu tampil bersahaja itu mengambil studi tentang Keteknikan Pertanian Pasca Panen.

***

Sejak kecil, putri dari pasangan Drs H Rusli Ibrahim dan Dra Hj Armanusah Ali ini memiliki banyak prestasi. Sebagai anak perempuan tunggal dengan 3 saudara laki-laki, ia mengaku memiki sifat tomboi. Namun Rita kecil justru tumbuh mandiri dan selalu belajar menyelesaikan masalahnya. “Ayah mengirimkan saya ke sekolah madrasah selama 12 tahun secara konsisten, saya rasa karena itu saya boleh memahami agama Islam dan berusaha mengaplikasikannya. Saya tidak tomboi secara penampakan luar,” ujarnya sambil tersenyum.

Hampir pada semua jenjang sekolah, Rita selalu tampil sebagai juara. Walau kadang tak bisa juara satu, posisi kedua pasti menjadi miliknya. Sekolah dasar dan menengah lanjutan pertama ditempuhnya di MIN dan MTsN Tungkob, Darussalam. Sementara tingkat atas ia memilih di MAN I Banda Aceh. Sejak usia belasan tahun, dia sudah mulai mengajari anak anak sedesanya mengaji. “Setiap lebaran saya harus duduk di rumah menunggu anak-anak itu, mereka akan mengunjungi ummi kecil untuk sungkem, he he. Padahal saya juga masih kecil dan tidak bisa memberikan mereka ampau,” kenangnya.

Selesai menamatkan MAN tahun 1997, Rita melanjutkan kuliahnya pada Fakultas Pertanian Unsyiah. Sebenarnya ia ingin menjadi seorang dokter dengan memilih kuliah di Fakultas Kedokteran. Tapi dalam sebuah diskusi dengan ayahnya, ia menjadi paham bahwa kuliah di kedokteran akan membutuhkan biaya besar. “Lalu saya meminta sang ayah untuk memilihkan bidang studi lain, dan akhirnya beliau memilih Teknik Pertanian dengan pertimbangan bahwa ilmu yang diperoleh juga bisa digunakan untuk membangun kampung kami kelak,” ceritanya.

Nasib baik memang memihak padanya. Tak butuh waktu lama untuk mencari pekerjaan. Setelah menyelesaikan kuliah di tahun 2002 dengan predikat cum laude, ia melamar sebagai tenaga dosen pada almamaternya dan lulus. Ia diterima sebagai dosen dengan status PNS tepat tanggal 1 Desember 2002. “Ayah bilang ke saya, itu jadi kado ulang tahun saya yang ke 23,” ujarnya.

Empat tahun mengajar, keberuntungan lain pun menyambanginya. Ia mendapat beasiswa dari Lembaga DAAD Jerman untuk melanjutkan studi program master di Fakultas Pertanian Universitas Georg August, Göttingen, Jerman. Menerima konfirmasi kelulusan untuk studi S2 di Jerman, membuat perasaan Rita bercampur aduk. Ia merasa gembira sekaligus gundah. Bahagia karena tak semua bisa mendapatkan kesempatan seperti itu. Tapi ia juga khawatir, hidup di negeri yang memiliki kaum muslim minoritas.

“Selama ini saya mengawal diri dengan susah payah. Semua aktivitas yang saya lakukan harus selalu memberikan kontribusi positif. Saya jarang menonton televisi. Selalu menghadiri pengajian rutin, tak pernah keluar malam dan berteman dengan kawan-kawan yang shalehah. Teman-teman mencandai saya sebagai anak yang berusaha hidup pada jalan yang lurus,” katanya.

Di tengah kegalauan itulah, ayahnya memberikan motivasi yang mengubah kebimbangannya menjadi sebuah keyakinan. “Kami ingin anak kami yang shalehah menjadi seorang ilmuwan,” kata ayahnya ketika itu. Akhirnya ia pun berangkat dengan tekad bulat, melanjutkan sekolah sebagai persembahan kepada kedua orang tua. Tepat dua tahun, ia meraih gelar master dan langsung melanjutkan program S3 pada universitas yang sama atas beasiswa Dikti Kemendiknas.

“Tapi perjuangan belum selesai, apa yang saya dapat harus bisa membahagiakan orang tua dan bermanfaat bagi orang lain,” kata Rita suatu pagi melalui saluran telepon internasional. [Sumber: Aceh Voice]






Selengkapnya...

26 Agustus, 2011

‘Birahi’ Elit Aceh Kacaukan Pemilukada

Oleh Chairul Sya'ban

Foto: Chairul Sya'ban
PEMILUKADA Aceh tahun 2011 banyak menyita energi  menyusul terjadinya tarik-menarik antar penguasa. Dua kutub berseteru, Pemerintah Aceh dibawah komando Gubernur Irwandi Yusuf dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) yang dominan dikuasai Partai Aceh (PA). Bagaimana dengan posisi Komisi Independen Pemilihan (KIP) yang justru berada di antara keduanya?


KIP pun bagai di ujung tanduk. Tindakan DPRA membentukPanitia Khusus (Pansus) menjadikan KIP layaknya 'tersangka' dalam konflik regulasi Pemilukada ini. Sikap DPRA tersebut dinilai banyak pihak terlalu mengada-ngada, bahkan cederung menempatkan KIP bekerja di bawah tekanan (pressure).


KIP adalah lembaga mandiri, tidak boleh DPRA bersikap sekonyong-konyong. Kendati harus diakui fungsi dewan salah satunya adalah sebagai pihak pengawasan. Namun, sekaitan pelaksanaan Pemilukada adalah kewenangan KIP sepenuhnya. “Jadi, DPRA tidak punya kewenangan untuk menunda Pemilukada itu.”

Dalam pekan-pekan terakhir ini menggambarkan sebuah performa perpolitikan Aceh kini penuh intrik dan gejolak. Inikah dinamika politik ureung Aceh yang konon katanya memiliki kiblat pluralis alias luar negeri ? Karena banyak produk hukum dalam negeri terkesampingkan, bahkan tak terpakai sama sekali.

Kembali pada pokok kerja penyelenggara, dimana tugas dan kewenangan serta kewajiban Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, yang tidak satu poin pun menyebutkan adanya perihal melahirkan regulasi Pemilukada. Kecuali pengaturan Juklak dan Juknis tahapan pelaksanaan serta sejumlah keputusan serangkaian perhelatan pesta lima tahunan itu untuk ditaati dan dipatuhi para pihak.

Tapi apa dinyana, kenyataannya disaat pihak-pihak yang berkepentingan dan memiliki andil dalam menentukan—melahirkan aturan (regulasi—red) malah justeru “mengumandangkan” adanya konflik regulasi yang menghanyutkan lembaga KIP ke “lumpur hidup” dan “kubang kotor” sehingga tugas dan kewajiban sebagai penyelenggara tergadaikan untuk memenuhi “birahi” elit di Bumi Seuramoe Mekah, ini.

KIP sebagai lembaga penyelenggara yang independen telah menetapkan tahapan-tahapan sesuai amanah peraturan dan perundangan-undangan yang berlaku saat ini. Tiba-tiba KIP harus menghentikan kegiatannya, yang saat ini cukup populer dengan istilah cooling down atau jeda Pemikukada.

Pada satu sisi, ada elemen masyarakat yang menilai KIP telah menjalankan tugas dan kewenangan serta kewajiban secara baik dan benar. Tapi, apa lacur perjalanan yang coba dilakoni KIP di atas rel yang diperintahkan Undang-Undang Pemerintah Aceh (UUPA) harus terhenti dikarenakan keinginan elit-elit Aceh dengan berbagai alasan dan kepentingannya.

Seperti apa yang disampaikan Ketua PKS Aceh Ghufran Zainal Abadin. Dimana penundaan Pemilukada Aceh sesuatu yang penting. Menurutnya permintaan penundaan Pemilukada tahun 2011 ini untuk mencegah terjadinya konflik dan memberi waktu kepada pihak-pihak yang terlibat guna mencari solusi dan bisa keluar dari konflik regulasi. Penundaan Pemilukada juga penting untuk meminta Pemerintah Pusat mencari solusi terkait kisruh politik di Aceh.

Pemaksaan pelaksanaan Pemilukada di tahun 2011 dalam kondisi seperti sekarang, dinilai rentan terhadap terjadinya konflik, sehingga butuh situasi politik yang tenang agar Pemilukada berlangsung aman dan damai nantinya.

Lebih lanjut Ghufran mengatakan, penundaan Pemilukada tidak dikarenakan Partai Politik (Parpol) takut terhadap calon perseorangan dari incumbant. “Kita tidak bicara kalah menang di sini, tetapi ini demi kelangsungan damai di Aceh,” cetusnya.

Sedangkan dari Partai Demokrat Aceh punya alasan lain seperti yang disampaikan Mawardy Nurdin. “Kalau situasi yang panas dilanjutkan dengan pelaksanaan tahapan Pemilukada, kondisi damai yang telah dirasakan masyarakat Aceh selama lima tahun ini bisa berubah seperti masa konflik,” seru Mawardy yang juga Walikota Banda Aceh, itu. Juru Bicara Pertemuan Silaturrahmi Lintas Parpol mengetengahkan, bahwa jeda Pemilukada 2011 ini penting dilakukan menyusul kondisi perpolitikan Aceh yang kian bersuhu tinggi.

Senada dengan Mawardy Nurdin, Juru Bicara Parta Aceh, Fachrurazi mengatakan, berbagai isu regulasi Pemilukada di Aceh telah memunculkan eskalasi politik dan melibatkan para pihak berseteru. Terutama setelah DPRA mensahkan Qanun Pemilukada beberapa waktu lalu, namun ditolak mentah-mentah oleh Pemerintahan Aceh.

Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf melihat produksi qanun yang dibidani DPRA itu sarat kepentingan sepihak, banyak pasal bertolak belakang dengan UU dan UUD 1945, sebagaimana salah satunya yang tanpa mengakomodir calon peserta Pemilukada Aceh dari jalur perseorangan.

Semua alasan dan pertimbangan, pihak yang meminta Pemilukada ditunda ternyata tidak bisa diterima elemen sipil seperti apa yang disampaikan aktivis Barisan Muda Mahasiswa Atjeh (BM2A) Aceh Utara dan Lhokseumawe. Elemen sipil tersebut berunjuk rasa di Bundaran Harun Square, Lhokseumawe, Kamis (21/7). Mereka meminta Pemilukada Aceh 2011 tidak ditunda. “Aceh bukan milik Parpol dan elit Aceh,” seru BM2A lewat spanduk dan poster-poster yang diusungnya.

“KIP teruskan kerjamu. Pemilukada milik rakyat, bukan milik Parpol.” Kalimat-kalimat sindiran dan hujatan yang dikomandangkan BM2A ini sepatutnya tidak dianggap enteng, karena BM2A merupakan gerakan rakyat dan elemen sipil yang juga memiliki kekuatan besar. Dalam unjuk rasa BM2A meminta Presiden RI, Mekopolhukam, Mendagri, KPU dan KIP Aceh memperkuat komitmen dalam menjalankan Pemilukada Aceh tepat waktu, adil dan demokratis sesuai perundang-undangan yang berlaku.

Lebih lanjut meminta DPRA taat pada azas hukum, menolak pernyataan Forum Lintas Parpol yang mengusulkan Pemilukada ditunda. Dan, meminta pihak keamanan menindak tegas pihak yang merusak perdamaian Aceh. Bagi mereka, penolak Pemilukada adalah penghancur perdamaian Aceh.

Pada kesempatan lain, Juru Bicara Presidium Young of Development Aceh (PYDA), Teuku Faisal SH punya pandangan lain. Dia memberikan pendapat bahwa tidak ada konflik regulasi, itu hanya alasan yang dicari-cari. Sebagaimana dalam banyak pandangan para elemen sipil, bahwa DPRA dan pihak partai di Aceh saat ini lebih mementingkan birahi politiknya ketimbang ikhwal lain sekaitan hajatan hidup rakyat banyak.

“Bukankah pluit permainan sudah dibunyikan, masa pemain disuruh berhenti. Seharusnya sebelum tahapan Pemilukada dimulai, pihak-pihak memiliki otoritas membuat regulasi melaksanakan kewenangan,” cetus Teuku Faisal seraya menandaskan, lebih anehnya lagi para pemainnya itu ikut menghalang-halangi wasit (KIP—red) dalam menjalankan fungsi dan tugasnya.

Ingat, KIP adalah penyelenggara yang independen. Tak boleh diintervensi oleh siapapun, termasuk presiden sekalipun DPRA menganggap KIP Aceh hasil produknya. “Padahal mereka (DPRA—red) lah hasil produk KIP, dan DPRA sudah salah kaprah,” tambah Faisal yang juga mantan aktivis mahasiswa, itu.

Selanjutnya dia menjelaskan, seyogyanya Pemerintah Aceh dan DPRA pada jauh-jauh hari memprioritaskan pembahasan dan menyelesaikan Qanun Pemilukada. “Jika Qanun (Pemilkuda—red) dapat disepakati kedua belah pihak (Pemerintah Aceh dan DPRA—red) dengan koreksi Mendagri RI untuk menjadi Lembaran Negara maka Qanun Aceh No. 7 Tahun 2006 tidak lagi digunakan KIP.

“Namun, karena Qanun baru itu gagal produk, maka tentu saja KIP wajib mempedomani pada Qanun Aceh Nomor 7 tahun 2006 itu” tandas Faisal yang juga Ketua Kaukus Pemuda Pantai Timur, itu.

Dia juga memberikan penilaian perdebatan (konflik) regulasi, bukan lah ranah KIP sebagai penyelenggara. “Saya kira KIP menjalan aturan dan perundang-undang yang berlaku saat ini. Jadi kalau KIP harus menunggu Qanun baru yang terkait Pemilukada, bisa dianggap lalai tidak melaksanakan tugas dan kewajiban dalam menghadirkan KDH (Kepala Daerah) setiap periode 5 tahunan,” katanya.

“Inilah yang kita sesalkan, dimana perilaku elit politik saat ini lebih mementingkan kekuasaan dari pada melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Apa yang dilakukan elit politik itu tidak ubahnya dengan perilaku politik palsu. Jika politik palsu terus dibiarkan, demokrasi kian rapuh," sesalnya.

Lebih lanjut dia mengatakan manuver-manuver politik elite Aceh sekarang ini justeru semakin menimbulkan tanda tanya. Dimana para elit hanya berjuang untuk kepentingan pribadi dan kelompok masing-masing, tanpa menimbang baik-buruknya bagi Aceh secara keseluruhan.

“Kesan haus kekuasaan lebih menonjol ketimbang upaya merawat perdamaian Aceh yang sudah terjaga selama ini,” sergah Faisal seraya menandaskan, apa yang dibuat tokoh Parnas dan Parlok merupakan hal yang sah-sah saja, tapi terkesan seperti menghalalkan segala cara. “Kekuatiran masyarakat tidak akan ikut memilih pada Pemilukada tahun 2011 kali ini, jika perilaku elit politik masih mengedepankan kepentingan pribadi dan kelompok,” jelasnya.

Sepertinya pandangan yang disampaikan T Faisal ada benarnya. Dimana masyarakat kini kian apatis saja akan keikutsertaannya pada Pemilukada, untuk ambil bagian sebagai konstituen adalah sebuah hal yang hampa. Bagi sebagaian masyarakat, Pemilukada atau moment pemilihan, baik level bawah maupun level atas. Mulai pemilihan Geuchik hingga pemilihan Presiden sekalipun, tidak lagi menjadi hal penting. Bahkan malah justeru menghabiskan waktunya percuma.

“Karena gak ada gunanya bagi kami yang ada menghabis waktu saja untuk datang ke TPS memberikan suara dalam setiap pemilihan itu,” seru abang beca di Kota Langsa, Iskandar (50 tahun) kepada media ini beberapa waktu lalu.

Dibalik itu, ada harapan menggelayut, kendati tak sedikit asa telah tercerabut atas keberadaan pemimpin bangsa di negeri ini. Sebagaimana Gindo Pane (28 tahun) pemuda asal Kecamatan Karang Baru, Aceh Tamiang, berharap pemimpin mendatang bisa menjadikannya PNS. “Tidak penting pemimpin dari jalur independen atau dari jalur partai politik,” serunya.

Sementara Reza warga Langsa mengemukakan yang penting Pemilukada berjalan lancar dan jangan ribut-ribut. “Masyarakat udah lelah dengan keributan, lapar dan dalam kesusahan seumur-umur, pemimpin yang aku harapkan pemimpin yang bisa membawa sedikit rasa politik aman dan nyaman, “ kata Reza dengan nada pasrah.

Sekulumit pandangan masyarakat ini seyogyanya patut diperhatikan oleh petinggi—elit Aceh, karenanya diminta untuk tidak berbuat dan bersikap tercela. “Karena, dengan sikap dan bicara elit politik Aceh hari ini, sama halnya mempertontonkan kepongahannya dan ingin menang sendiri, tanpa memikirkan nasib rakyat Aceh pasca konflik yang hingga kini belum juga memberi kesejahteraan dan ketenangan jiwa,” sergah Muhammad Isa, tokoh masyarakat Aceh Timur, belum lama ini.

KIP Kembali Berkayuh
Kembali ke kondisi Pemilukada terkini mulai mendapat angin segar, menyusul pertemuan dn rapat koordinasi DPRA, lintas partai dan Gubernur Aceh dan KIP dengan Kemendagri RI di Jakarta, baru-baru ini. Angin segar itu bernama cooling down selama sebulan terhitung 5 Agustus hingga 5 September 2011.

Kemendagri mengisyaratkan dua minggu kemudian setelah sebulan itu, DPRA wajib melahirkan Qanun Pemilukada. Berdasarkan tematis, dua pekan setelah masa jeda itu berarti pihak KIP Aceh kembali melanjutkan tahapannya tanpa harus mempertimbangkan lagi kelar atau tidaknya Qanun itu disusun dewan di sana.

Maka, sejak tanggal 20 September 2011 ini, KIP Aceh dan Kabupaten/Kota kembali menjalankan roda regulasi itu sendiri dengan berpedoman pada Qanun yang tersedia. “Artinya KIP Aceh tetap wajib melanjutkan tahapan-tahapan Pemilukada dengan menggunakan Qanun lama, bilamana Qanun baru belum juga dilahirkan pada 19 September 2011 ini,” tambah Teuku Faisal SH.

Dengan skedul baru, KIP kembali berkayuh menjalankan tahapan-tahapan Pemilukada tanpa harus “sungkan” pada DPRA. Angin segar juga kembali berhembus, menyusul DPRA mengirim surat pemberitahuan masa berakhirnya jabatan Kepala Daerah. Pengiriman pemberitahuan yang dilakukan DPRA baru-baru ini merupakan awal romantisme perpolitikan Aceh penuh suka cita.

Kendati, tanpa surat pemberitahuan itu KIP Aceh tetap melaksanakan tahapan-tahapan Pemilukada itu, karena pemberitahuan itu ditafsirkan wajib diberi tahu DPRA, manakala KIP lupa. “Tapi, selama ini KIP kan tidak lupa,” seru Faisal sembari mengartikulasi lebih lanjut tentang salah satu Pasal UUPA terkait “pemberitahuan masa berakhirnya jabatan kepala daerah oleh DPRA.”

“Karenanya tidak ada alasan bagi KIP Aceh, untuk tidak melaksanakan Pemilukada, bila tanpa adanya pemberitahuan DPRA, itu nonsen,” celutuknya lagi. Dalam kacamata Sukri Asma sebenarnya tak ada konflik regulasi, yang ada cuma konflik kepentingan. Regulasi menurut kamus besar Bahasa Indonesia adalah pengaturan.

Regulasi di Indonesia diartikan sebagai sumber hukum formil berupa peraturan perundang-undangan yang memiliki beberapa unsur, yaitu merupakan suatu keputusan yang tertulis, dibentuk oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang, dan mengikat umum.

“Menjadi aneh kan, regulasi yang ada dipertentangkan sesamanya, yakni sesama yang melahirkan regulasi itu sendiri,” ucapnya seraya menguraikan, kemudian terlepas siapa masing-masing mereka yang memproduk regulasi. “Yang pasti DPR, MK dan Pemerintah adalah lembaga negara yang memiliki kewenangan melahirkan aturan atau undang-undang,” demikian Teuku Faisal SH.

Menanggapi kondisi perpolitikan Aceh yang kian memanas ini, Faisal malah justeru menilai semua itu adalah situasi yang sengaja dibuat-buat. Sealah-olah Aceh kembali menggelegak-gelegak atas isu yang sengaja dibangun di tengah-tengah masyarakat Aceh yang kian gamang.

“Mereka sengaja menciptakan kegamangan Aceh biar leluasa menguasai kekuasaan disegala lini, DPRA sudah menciptakan dirinya sebagai pihak super power, sehingga ikut memaksakan kehendaknya di atas fungsi dan tugas lembaga lain yang independen,” tambahnya.

Menelisik kondisi terkini, banyak perkembangan dan melesat ke arah lebih baik. Dimana Pemerintah Pusat c/q Kemendagri RI memberi sinyal bahwa Pemilukada Aceh harus tetap berlangsung di tahun 2011 ini. Ada sedikit bocoran KIP Aceh sepertinya telah menyusun—siapkan skedul/jadwal tahapan Pemilukada yang baru untuk melanjutkan tahapan yang tertunda pasca cooling down, berdasarkan info orang dalam KIP telah menetapkan hari ‘H’ pencoblosan antara tanggal 14 Desember atau 24 Desember tahun 2011. Benarkan tanggal itu, kita lihat saja nanti. ***.


*)Redaktur dan Reporter di Tabloid Media Suara Publik, Kota Langsa

Selengkapnya...

M Sabil DPO Polres Pidie

Sigli--Polisi Resort (Polres) Pidie menetapkan Muhammad Sabil bin Ritawan, 18, terpidana pemerkosaan gadis di bawah umur masuk Daftar Pencarian Orang (DPO).

Polisi sudah menyebarkan foto dan indentitas buron ke seluruh Polsek Jajaran Polres Pidie, bahkan ke sejumlah Polres kabupaten lain dan Polda Aceh.

Kapolres Pidie AKBP Dumadi, Sst Mk melalui Kasat Reskrim, AKP Jatmiko mengatakan, pihaknya sudah menirima surat dari Kejaksaan Negeri Sigli. Surat itu berupa permintaan bantuan polisi untuk menangkap terpidana yang sudah divonis 5 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Sigli itu, tapi pelaku tak taati hukum dengan melarikan diri.

“Kita sudah minta kepada Polsek-polsek di jajaran Polres Pidie untuk menindaklanjuti. Pelaku sekarang sudah masuk DPO Polisi,” katanya ketika dijumpai Harian Aceh di Polres, kemarin.

Hal itu dilakukan sesuai permintaan Kejari melalui surat yang dintandatangani Kepala Kejaksaan Negeri Sigli, SyamsuYufrizal SH dengan nomor R-54 /N.1.12/Ep.1/07/2011 disertai tanggal 27 Juli 2011 tentang permintaan untuk menangkap terpidana kasus pelanggaran Undang-undang Perlindungan anak .

“Foto dan indentitas Terpidana Pemerkosaan sudah kita sebarkan ke Polsek-polsek serta sejumlah Polres dan Polda Aceh untuk melakukan koordinasi menangkap pelaku,” katanya lagi.

Polisi kata dia, tak main-main dalam masalah hukum. Ia pun mengharapkan warga dapat membantu polisi berikan informasi jika melihat terpidana berada di kawasan mereka.

Diberitakan sebelumnya, sejak divonis Pengadilan Negeri 5 tahun penjara, Muhammad Sabil Bin Ritawan, 18, terdakwa pemerkosaan anak dibawah umur tak pernah disel hingga kini, sehingga timbul kecurigaan pihak korban diduga adanya permainan di pengadilan. Kasus pemerkosaan itu terjadi 19 November 2010 dengan korban, sebut saja Bunga, 15, warga Kecamatan Indrajaya, Pidie.(Sumber: Harian Aceh)



Selengkapnya...

25 Agustus, 2011

Sebuah Bangsa Datang Dan Berlalu

Oleh Musmarwan Abdullah

Goa Tujuh Laweng, Pidie
Aku terjaga dari tidurku yang nyenyak. Kuusap mata. Kutebarkan pandangan ke sekeliling goa. Tetapi kenapa suasana di dalam goa gelap begini?

Masya-Allah. Bagaimana ini bisa terjadi, mulut goa sudah tertutup ilalang yang meninggi. Padahal sebelumnya di sini hanya ada rumput tanah belaka.

Dengan susah payah aku menguak ilalang yang menebal di mulut goa. Tiba di luar, kulihat pohon-pohon kerdil yang tumbuh di sekeliling goa kini sudah menjadi pohon-pohon raksasa yang meninggi bagai menantang angkasa.

Tak mungkin aku berpanjang-panjang mengherani semua ini karena tiba-tiba rasa lapar datang menyerang bagai mengoyak-ngoyak semesta dinding perutku.

Aku berjalan ke kota hendak membeli makanan.

“Subhanallah, Allahuakbar. Padango jawara bataki iriane, melayuna. Hindustani arabiku cinane eropahe?” kata perempuan pemilik toko kue itu.

Aku tidak mengerti bahasanya kecuali seruan subhanallah dan takbir itu. Tetapi dengan intuisi peka seorang yang sedang lapar, aku dapat meraba maksud kata-katanya.

Ia mengatakan bahwa uangku adalah uang kuno. Dan sembari menyerahkan bungkusan kue, ia menanyakan dari mana aku datang.

Rasanya tak ada lain yang kuinginkan setelah perut terisi makanan melainkan melihat almanak. Dan di selembar pertanggalan yang kulirik sambil berlalu di depan sebuah toko, aku terhenyak bagai tak percaya. Di kelender itu tertera tahun: 2502. Waktu pertama kali aku masuk belantara adalah tahun 2002.

Wahai, tiada sekata yang terucap di mulut kecuali kalimat Allahuakbar yang berkali-kali menggeletar di hati ketika menyadari, aku telah tertidur di goa itu selama beratus-ratus tahun.

Aku baru sadar kini, rupanya sejak tadi ke mana pun aku pergi, orang-orang saling menatapku dengan sinar mata heran sekaligus takjub sembari mulut mereka menyeru-nyeru kalimah Subhanallah atau Allahuakbar yang diiringi kata-kata lainnya yang tak kumengerti. Penampilan dan postur tubuh beserta resam wajahku rupanya tampak sangat asing di mata mereka.

Lalu seorang tua yang berpenampilan penuh kharisma dan air muka bijak, datang menghampiriku. “Anak muda. Mari engkau kubawa ke rumahku,” katanya seraya meraih pelan lenganku. Dan sesampainya di sana, sembari duduk lesehan di atas permadani rumahnya yang mewah, ia menerangkan.

Bahwa ia bisa bertutur dengan bahasa yang kumengerti karena ia adalah seorang profesor sejarah kuno. Lalu tanpa disebutnya alasan dan tujuan, lantas ia bercerita dengan mimik serius seperti tengah melakukan suatu bentuk penjajakan tertentu.

“Dalam sebuah kitab kuno yang berisikan bunga rampai kejadian-kejadian kecil zaman itu, di salah satu bagiannya disebutkan,” kata profesor tua ini selanjutnya,
“bahwa di suatu zaman, di negeri ini, hiduplah seorang tokoh muda yang missi hidupnya tidak lain melainkan mengelilingi seluruh negeri sembari tak henti-henti menyeru pada seisi negeri agar berhenti berperang.

“Dia tak bosan-bosannya mendatangi para petinggi negeri agar memerintahkan kelompok-kelompok rakyat jelata untuk tak saling bertikai. Tetapi para pemimpin ini tidak perduli. Malah bagi mereka, makin lalai rakyat berperang makin leluasa mereka main korupsi lantaran tak ada yang perduli.

“Dia juga tak henti-hentinya mendatangi para tokoh intelektual agar mencari solusi bagaimana mendamaikan rakayat yang sedang adu senjata antar sesama. Tatapi para cendekiawan ini pun tidak perduli. Mereka asyik sendiri dengan visi-visi, inovasi-inovasi yang semuanya terkadang hanya sebatas teori-teori dalam wujudnya yang absurd alias tanpa arti tanpa iplementasi.

“Anak muda itu juga tak puas-puasnya mendatangi para budayawan dan seniman agar mencari jalan yang terindah penuh sopan santun untuk menyudahi peperangan yang sepertinya sudah menjadi budaya di kalangan rakyat jelata negeri ini dalam menyelesaikan konflik antar sesama. Tetapi kalangan ini pun tak mau ambil pusing. Mereka asyik sendiri dengan gagasan-gagasan yang cemerlang, nyanyian-nyanyian yang mengasyikkan, tarian-tarian yang memukau, lukisan-lukisan yang indah, sastra-sastra yang menakjubkan. Seni adalah untuk seni, bukan untuk kawula negeri yang sedang tak tahu barat-timur lagi.

“Sang belia malang itu juga tak padai-padainya mendekati para ulama agar turun gelanggang membimbing rakyat yang tengah bergelimang di kegelapan kebinatangan kehidupan yang nyaris tak terperi. Tetapi orang-orang berkopiah dan bersorban ini sepertinya sangat takut dengan resiko tertimpa kekerasan apabila ikut terlibat, baik sebagai penengah maupun sebagai tokoh yang berpihak pada kelompok-kelompok yang diyakininya benar. Orang yang tak pernah berhenti berzikir ini lebih memilih berdiam diri di perhunian-perhuniannya yang damai sembari berdoa pagi, siang, petang dan malam hari agar diri dan keluarganya dijauhkan dari neraka, dimasukkan ke dalam sorga.”

“Profesor!” potongku ingin meminta lihat kitab sejarah kuno yang ditulis secara sangat kurang ajar itu. Tetapi profesor tua ini cepat memotong pula.
“Jangan menyela dulu hai anak muda zaman kuno!”
Lalu ia melanjutkan paparan pengetahuannya.

“Akhirnya pemuda yang malang itu putus asa. Lalu ia mengasingkan diri ke hutan belantara. Semua orang di dalam negeri, baik petinggi, cendekiawan, seniman, ulama maupun rakyat jelata yang tengah berperang bertanya-tanya, apa yang akan dilakukan tokoh muda itu di tengah-tengah hutan gunung? Mereka lalu menduga-duga. Mungkin dia bunuh diri di sana dengan menyerahkan tubuhnya ke haribaan binatang ganas seperti harimau, ular dan singa. Atau mungkin saja dia bertapa di dalam goa, lalu tertidur, bangun dan tertidur lagi, lalu bangun lagi dan akhirnya mati sendiri karena kekurangan berbagai-bagai kebutuhan baik jasmani maupun rohani.

“Sejarah tentang anak muda itu terputus sampai di sini. Pembicaraan orang di dalam negeri tentang dirinya dalam tempo sesaat hilang samasekali. Mereka segera kembali kepada keasyikannya sendiri-sendiri. Terutama rakyat jelata; mereka sudah mengobarkan perang lagi. Dan, tentu saja, satu-satu kembali terkapar, menggelepar-gelepar di haribaan bumi; mati, mati dan mati. Tiada saat yang berlalu tanpa kematian massal akibat korban peperangan antar sesamanya sendiri. Akhirnya golongan rakyat jelata ini punah samasekali. Tiada tersisa.

“Dan disebutkan dalam kitab sejarah kuno itu, bahwa pada abat berikutnya yang tertinggal di negeri ini hanyalah golongan para petinggi negeri, golongan cendekiawan, golongan seniman dan golongan ulama. Tetapi lambat laun para petinggi ini mulai menyadari, tanpa rakyat, mereka bukanlah petinggi. Golongan cendekiawan pun mulai merasakan, tanpa masyarakat ilmu mereka tak berarti.

Golongan seniman juga mulai tenggelam dalam kontemplasi, bahwa tanpa penghuni negeri, popularitas mereka tiada gema dan karya mereka tak ada yang menikmati. Sementara golongan ulama mulai beristighfar pagi, siang, petang dan malam hari menyadari kekhilafannya yang amat fatal lantaran telah membiarkan umat punah dalam peperangan sehingga agama Allah yang dipertanggungjawabkan di ubun-ubun kepalanya telah kehilangan semua pemeluknya.”

“Profesor,” selaku ingin meminta kitab sejarah kuno itu untuk segera membacanya karena episode yang dituturkannya ini samasekali di luar pengetahuanku lantaran kejadiannya persis sepeninggalanku mengasingkan diri ke hutan belantara dan lalu tertidur di goa. Tetapi sang profesor segera memotong pula.
”Diam, manusia kuno! Jangan potong! Dengar dulu, kenapa?!”

Lalu ia pun melanjutkan narasinya yang merupakan sejarah kuno sang negeri tercinta.
“Nah, kemudian empat golongan yang masih tersisa ini saling melemparkan tanggungjawab atas kepunahan rakyat jelata yang sesungguhnya merupakan mata rantai paling menentukan dalam keberlangsungan kehidupan sebuah bangsa. Maka tibalah pada suatu titik kulminasi, sehingga yang terjadi akhirnya adalah, golongan intelektual memerangi golongan petinggi; golongan petinggi memerangi golongan ulama; golongan ulama memerangi golongan seniman; dan golongan seniman memerangi golongan intelektual.”
“Oh, begitukah Profesor?”

“Ya. Tetapi isi kitab itu hanya berakhir sampai di sini. Lalu oleh kami yang hidup saat ini melakukan penelusuran sejarah berdasarkan penelitian-penelitian arkeologi. Dan tahulah kami, empat golongan itu, setelah mengalami puncak pertikaian, mereka pun punah semuanya. Sehingga pada abat berikutnya negeri ini hanya tinggal tanah kosong tanpa penghuni.

Maka alamnya yang indah dengan bukit dan lembah, tanahnya yang kaya dengan lapisan kerak bumi, hutannya yang merimbun dan bersesak-sesak dengan keragaman flora dan fauna diam-diam berubah laksana lambaian nan gemulai yang memanggil dengan desah penuh rindu hingga membuat seluruh bangsa di dunia satu persatu datang ke mari; menetap, berbaur, bercampur dan akhirnya lebur jadi satu bangsa baru sebagai pemilik sah tanah negeri ini.”

Sampai di sini terasa tiba-tiba mataku sembab. Desiran kesedihan terasa melintas hatiku tak terperi. Profesor tersangak. Namun beliau segera melanjutkan.


“Dan untuk menghormati sekaligus menghargai roh arwah bangsa asal muasal yang telah tiada, maka bangsa baru ini bersepakat untuk hidup beragama, berbangsa dan bernegara berdasarkan hukum syariat yang dianut sekaligus pernah diabaikan oleh bangsa pendahulu. Dan semua ini mereka pelajari dari lembaran-lembaran al-Qur’an dan lembaran-lembaran kitab hadis Rasulullah yang mereka temukan dalam penggalian-penggalian arkeologi. Dan mereka mengikutinya secara kaffah, menyeluruh, tanpa membuang yang pahit dan menelan yang manisnya belaka. Tidak! Nah, itulah nenek moyang kami dan juga kami sampai saat ini wahai anak muda.”

Kini kesedihan, kenelangsaan dan keharuan menyergap alam jiwaku silih berganti hingga nyaris tak terasa airmataku luruh satu-satu.

“Dari gerak-gerik air mukamu saat mendengar paparanku, aku dapat memastikan, engkaulah anak muda yang mengasingkan diri ke hutan belantara pada zaman dulu itu.”
“Benar, Profesor,” berkata aku seraya menghapus air mata yang berjuntai di pipi.
“Artinya, engkau telah tertidur dalam rimba itu selama lima ratus tahun.”
“Tiada salah, Profesor. Dalam sebuah goa.”

“Maukah kau membaca kitab sejarah zamanmu itu?”

”Tidak. Jangan. Ternyata itu akan sangat menyiksa bagiku,” demikian aku berkata dengan suara parau semakin lirih. Terasa lambat laun tubuhku semakin melemah. Dan Profesor segera merebahkan badanku pelan-pelan hingga terlentang di atas karpet permadaninya. “Prof. Aku hanya ingin melihat wajah kitab itu sekilas saja,” desahku di antara sisa-sisa kesadaran, antara hidup dan kepergian.

Profesor sertamerta masuk ke ruang perpustakaannya, lalu keluar seraya menenteng sebuah buku yang tebal, lusuh, kusam dan koyak-koyak. Diperlihatkannya padaku diiringi wajahnya yang sendu. Hanya dengan hati kueja judulnya: “Aceh Datang Semusim Kemudian Berlalu.” Tanpa nama penulis.

“Apa yang kau inginkan kini?” tanya Profesor dengan mata berkaca-kaca penuh duka dan iba. Tetapi sudah tiada dayaku lagi untuk menjawabnya walau sekata.

Wahai, betapa rindunya aku kini, ingin segera pergi dan hidup di alam roh bersama para arwah orang-orang yang sebangsa dan sezaman denganku, yang selama lima ratus tahun telah menungguku di haribaan alam barzakh sana untuk meminta maaf padaku dan sekaligus hendak mengutarakan penyesalan dari kekeliruan hidupnya semasa di dunia. Kendati mereka tahu, bahwa itu pun sudah tak berarti lagi.


Selengkapnya...

Aceh dan Jalur Independen

Oleh Jufrizal

Pria 72 tahun itu sudah digerogotin uban. Kulit keriput di bawah sepasang matanya mulai mengatung. Namun ingatannya masih tajam. Bicaranya tegas, terkadang berapi-api .

Sesekali tangannya menggempal ketika berbicara. Muhammad Yusuf nama pria tua itu.Perbincangan seru terjadi. Mulai dari pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia atau populernya DI/TII Aceh pimpinan Tgk Daud Beureueh, Pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), kesepakatan Helsinki, sampai permasalahan pro-kontra jalur independen pada pemilu kepala daerah Aceh mendatang.

“Nyoe tentang DI/TII Aceh bek ka tuleh dare nyang ata lon ceurita saknyoe beuh (Tentang DI/TII yang saya ceritakan tadi jangan ditulis ya,” pinta Yusuf.

‘Kenapa?” tanya saya.

“Bek ka tuleh, seeb kateupeu lee droe keuh mantong (jangan di tulis, cukup kamu saja yang mengetahuinya),” jawab Yusuf.

Yusuf kembali bercerita sambil menghisap rokok cerutunya. Asap mengepul ke udara. Bau asap rokoknya menusuk hidung saya. Hari itu dia mengenakan baju kemeja batik yang mulai lusuh. Celana kain dan memakai peci hitam.

“Lon nyoe masalah jalur independen wate peumilihan gubernur kali nyoe teutap seuteju, jinoe tanyoe ka dame dan keuputusan pusat haroh geutanyoe ikot (Saya kalau masalah jalur independen waktu pemilihan gubernur kali ini tetap setuju, kini kita telah berdamai dan keputusan pusat harus kita ikuti,” kata yusuf, diplomatis.

“Kupeu daree karu-karu bak masalah jalur independen nyan. Wate jameun Tgk Daud Beureueh peujuangan gob nyan untuk kesejahteraan rakyat Aceh (kenapa mesti ribut-ribut pada masalah jalur independen itu. Waktu jaman Tgk Daud beureueh perjuangan beliau untuk kesejahteraan rakyat Aceh),” ujar Yusuf.

Dia menganggap penolakan jalur independen yang telah diputuskan Makamah Konstitusi (MK) akan menciptakan konflik kembali nantinya di Aceh. Masih banyak kebijakan-kebijakan yang mesti dipikirkan oleh elit politik Aceh yang pengaruhmya lebih bermanfaat bagi kesejahteraan rakyat Aceh.

Yusanto terus-menerus memutar mesin jahit tuanya. Saya dan Yusuf duduk membelakanginya. Sesekali suara nyaring mesin jahit itu mengusik perbincangan kami. Tak berapa lama saya menghampiri Yusanto. Dia sedari tadi juga mendengar pembahasan tentang jalur independen.

Dia pria Aceh asli. Namanya saja menyerupai nama Jawa. Kancing baju kemejanya sengaja dibuka setengah dada. Dia berbicara blak-blakan dan cepat.

“Lon nyoe masalah jalur independen hana lon teu’oh peugah peu (saya kalau masalah jalur independen tidak tahu mesti bicara apa)?” kata Yusanto.

“Tapih droe neuh seutuju atau han teuntang jalur independen nyan (tapi anda setuju atau tidak tentang jalur independen itu?” tanya saya.

Nyoe lon duwa-duwa jih seutuju. Asai soe nyan lheeu di joek peng, nyan lon dukoeng keu gubernur, tapi nyoe dijoek peng dari calon gubernur laen, tetap lon coek shit (Kalau saya dua-duanya setuju, asalkan siapa yang banyak kasih uang, itu saya dukung jadi gubernur, tapi kalau dikasih uang dari calon kandidat gubernur yang lain, tetap saya ambil juga),” jawab Yusanto.

Dia menilai selama pemilihan gubernur, para kandidat gubernur cuma menjanjikan programnya semata untuk mendulang suara. Lepas terpilih jadi gubernur baik dari partai maupun independen, mereka hanya memperkaya diri atau kelompoknya. makanya dia mengambil sikap suaranya harus dibeli oleh tiap calon gubernur.

Di sudut desa Rukoh, Banda Aceh ada kedai kopi Dek Mie yang ramai. Banyak orang berbincang-bincang sambil makan minum di situ. Suasana gaduh dan gelak tawa sesekali terdengar.

Hari itu, saya tampa sengaja berjumpa dengan Budi Azhari. Dia dengan beberapa temannya sedang berdiskusi berkenaan tentang jalur independen. Sayapun ikut bergabung satu meja dengan mereka.

Semenjak bergulirnya putusan Mahkamah Konstitusi di Jakarta mengabulkan permohonan para pendukung jalur independen untuk Pilkada mendatang. Masalah jalur independen tetap menjadi diskusi menarik di warung-warung kopi.

Budi Azhari berpendapat secara pribadi dia mendukung jalur independen, namun dalam kontek ke-Aceh-an dia menolak jalur independen. Aceh masih bagian dari Indonesia, tapi setelah perjanjian damai antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Republik Indonesia pada 15 Agustus 2005 silam, serta melahirkan Undang Undang Pemerintahan Aceh atau populernya UUPA, Aceh mempunyai kewenangan yang berbeda dengan propinsi lainnya di Indonesia.

“Seharusnya pemerintah pusat meruju kepada MoU Helsinki dalam mengambil keputusan menyangkut dengan jalur independen, jangan serta merta memberikan keputusan hukum tampa berkonsultasi terlebih dahulu dengan pemerintah Aceh dalam hal ini Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA),” ujarnya.

“Ini berbicara marwah Aceh,” tegas Budi.

Dia merasa khawatir jika tiap pasal dalam UUPA nantinya bisa dibatalkan oleh pusat tampa berkonsultasi terlebih dahulu dengan DPRA akan menimbulkan wacana pembatalan serupa secara sepihak terhadap pasal-pasal lainnya dalam UUPA. Akibatnya akan melemahkan posisi Aceh.

Di lain hari, Saya chatting dengan menggunakan Facebook dengan Muhadzdzier Muhammad Salda . saya juga bertanya dengannya tentang jalur indepeden. Cukup lama saya menunggu balasan chatting darinya.

Muhadzdzier setuju saja dengan jalur independen.

Dia bercerita terakhir mengikuti pemilu pada pemilihan presiden 2004 silam. Setelah itu, dia lebih memilih tidur di rumah dari pada pergi ke Tempat Pemungutan Suara (TPS).

“Saya pikir, tidur saya lebih penting daripada harus ke TPS,” tulis Muhadzdzier, lewat facebook

Dia menganggap ikut memilih nantinya sama saja membantu orang-orang munafik, zhalim, dan calon penguasa yang korupsi juga nantinya.

“Sebenarnya tidak ada jaminan calon dari independen dan partai akan bisa bersih, kecuali kalau pakai Rinso,” ungkap Muhadzdzier.

Rinso adalah merek pembersih pakaian.

Pada 18 April 2011 seratusan massa yang menamakan dirinya Barisan Muda Mahasiswa Aceh (BM2A) berunjuk rasa di DPRA. Mereka mengultimatum DPRA agar segera mengesahkan Raqan Pemilukada Aceh dan meminta DPRA untuk menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi yang memperbolehkan adanya calon independen dalam Pemilukada Aceh.

Sementara itu, di hari yang sama di Lhok Seumawe juga ada aksi unjuk rasa dari Gerakan Sipil Pendukung UUPA. Massa ini menentang adanya jalur independen pada Pemilukada Aceh.

Apakah menurut kamu aksi unjuk rasa berkaitan dengan pro-kontra itu di bayar?” tanya saya pada Muhadzdzier.

“Saya masyarakat biasa, tidak berani mengatakan itu demo bayaran.Tapi pasti ada permainan dibalik demo itu,” kata Muhadzdzier.

“Saya kira ada penyokong anggaran juga walaupun segelas minuman mineral,” tambahnya.

Acara dialog di stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI) Aceh sedang berlangsung. Dialog itu membahas tentang pro kontra jalur independen dengan menghadirkan tiga orang narasumber yakni Abdullah Saleh dari fraksi Partai Aceh (PA), Juanda Jamal dari kalangan aktivis, dan Muhammad Jafar dari praktisi hukum.

Dialog berlangsung alot. Ketika dibuka sesi tanya jawab lewat layanan telepon, banyak penelepon menyayangkan pendapat politisi Partai Aceh, Abdullah Saleh yang menolak keberadaan jalur independen pada Pemilukada Aceh mendatang walaupun sudah ada pengesahan dari Mahkamah Konstitusi.

Pada pemilu legeslatif 2009 silam, Partai Aceh merupakan partai paling dominan meraih kursi di DPRA. Berdasarkan keputusan sidang pleno KIP Aceh, dari 69 jatah kursi di propinsi, Partai Aceh mendapatkan 33 kursi di DPRA.

Sementara itu Muhammad Jafar berpendapat bahwa secara yuridis keputusan Mahkamah Konstitusi adalah keputusan hukum yang tegas dan mengikat. Putusan ini tidak bisa dilarikan ke ranah politik dengan berpendapat adanya suara mayoritas atau minoritas masyarakat yang pro-kontra dengan jalur independen.

“Bukankah hukum juga produk politik?”

“Ya benar, tapi jika DPRA ingin membatalkan atau mengubah putusan jalur independen yang telah diputuskan Mahkamah Konstitusi itu tidak mungkin. Produk politik dapat diubah dengan sesama lembaga yang setingkat antara keduanya, tidak mungkin peraturan atau undang undang yang diputuskan oleh DPR pusat dibatalkan oleh DPRA,” jawab Muhammad Jafar.

Maraknya pemberitaan di media cetak dan elektronik tentang pro kontra jalur independen, ada pula masyarakat Aceh yang tidak tahu sama sekali dengan jalur independen. Nur Fadillah dan Safrina, termasuk orang yang tidak mengetahuinya.
“lon hana toeng dengoe jalur independen nyan, Peu lee jalur independen nyan, (Saya tidak pernah mendengar jalur independen itu, Apa itu jalur independen)?” tanya Safrina.

*) Jufrizal adalah salah seorang penulis buku antologi Acehfeature; Setelah Damai Di Helsinki. Dia penerima beasiswa pemerintahan China program Master Jurnalism di Nanchang University.


Selengkapnya...

24 Agustus, 2011

Misteri Kematian Kasir BI Lhokseumawe

Oleh Chairul Sya'ban

Hasil Rekaman Camera CCTV
Sejauh ini, kematian kasir senior Bank Indonesia (BI) Kota Lhokseumawe masih menjadi misteri.

Bakhtiar Batubara, SH : “Kinerja Pihak Polres Lhokseumawe lemah, sementara Pihak BI beralasan bahwa CCTV dalam kondisi rusak.”

Saat itu, Jum’at malam (21/7), jarum jam menunjukkan sekira pukul 20.00 WIB, SUARA PUBLIK tiba di rumah salah satu keluarga almarhum Damora Siregar, Budi Dharma, SE (49), selaku abang kandung almarhum.

Rumahnya terletak di Jalan Garu III, Blok A-1, Kelurahan Harjosari I, Kecamatan Medan Amplas, Kota Medan. SUARA PUBLIK bertujuan menemui Budi Dharma dan kedua kuasa hukumnya, Amin Thomas, SH dan Bakhtiar Batubara, SH, untuk konfirmasi mengenai hasil rekaman CCTV dari pihak Bank Indonesia (BI) Cabang Kota Lhokseumawe yang diduga sengaja dirusak.

Lantas, keluarga korban kebingungan dan heran dengan lelucon dari pihak BI Lhokseumawe. Betapa tidak, pihak BI menyampaikan, bahwa hasil rekaman CCTV itu memang rusak sebelumnya pada saat kejadian tewasnya Damora Siregar.

Sepertinya kasus tewasnya Damora Siregar, yang menjabat sebagai Kasir Senior di Bank Indonesia (BI) Cabang Kota Lhokseumawe, warga asal Medan itu, akan berbuntut panjang. Sebab, keluarga korban bersama kuasa hukumnya terus berupaya mencari keadilan demi terungkapnya penyebab kematian korban yang dinilai tak wajar. Lagi pula, kasus tersebut sudah berjalan selama dua tahun lebih belum juga terungkap. Karena itu, mengenai CCTV yang terpasang di beberapa titik persisnya di Kantor BI Lhokseumawe, membuat keluarga korban gerah.

Pasalnya, CCTV itu sejauh ini masih menuai tanda tanya. Karena, diduga kuat CCTV itu sengaja dirusak oleh pihak yang enggan bertanggung jawab di dalam kasus ini. Namun, pantaskah keluarga korban menerima berbagai lelucon tersebut? Dan segitu gampangnya menyampaikan kepada keluarga korban bahwa rekaman CCTV BI dalam kondisi rusak. Akibatnya, CCTV itu sama sekali tidak ada menunjukkan secara detail terhadap detik-detik tewasnya korban.

Dalam surat nomor B/238/V/2011/Reskrim, yang di sampaikan oleh pihak Polres Lhokseumawe kepada Budi Dharma selaku abang kandung korban, tertanggal Lhokseumawe, 18 Mei 2011. Memberitahukan bahwa, berdasarkan hasil pemeriksaan CCTV dari Labfor forensik cabang Medan, pihak penyidik telah meminta keterangan saksi operator CCTV BI Lhokseumawe dan menjelaskan bahwa kerusakan CCTV tersebut sudah terjadi sebelum kejadian meninggalnya almarhum Damora Siregar, yaitu sejak awal bulan Januari 2009 lalu, dan sudah diusulkan untuk perbaikan dengan surat permintaan dari PT. LIMA JAYAKARTA UTAMA tertanggal 08 Januari 2009, Yang mana kerusakan pada layar muncul angka/huruf yang sulit dimengerti seperti simbol dan kotak-kotak, setelah itu timbul angka 00:00:00 serta tanggal, bulan dan tahun 01-01-98. Sedangkan kaset yang tertimpa benar, tetapi penggunaan kaset CCTV yang sudah penuh terlebih dahulu direview yang disaksikan oleh pejabat BI Lhokseumawe dan Satpam.

Lanjut isi surat, ditandangani oleh Kasat Reskrim Polres Lhokseumawe, AKP. Galih Indragiri, SIK. Yang menerangkan, apabila hasilnya tidak ada hal-hal yang mencurigakan, maka kaset tersebut dipergunakan kembali. Sedangkan, tentang kecepatan putaran rekaman, hasil labfor tidak normal (cepat) dikarenakan pihak Labfor mempergunakan alat VHS Payer JVC tipe HR DVS 3. Selanjutnya, alat yang dipergunakan oleh BI Lhokseumawe adalah merek VICON dengan kaset VHS, dan hasil rekaman CCTV tidak kontinyu serta terdiri dari segmen-segmen disebabkan CCTV dipergunakan selama aktivitas kantor. Kemudian dimatikan dan dihidupkan kembali pada aktivitas selanjutnya.

Justeru dengan keluarnya surat tersebut yang disampaikan oleh Pihak Polres Lhokseumawe, keluarga korban tidak percaya bahwa CCTV itu rusak. Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Budi Dharma, yang didampingi oleh kedua kuasa hukumnya, Amin Thomas, SH dan Bakhtiar Batubara, SH, saat ditemui SUARA PUBLIK di Hotel Emerald Garden, Medan, pada malam itu juga, menduga, Pihak BI sengaja melakukan perusakan terhadap CCTV itu. “Kami sangat kecewa dengan pihak BI yang telah mengeluarkan hasil rekaman CCTV rusak. Karena rekaman tersebut tampak terpotong dan terlalu cepat durasi rekaman yang berputar. Karena itu, kami menduga bahwa CCTV itu sengaja dirusak oleh pihak yang tidak mau bertanggung jawab.” ujar Budi, yang dibenarkan oleh dua orang kuasa hukumnya.

Sementara kuasa hukum keluarga korban, Amin Thomas, SH dan Bakhtiar Batubara, SH, juga berkata demikian, bahwa pihak BI adalah Bank Central, karena itu tidak mungkin bahwa CCTV itu rusak dan terpotong, sehingga tidak bisa dipakai. Untuk itu, Budi bersama dua orang kuasa hukumnya sangat berharap agar pihak penegak hukum yang terlibat dalam menangani kasus ini segera mengusut tuntas mengenai CCTV.
“Dari fakta yang kita lihat, kinerja pihak kepolisian sangatlah lemah serta tak serius menangani kasus ini,” ujar Bahktiar Batubara, SH, kuasa hukum abang kandung korban. Selanjutnya, pihak penyidik diminta harus propekstif untuk meneliti lebih detail terkait hasil rekaman CCTV yang diduga sengaja dirusak. Dengan memasang wajah tegas menatap kearah media ini, Bakhtiar bersama Budi, meminta pada ahli pakar telematika untuk meneliti rekaman CCTV tersebut.

“Untuk saat ini, CCTV itu belum diteliti oleh pakar telematika. Kami juga pernah memohon pada Pakar Telematika, Roy Suryo di Jakarta untuk meneliti CCTV tersebut. Namun, beliau tak meresponnya, mungkin karena beliau sudah menjabat sebagai Anggota Dewan Pimpinan Republik Indonesia (DPR-RI), maka karena itu beliau tak menjawabnya.

Lanjut Bakhtiar, “ Karena jelas-jelas dalam CCTV tersebut ada yang sengaja disembunyikan, sebab tidak mungkin bahwa CCTV bisa rusak seperti itu. Karena, faktor utama bukti-bukti untuk memperlihatkan detik-detik tewasnya korban adalah pada CCTV itu. CCTV itu juga pernah di periksa oleh Labfor Polda Sumatera Utara, dan mereka menjawab bahwa tampak jelas pada CCTV tersebut adanya pemotongan durasi rekaman. Sehingga tak kelihatan adanya bukti pembunuhan atau penganiayaan yang terjadi pada korban,” imbuh Bakhtiar secara tegas. Budi, dengan wajahnya yang tampak percaya diri, terus melanjutkan pembicaraannya kepada SUARA PUBLIK dan akan terus berusaha mencari keadilan kepada penegak hukum ke tingkat paling atas. Sesekali, Budi menunduk ke bawah, terdiam, dan berfikir kebingungan, terhadap misteri kematian adik kandungnya itu sampai yang sejauh ini belum juga terungkap, sehingga pihaknya menduga bahwa ada yang bermain dibalik kematian adik kandungnya itu.

Koresponden SUARA PUBLIK, Ernie Putri, dari Kota Lhokseumawe melaporkan, bahwa Polres Lhokseumawe AKBP. Kukuh Santoso, melalui Kasat Reskrim AKP. Galih Indragiri, SIK, mengaku, sejauh ini pihaknya tetap akan melanjutkan penyelidikan lebih lanjut terkait kematian Damora Siregar, apabila pihak keluarga korban mampu menghadirkan saksi dan menunjukkan bukti-bukti lainnya yang dapat membantu proses penyelidikan. Polres juga tidak akan menutupi fakta dan menghilangkan bukti, malah ingin kasus ini segera terselesaikan, mengingat telah memakan waktu yang lama dan berlarut-larut. Sampai saat ini Perkembangan hasil penyelidikan kasus tersebut tetap sama dengan hasil sebelumnya yakni belum ditemukan adanya unsur pidana.

Hal yang paling menyulitkan bagi penyidikan adalah keterangan saksi yang tidak dapat membuktikan kasus ini kearah pidana. Setelah mempelajari dan mengecek seluruh berkas kasus kematian Damora Siregar di Polres Lhokseumawe diantaranya, Hasil Visum dari RSU Pringadi Medan, Surat keterangan kematian dari RSU Sakinah Nomor : 8019/SK/RSU/I/2009, Surat dari PT. LIMA JAYAKARTA UTAMA yang menangani pekerjaan pemeliharaan CCTV di gedung BI tanggal 08 Januari 2009 beberapa hari sebelum tanggal kematian Damora. BAP seluruh saksi yang telah diperiksa termasuk isteri korban, dokter ahli, cleaning service juga dua orang saksi terakhir Gumara Gultom dan Ellys Meinangwati yang diperiksa tanggal 11 Maret 2011 dan 08 April 2011 lalu.

Hingga berita ini diturunkan yang kedua kalinya, SUARA PUBLIK masih gagal untuk memintai keterangan kepada pihak BI Cabang Lhokseumawe terkait dugaan CCTV yang rusak atau dirusak itu. Karenanya berbagai kejanggalan pada CCTV itu membuat keluarga korban dan kuasa hukumnya tak berhenti untuk terus berupaya mencari keadilan kepada penegak hukum yang lebih tinggi. Untuk itu, seperti biasa, SUARA PUBLIK akan terus mengikuti perkembangan kasus kematian Damora yang masih misteri. Tunggu episode selanjutnya mengenai pihak Ombudsman yang turut membantu keluarga korban.***

*) Reporter Tabloid Suara Publik, Kini tinggal di Kota Langsa

Selengkapnya...

Lima Mahasiswa Aceh Mendapat Beasiswa China

Jufrizal, salah seorang putra Aceh
mendapat bea siswa di Universitas
Nanchang University, China
Lima putra putri Aceh lulus beasiswa dari pemerintah China untuk melanjutkan program study Magister di Nanchang University. Peserta yang lulus tersebut memilih program yang berbeda.

Jufrizal dan Boihaki dengan pilihan program studi Magister Jurnalism, sedangkan Sulaiman dan Iwan Doa Sampena lulus di program studi Magister Sejarah dan Kebudayaan. Namun Nelly lebih memilih program studi Magister Pendidikan Matematika.

Peserta program akan menempuh masa studi selama tiga tahun di Nanchang University. Tahun pertama adalah belajar bahasa mandarin, dan tahun selanjutnya menempuh studi Magister di masing-masing program studi termasuk untuk menyelesaikan tesis/karya akhir.

Ketua Badan Koordinasi Pendidikan Bahasa Mandarin (BKPBM)-Aceh, DR. Abdul Rani Usman, M. Si mengatakan, beasiswa ini adalah relasi kerja sama antara BKPBM-Aceh dan Fakultas Dakwah IAIN Ar-Raniry dengan Nanchang University.

Abdul Rani Usman menambahkan, dari delapan orang perwakilan Indonesai yang lulus seleksi penerima beasiswa Magister di Nanchang University, lima orang adalah putra-putri Aceh dan ini merupakan suatu prestasi dan kebanggaan bagi Aceh.

“BKPBM-Aceh akan berupaya menjalin kerja sama dengan universitas lainnya di Asia nantinya. Selain itu, kita mengharapkan kepada pemerintah Aceh untuk mewujudkan pembangunan sekolah tinggi bahasa Asing di Aceh yang sedang kami gagas,” harap Abdul Rani Usman

Badan Koordinasi Pendidikan Bahasa Mandarin (BKPBM)-Aceh
DR. Abdul Rani Usman, M. Si
Contak Person: +6285281540018





Selengkapnya...

22 Agustus, 2011

Abu Lhok Paoh

Cerpenis Aceh dan penulis buku
kumpulan cerpen berjudul;
Pada Tikungan Berikutnya.
Oleh Musmarwan Abdullah

Jum’at sore yang cerah berlangit biru kau menapak kaki di halaman luas sebuah gedung penerbitan daerah. Mau menjumpai Abu yang pasti tengah berkonsentrasi menghadapi naskah-naskah tulisan di salah satu meja di dalam gedung mentereng bertingkat dua itu. Tentu kau takkan punya urusan apa-apa dengannya sekiranya ia seorang tukang urus ternak.

Seyogianya ia memang telah menjadi pakar peternakan dulu. Tetapi di usia lima belas tahun ia sudah coba-coba menulis cerita. Dan dimuat di majalah anak-anak terbitan ibukota. Itulah, kenikmatan jadi penulis membuat ia nekad meninggalkan Sekolah Peternakan Pemerintah itu. Tentu dengan sebuah trik.

“Aneuk manyak tungang. Mau jadi apa dia nanti?” gerutu ayahnya ketika mengetahui anaknya sang calon ahli hewan yang bakal diangkat jadi pegawai negeri itu diusir dari sekolah dan disuruh angkat kaki dari asrama yang disediakan sekolah karena (sengaja tentu) sering-sering melanggar aturan.

Seumpama bulan bulat penuh yang bertengger di pucuk langit, sebulat itulah tekadnya sudah untuk hidup dan mati di dunia yang satu itu: membaca kehidupan, menghayati kehidupan, berpikir tentang kehidupan dan menulis kehidupan.

Riwayat secuil masa lalunya memang begitu. Kalau ditarik secara keseluruhan garis lintas peruntungan maka akan terlihat suatu gambaran pergulatan hidup yang mendebarkan. Dia adalah suatu sosok anak manusia yang telah merenda kehidupan dalam tiga zaman:

Masa kecil ia lalui ketika pecah perang dengan kaum fasis berkulit kuning bermata sempit tapi berotak brilian; masa remajanya ia lalui ketika pecah perang antar sesama yakni tatkala bendera revolusi-sosial dihempangkan yang melegitimasi suatu kelompok membunuh kelompok yang lain padahal kedua-duanya terlahir dari satu rahim ibu; dan masa dewasanya ia lalui dalam zaman ketika segenap anak negeri dicerai-beraikan dalam dua keterpaksaan menganut mazhab ideologi bernegara, Komunis atau Pancasila; sedangkan di masa tuanya kini ia dihadapkan pada suatu kenyataan dalam wujud gebyar prahara keserdaduan antar dua kekuatan bersenjata di mana yang satu mempertahankan prinsip negara kesatuan sementara yang satu lagi ingin melepas diri dari rengkuhan ibu pertiwi dan maka yang ditengah-tengah sudah pasti, saling tunjuk saling fintah saling tak tahu ke manakah sesungguhnya Tuhan berpihak.

Dan itulah dia. Seniman. Pencipta puisi. Penulis cerpen. Pengarang cerita bersambung. Juga pegelut teater. Dia, Sastrawan Lintas Perang. Sang Serdadu Tua yang belum mau mati, begitu kalian sering menyebutnya. Abu Lhok Paoh nama aslinya.

Sekarang tiga belas tahun yang lalu Abu sudah duduk di situ. Di kursi redaktur budaya surat kabar satu-satunya untuk daerahmu. Yakni sebuah media cetak yang dibaca orang di kota-kota, di desa-desa dan dieja oleh mereka yang di pelosok-pelosok terpencil sana. Tetapi kisah Abu Lhok Paoh menjadi lain ketika ia disangkut-pautkan dengan penulis-penulis junior.

Di mata para pengarang muda Abu adalah seorang redaktur budaya yang sukar ditebak prinsipnya. Ia sangat toleran pada penulis-penulis pemula. Sesederhana apa pun tulisan mereka akan dimuatnya (tentu kalau memang memenuhi prinsip kelayakannya). Tetapi terhadap para penulis yang telah melewati lima tahun kiprah kepengarangannya, Abu akan bersikap killer. Cendrung menerapkan kedisiplinan ketat ala testing calon serdadu.

“Cerpen-cerpenku sekarang payah sekali dimuat beliau,” keluh seorang cerpenis muda. “Aku jadi serba salah dan tak mengerti.”

Seorang teman yang lain, penyair muda, juga menyimpan rasa tak bahagia kepada sang redaktur. Keluhnya, “Kalau pun puisi-puisiku dimuatnya, itu pasti sesudah diubah-ubah atau dipotong-potong beliau terlebih dahulu sehingga aku merasa tidak puas dan bahkan merasa dirugikan.”
Seorang esais muda, kawanmu juga, tak jauh beda dengan kawan-kawanmu yang lain. “Tulisan-tulisanku suka dibanting-banting beliau…” katanya.

Dan katamu, “Apakah kita lebih percaya pada diri kita yang masih new commer dari pada beliau yang sudah berkarat dalam dunia yang satu itu?”
“Aku menyimpan rasa ragu pada sikap selektif beliau.”
“Maksudmu?” tanyamu.

“Bagiku Abu seorang yang anti perubahan. Penganut faham kemapanan. Beliau samasekali tak membiarkan kita berkreasi sebebas yang kita mau. Padahal ini zaman kita. Zaman beliau sudah lewat. Sistem beliau sudah kaku. Sekarang seyogianya yang berlaku adalah sistem kita. Malah beliau sendiri sebenarnya hidup menumpang di zaman kita.

Nah, kenapa beliau suka mengintervensi hak-hak kebebasan sang tuan zaman?”

“Coba renungkan sedikit, kawan,” katamu pada kawan-kawanmu itu. “Kecenderungan memakai keyakinan yang berlebih-lebihan terhadap kualitas karya-karyanya, itu adalah sifat dasar para penulis yang baru jadi. Kedangkalan penghayatan dan kementahan berfikir yang terdapat pada orang muda akan senantiasa melahirkan kekeliruan interpretasi ketika ia dihadapkan pada ketidakmulusan. Orang muda darahnya berapi-api. Mau menang sendiri. Walau salah tak peduli. Dan itulah kita.”

“Ah, mentang-mentang cerpenmu sering dimuat, kau membela Abu, ha?” kata salah seorang dengan nada spontan sepertinya ia tiba-tiba kehilangan batasan-batasan normatif dalam mengikuti kebiasaan bicara ala orang-orang sastra.

Bukan. Memang bukan maksudmu memihak sang redaktur tetapi kau memang menangkap keresahan dalam jiwa-jiwa kalian yang masih belum matang kendati referensi kalian sebanyak lembaran daun-daun di seantero bumi. Karya kalian masih kental dengan unsur-unsur ego. Kalian cendrung kehilangan orientasi ketika menyampaikan pesan-pesan tertentu lewat karya-karya kalian, yang sebenarnya pesan-pesan tersebut harus kalian sampaikan secara ikhlas tanpa tonjolan keakuan diri yang berlebihan.

“Dia sudah tua, kawan,” tulismu dalam sepucuk surat. “Telah ia lalui sebuah perjalanan hidup yang panjang. Sepanjang usianya kini. Enam puluh dua tahun. Sudah, sudah terlalu matang untuk sebuah dunia yang telah ia geluti sejak usianya lima belas tahun.

“Ah, terlalu angkuh kita ini untuk menyesali kebijakan-kebijakannya tatkala ia memotong-motong, membolak-balik dan bahkan samasekali tidak meloloskan cerpen-cerpen kita, puisi-puisi kita, esai-esai kita.
“Kawan, dia itu sudah tua. Rambutnya yang ikal sudah putih semua. Namun lihatlah, mahkota peraknya yang gondrong itu kerap diikat ke belakang selazim paramuda mensoleki rambut panjangnya yang masih legam. Pertanda, kendati tubuhnya sudah agak ringkih dan posturnya sudah tak tegap lagi, hidupnya masih bersemangat.

“Syukur dia masih sanggup membedah-bedah, mengaduk-ngaduk bahkan membanting-banting tulisan kita. Kita mengira tidak lelah memotong-motong sebuah cerpen hingga layak dikonsumsi beribu-ribu orang, ya, kan? Kita mengira mudah menukar-takir perlambangan-perlambangan dalam sebuah puisi hingga layak dinikmati segenap pembaca koran, ya, kan? Syukur dia masih mau dan kita masih punya guru…”

Demikian tulismu di alinea-alinea awal dalam sepucuk surat yang kau tulis sama beberapa lembar lalu kau kirimkan kepada kawan-kawanmu itu. Beberapa orang di antara mereka tinggal di ibukota provinsi dan sebagian yang lain menyebar. Ada yang tinggal di ibukota-ibukota kabupaten, ada pula yang sepertimu, hidup di pelosok paling terpencil negeri ini. Hanya sekali-sekali kalian berkumpul di ibukota provinsi terutama saat ada undangan dari dewan kesenian daerah.

Dan semua kawan itu membalas suratmu dengan isi-isi yang singkat yang bahkan beberapa di antaranya hanya berisi sekalimat saja, tanpa salam pembuka dan salam penutup sebagaimana layaknya sebuah surat. Pertanda, mereka kurang suka pada apologimu dalam membela Abu. Malah ada teman yang nekad membalas dengan hanya delapan kata bernada sentimen subjektif, “Aku tahu, kau mau diambil Abu sebagai menantunya…” Teman itu memang tidak tahu yang Abu tidak memiliki anak perempuan.

Sesungguhnya di antara kawan-kawanmu itu, kaulah yang paling jera dibuat Abu. Naskah-naskahmulah yang terbanyak ditolak Abu. Dan ini kau ketahui dari hasil gerilyamu tanya sana-sini antar sesama. Mereka salah mengira dan kau pun tidak memaksa agar mereka percaya.

Demikianlah Jum’at sore yang cerah berlangit biru itu, kau diterima Abu di ruang kerjanya meski kau tahu dia sedang amat sibuk. Mula-mula kalian berbicara entah tentang apa sembari minum aqua dingin yang ditaruhnya di atas meja redaksinya. Panjang juga pembicaraan tak bertema khusus itu mengingat kalian berdua jarang sekali bertemu karena kau memang jarang sekali pesiar ke ibukota provinsi. Tatkala merasa timingnya sudah tepat maka kau pun bertanya:

“Apakah cerpen yang saya kirim terakhir itu layak muat, Abu?”
“Yang mana itu?” tanya Abu dengan mata yang segera berpindah-pindah antara tumpukan-tumpukan naskah kiriman kawan-kawanmu dan juga penulis-penulis sastra lainnya, yang tersusun-susun nyaris tak teratur di atas meja redaksinya yang lebar. Banyak sekali rupanya orang yang buah tangannya ingin dimuat di halaman budaya, pikirmu. Betapa berat untuk menyeleksinya dengan prinsip standarisasi kwalitas dan keadilan mengingat ruangan ini hanya terbit sekali dalam seminggu.
“Yang mana, hmm?” tanya Abu lagi.

“Yang judulnya Sebuah Bangsa Datang dan Berlalu,” jawabmu untuk menggiring ingatannya lantaran naskah itu memang sudah hampir satu bulan kau kirimkan.

“O, hm. Judulnya menarik,” jawab Abu yang segera ingat pernah membaca naskah itu. “Namun temanya sudah terlalu sering dijamah orang,” sambungnya sembari mata melirik ke keranjang sampah di dekat kaki kursinya. Dan rasanya kau ingin segera mengelus dada. Bukan lantaran kecewa. Tapi semata-mata karena lirikan matanya. Ke keranjang sampah.

“Kalau kamu ingin cerpenmu itu dimuat juga, yaaa, tidak apa-apa. Otoritas pemuatan sebuah tulisan di halaman budaya ada pada saya sebagai redaktur budayanya dan setelah itu kamu akan menerima kiriman honornya tentu saja. Tapi you musti ingat, kredibilitasmu sebagai cerpenis akan jatuh ketika publik mendapatkan karyamu yang tak bernilai tiba-tiba muncul di koran.”
“Tidak. Jangan Abu,” katamu tergesa-gesa.

“kawan,” tulismu dalam surat yang dibalas dengan sinis oleh teman-temanmu itu, “dia bukan hanya telah membesarkan kita melalui halaman bergengsi yang diasuhnya itu, tapi juga ikut menjaga nilai eksistensi kita sementara kita sendiri justru jarang sekali mau berkontemplasi bahwa tanpa kita sadari ternyata banyak karya-karya kita yang bersifat bunuh diri.

“Dia sudah tua, kawan. Sudah tiada lagi nafsunya untuk bermain-main sentimen, apalagi menghalang-halangi kebebasan kreativitas sang tuan zaman. Kini dalam dirinya hanya tinggal keinginan untuk menyaksikan orang-orang yang pernah dibesarkannya menjadi kader yang berkualitas, bijak dan berwibawa. Bukan generasi sastra yang sok, sombong, angkuh, mentang-mentang sering membaca buku tebal karya orang luar negeri.”

Tentu kau masih ingat suatu waktu di suatu ketika dulu. Di lembaran terakhir sebuah naskah cerpenmu yang ia kembalikan (karena tak layak muat), di situ Abu menulis, “Sudah lebih lima tahun kau menulis cerpen tapi masih ada karyamu yang tak berguna seperti ini. Kalau you mau tahu akan saya kasih tahu, bahwa pemuatan karya-karyamu selama ini bukan karena kelayakannya, tapi hanya sebagai pendorong semangat. Setelah membaca naskah cerpenmu ini, maka saya sarankan, lebih baik kau berhenti saja menulis!”

Kejam. Barangkali itulah kata paling tepat untuk mengistilahkan sebuah cara mendidik yang seperti itu. Namun jauh di kedalaman lubuk hatimu kau berkata: itulah sistem nasehat yang terbaik untuk seorang penulis pemula yang gelisah, keras kepala, sok ingin bereksperimen padahal urat-urat sastra baru ia kenal sebagian terkecil.

“Kawan,” tulismu masih dalam surat yang dibalas sinis oleh kawan-kawanmu itu, “kita adalah penulis-penulis muda yang bersemangat. Jauh di keheningan hati kecilnya sesungguhnya Abu Lhok Paoh amat bersyukur dengan fenomena nan cantik ini. Namun ada beberapa di antara kita yang tenggelam bersebab putus asa ketika naskah-naskahnya tak dimuat berkali-kali (lantaran memang tak layak muat tentu).

Ada yang tersinggung lantaran karya-karyanya diintervensi lalu balik menghujat Abu dan akhirnya yang ini pun tenggelam sendiri (karena teumeureuka pada orang tua barangkali). Ada pula yang memang di-debt karena ketahuan suka memplagiat karya orang. Sememangnyalah seribu kita punya “aku” seribu macamlah kita punya perilaku. Dan itulah manusia. Dan itulah sastrawan muda. Dan itulah kita.”

Begitulah Jum’at sore yang cerah berlangit biru itu, Abu dapat meraba senandung tak bahagia di jiwamu tatkala kau tahu naskah cerpenmu yang berjudul “Sebuah Bangsa Datang dan Berlalu” yang kau yakini semula sebagai hebat sekali, ternyata tak layak dikonsumsi publik, malah justru layak dianggap sampah yang akan membuat prestis kecerpenisanmu menjadi tertindas oleh sinisnya senyum publik pembaca koran. Lantas di akhir pertemuan kalian sepertinya Abu berkenan mengembalikan semangat juangmu itu dengan sepukul ucapannya.

“Kau termasuk orang muda yang tahan uji,” kata Abu persis tatkala kau hendak beranjak dari kantor redaksinya yang megah itu. “Untuk ke depan ujian akan lebih berat lagi,” katanya sekalimat namun menyiratkan ketegasan yang tak main-main. Seperti briefing ala serdadu.
“Mungkin saat itu saya akan menyerah Abu,” katamu, tegas pula.

“Seorang perajurit yang menyerah ia akan menjadi tawanan lawan. Kalau ia dihukum mati ia akan dinobatkan sebagai pahlawan bagi gerombolannya. Tetapi seorang sastrawan yang menyerah ia akan hidup terus. Sebagai pengkhianat nilai-nilai spiritualitas kemanusiaan,” demikian kata Abu dengan air muka yang berubah. Bukan bertambah keras. Tapi sendu tiba-tiba.

Rasanya kau tak percaya bila suatu ketika kau akan melihat kesenduan di wajah keras seorang pendekar sastra yang telah selamat melintasi tiga zaman paling mengerikan di negeri barbarian ini. Sebuah negeri yang penuh dengan pahlawan penentang ketertindasan namun inilah pula sang negeri yang sarat dengan bakat konflik antar sesama. Bukan hanya dalam politik, sosial dan ekonomi. Tetapi juga dalam seni.

Begitulah Jum’at sore yang cerah berlangit biru itu, kau meninggalkan Sang Serdadu Tua, Abu Lhok Paoh, dengan perasaan gamang yang aneh. Seakan tiba-tiba nun jauh di kelurusan pandang sana kau melihat ruang-ruang zaman yang membara yang tak jeda-jedanya membakar negeri ini dalam segala wujud kehidupannya yang semuanya berawal dari percikan bunga api yang bernama egoisme dan kesalahfahaman.

Sementara kau sendiri harus melewati ruang-ruang yang siap memanggang itu dengan tetap berkewajiban mengusung peti berat kesusastraan di pundakmu seraya dengan batinmu yang galau kau bertanya dan senantiasa bertanya-tanya, “Apakah aku akan selamat sebagaimana indahnya keselamatan yang telah dianugerahkan Tuhan kepada Abu?”■

(Kembang Tanjong, 12 Februari 2002)


Selengkapnya...